Kedua sudut bibir Gendhis terangkat sempurna karena ucapan seseorang di ujung panggilan itu.
Tangannya sibuk menuangkan kopi dari botol besar ke dalam gelas. "Apa nggak terlalu muda kalau itu buat Ibu, Mas?" heran Gendhis kembali duduk di kursinya.
"Coba nanti aku cari, siapa tahu nemu yang lebih cocok sama Ibu," ucapnya dengan mata yang mulai sibuk meneliti layout yang ada di PC miliknya. "Nggak lah, nggak ngerepotin," lanjutnya dengan senyum tipis.
Ada tawa pelan yang terdengar dari seseorang di ujung sana, "aku sempat kaget sih, we have matching scent," seru laki-laki yang terdengar senang bercampur dengan heran.
Dengan kepala menggeleng pelan, Gendhis juga ikut merasa heran seperti laki-laki di ujung panggilan itu. "Aneh banget dunia kita ya, Mas," balas Gendhis sebelum menyesap kopi miliknya.
Samar-samar, Gendhis mendengar suara orang lain di ujung panggilan itu. Sepertinya teman ngobrolnya itu memiliki sesuatu yang harus di lakukan.
"You seems to be busy right now, Mas?" lirih Gendhis setelah suara pintu tertutup terdengar di sambungan telfon itu. "It's ok if you want to end this call," lanjutnya dengan kepala terangguk.
Tak terdengar balasan apapun dari ujung sana, hanya terdengar sebuah helaan napas dari laki-laki itu. "Eh iya, mungkin kita bisa sambung lagi nanti ya, Mbak. Great day, Mbak Gendhis," balasan itu terdengar setelah hampir lima detik setelahnya.
"Great day, Mas Riga," sahut Gendhis sebelum nada panggilan terputus terdengar.
Ya, Riga yang Gendhis maksud adalah laki-laki yang sama seperti yang dirinya temui tiga bulan lalu di pagelaran Ramayana. Auriga Bagaskara Suma. Laki-laki yang belakangan ini sering bertukar kabar dengannya.
Obrolan mereka selalu diawali dengan hal-hal random dari seorang Riga. Seperti pagi ini, laki-laki tiga puluh dua tahun itu memulai obrolan karena Riga tiba-tiba menanyakan parfum yang menempel di sweatshirtnya yang sempat dipinjamkan ke Gendhis malam itu.
Sebuah obrolan yang rasanya sedikit aneh, apalagi dengan entengnya Riga juga meminta tolong pada Gendhis untuk memilihkan parfum sebagai kado ulang tahun untuk Ibu.
Sebenarnya bisa saja Gendhis memberikan rekomendasi parfum dan Riga membeli sendiri. Atau mungkin meminta ajudannya untuk membantu membelikan parfum hasil rekomendasi Gendhis.
Banyak yang perlahan Gendhis sadari jika pertemuan mereka malam itu ternyata menjadi salah satu alasan. Kata Fiona, mungkin ini cara Tuhan membuatnya lupa dan move on. Tapi, Gendhis sendiri sedang tidak berpikir untuk membuang waktunya dengan masalah percintaan yang terlalu rumit itu.
Getaran kembali terasa dari ponsel berwarna biru yang tergeletak di meja. Sebuah panggilan video masuk dari nomor Bunda.
"Assalamualaikum, Nda," sapa Gendhis lebih dulu. Tentu dengan sebuah nada manja yang perempuan itu keluarkan, membuat Bunda langsung berdecak pelan setelah membalas sapaan Gendhis.
Gendhis membawa gelas miliknya ke arah dinding kaca. Memilih untuk menikmati kopinya di sofa yang tersedia di ruangan yang sudah dua hari ini ia huni.
"Iya, Bundaku. Nggak akan lupa kok, Nda. Ya, meskipun mepet dikit sampai rumahnya," tawa Gendhis setelah mendengar protesan yang Bunda layangkan. "Nanti Ndhis bawain deh Surabaya dan seisinya kalau perlu," guraunya dengan kekehan pelan.
Perempuan itu hanya mampu tertawa mendengarkan ocehan Bunda. Ibunya itu memang beberapa kali memprotes kegiatan si bungsu yang sangat padat itu. Apalagi, setiap ada acara keluarga seperti rencana kumpul minggu depan.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Station
RomanceBagi Gendhis stasiun bukan hanya sekedar tempat untuk menunggu rentetan gerbong besi yang akan mengantarkannya. Stasiun menjadi tempat untuknya menuju sebuah rasa yang menjadi obat. Stasiun bukan hanya tentang kereta untuk Auriga. Stasiun menjadi se...