18. It Feels Right

27K 2.9K 84
                                        

Memilih sebuah asymmetric denim midi skirt dari Jacquemus yang dipadukan dengan sebuah kaos putih fit to body, Gendhis melenggang keluar dari Stasiun Balapan.

Tak ada koper kali ini, perempuan dua puluh sembilan tahun itu memilih menenteng large canvas tote bag berwarna beige dari Marc Jacob.

Diaz sudah menunggunya di pick up point, karena Sekha sedang berada di Surabaya dan baru kembali malam nanti.

Gendhis dengan cepat langsung menemukan mobil putih milik kakak iparnya itu, membuatnya segera mendekat. "Assalamualaikum," ucap Gendhis setelah berhasil membuka pintu penumpang.

"Wa'alaikumsalam," balas Diaz dengan senyum tipis.

Tak sampai satu menit, Gendhis kembali menutup pintu penumpang setelah memasukkan tas bawaannya. Berpindah ke kursi penumpang samping Diaz.

"Aku kaget, beneran cuma dua hari nih?" tanya Diaz keheranan dengan barang bawaan Gendhis.

Kepala Gendhis mengangguk, "serius, selasa aku harus ke Jakarta lagi soalnya," jawab Gendhis dengan nada sedih. "Barang-barang aku aja udah ku titip ke Khisna, Mbak," lanjutnya menatap Diaz.

"Effort sekali ya Adek Gendhis ini," gumam Diaz ketika BMW X3 itu mulai mengaspal bersama kendaraan lain di jalanan.

Gendhis hanya mampu mendengus, lama-lama Diaz memang semakin mirip dengan Sekha. Pantas saja keduanya berjodoh, ternyata sama saja.

Kedua mata Gendhis terpejam, setelah meminta izin pada Diaz karena tidak bisa lagi menahan rasa kantuknya.

Perempuan itu baru bisa memejamkan mata setelah subuh, semalaman suntuk melanjutkan pekerjaannya yang sedang di kejar waktu untuk proses desain. Membuatnya harus lembur hingga pagi.

Untung saja acara pengajian yang akan dirinya hadiri dilaksanakan sore nanti, setidaknya masih ada beberapa jam untuk Gendhis berisitirahat. Kalau tidak, mungkin dirinya bisa pingsan karena kelelahan.

"Dek, sudah sampai. Lanjut tidur di dalam aja," lirih Diaz menepuk lengan kanan Gendhis pelan.

Entah berapa lama perjalanan dari Balapan ke Sumber kali ini, Gendhis bahkan langsung tidur dengan lelapnya.

Gendhis mengerjap pelan, berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya. Kepalanya terasa cukup pening kali ini, mungkin karena kurang istirahat beberapa hari terakhir.

Menjepit rambutnya asal, Gendhis melihat Diaz yang baru saja keluar dari mobil. Tak perlu waktu lama, Gendhis akhirnya keluar. Tak lupa membawa barang bawaannya.

"Makasih Mbak Di,"

"Langsung istirahat di kamar aja," ucap Diaz yang kembali entah darimana.

Rumah itu terasa cukup sepi, mengingat Zio masih berada di sekolahnya. Hanya ada asisten rumah tangga yang berada di dapur tadi.

Gendhis memijat pelipisnya, kepalanya benar-benar berdenyut kali ini. Membuatnya langsung memilih merebahkan tubuh saat melihat kasur besar disana.

Perempuan itu bahkan meletakkan barang bawaannya asal, karena tubuhnya sangat tidak bisa diajak kompromi sedikitpun saat ini.

Sejak kembali dari Jakarta kegiatan Gendhis memang cukup padat. Banyaknya masuk beberapa klien baru yang harus ia dan timnya handle.

Belum lagi proyek pembangunan di salah satu kampus negeri di Semarang yang sedang ia tangani juga sedang ada kendala.

Wajar bukan jika pekerjaan tidak selalu halus dan lancar, seperti tiga hari lalu dimana Gendhis harus stand by di proyek semalaman suntuk karena adanya cracking pada bagian pondasi dasar.

The StationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang