Zio sedang asik menikmati sop jamur kenthel yang sudah keluar sejak beberapa menit lalu. Dengan Gendhis yang memilih untuk menikmati es belimbing wuluhnya, di samping anak laki-laki berumur lima tahun itu.
Mahogany sudah cukup ramai sore ini, untung saja teman Diaz sudah mereservasi meja di restoran yang Gendhis sadari sedang ramai menjadi perbincangan di sosial media. Ya, Gendhis baru benar-benar sadar saat sampai di lokasi.
Tidak aneh memang, karena begitu melihat lokasinya saja Gendhis langsung jatuh cinta dengan restoran bernuansa Jawa modern itu. Dengan arsitektur modern dengan pemandangan langsung ke Pura Mangkunegaran, pantas jika banyak orang rela menunggu untuk sekedar menikmati hidangan yang ada disini. Singkatnya, Mahogany sangat photogenic bagi mereka yang suka mengabadikan momen.
"Jogja gimana, Ndhis?"
Kali ini pertanyaan Diaz berhasil membuat Gendhis menipiskan bibirnya, bahkan Gendhis langsung menegakkan punggungnya.
Mengangguk pelan, Gendhis sedikit menarik kedua sudut bibirnya ke atas, "Jogja masih sama kayak sebelumnya, Mbak Di," balas Gendhis setelah menimbang untuk beberapa detik.
Sebuah jawaban yang berhasil membuat Diaz tersenyum tipis, "Jogja masih sama, tapi perasaan kamu yang nggak ya?" sahut Diaz yang langsung tepat mengenai sasaran. Sedangkan si sasaran hanya mampu mengangguk pelan, tidak bisa mengelak.
Bukannya asal tebak sebenarnya. Selain Fiona, Diaz juga jadi orang yang tau tentang patah hati diam-diam Gendhis. Tentang perasaan yang Gendhis miliki. Bisa dibilang kedua perempuan itu menjadi saksi tawa hingga tangis yang Gendhis alami.
Tersenyum sedikit lebih lebar, Gendhis menatap kakak iparnya itu dengan lembut, "nggak papa kan ya, Mbak Di," kalimat yang lebih terdengar seperti sebuah harapan dari bibir Gendhis.
Anggukan pelan Diaz berhasil keluar, dengan senyuman tulus yang perempuan itu berikan, "berarti dia bukan yang terbaik buat Gendhis, nanti—"
"Diaz!"
Suara itu berhasil memotong kalimat Diaz yang belum selesai terucap dan membuat Diaz langsung berdiri guna menyambut seseorang yang posisinya berada di belakang tubuh Gendhis.
Perempuan dengan rambut sebahu dan perut membuncit langsung dipeluk oleh Diaz, Gendhis memilih menikmati pertemuan dua teman baik itu bersama Zio.
"Sen, kenalin ini adik perempuanku, namanya Gendhis," kali ini Diaz langsung memperkenalkan Gendhis pada temannya, "Gendhis, ini Senandika, teman Mbak Diaz dari jaman masih ingusan," lanjut Diaz dengan nada sedikit jail.
Gendhis beranjak dari kursinya guna menyalami perempuan bernama Senandika yang sudah tersenyum itu, "Gendhis, Mbak," ucap Gendhis dengan lembut.
"Senandika. Aduh, adeknya Mas Sekha, ya?" balas Sena tak kalah ramah. "Beruntung banget Mas Sekha dikelilinginya sama perempuan-perempuan cantik begini," guraunya setelah duduk di kursi samping Diaz.
Gendhis hanya mampu tersenyum. Jujur, Gendhis merasa aura Sena sangat luar biasa. Jika boleh menebak, Gendhis akan menebak jika Sena masih keturunan bangsawan di Solo, sama seperti Diaz. Apalagi tadi Diaz bilang jika Senandika adalah teman masa kecilnya.
Tak lama setelah datangnya Sena, seorang pelayan datang menyajikan nasi rempah lengkap pesanannya, nasi ayam jangkep milik Diaz, serta sate ayam untuk Zio.
"Mbak Sena, mau dipesenin apa?" tanya Gendhis yang beralih pada Sena yang terlihat santai menuangkan air mineral ke dalam gelas yang tersedia.
Gelengan kepala Sena berhasil membuat Gendhis keheranan, pasalnya, setau Gendhis setiap orang yang duduk harus memesan satu menu di resto ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Station
RomansaBagi Gendhis stasiun bukan hanya sekedar tempat untuk menunggu rentetan gerbong besi yang akan mengantarkannya. Stasiun menjadi tempat untuknya menuju sebuah rasa yang menjadi obat. Stasiun bukan hanya tentang kereta untuk Auriga. Stasiun menjadi se...