Perempuan itu masih memandangi tubuhnya yang sudah dibalut dengan Bijou Banda Neira Sandro Dress dari Sapto Djojokartiko dari pantulan cermin besar disana.
Gendhis tidak sengaja mampir ke Masari sore ini. Tadi, kebetulan dirinya baru selesai meeting bersama klien di Plaza Indonesia satu jam lalu.
Tapi siapa sangka, ketika matanya melihat nama Masari dari kejauhan kakinya malah semakin mendekat kesana. Hingga disinilah Gendhis.
Berdiri di depan cermin besar dengan sebuah dress rancangan Sapto Djojokartiko yang sudah terpasang di tubuhnya.
"Kok aku bimbang ya, Mbak Mila," gumam Gendhis pada shopping assistant yang masih berada di belakangnya. "Emang paling bener nggak usah mampir sih harusnya, bikin haus mata soalnya," lanjut Gendhis yang diiringi dengan kekehan.
Mila tersenyum, "lagian semua kalau yang pakai Mbak Gendhis juga bagus, bolehlah Mbak kalau sudah pensiun jadi arsitek pindah jadi model aja," gurau perempuan dengan rambut sebahu itu.
Tawa Gendhis terdengar, sedikit geli dengan gurauan Mila. "Mulai nih," balas Gendhis di sela tawanya. Mengingat ini bukan kali pertama Mila mengucapkan hal itu.
Gendhis akhirnya memilih untuk melepaskan pakaian yang telah selesai ia coba. Ya, pilihannya jatuh ke sleeveless dress yang terakhir itu.
Butuh hampir lima menit untuk Gendhis selesai dengan urusannya di fitting room, sebelum akhirnya ia keluar dan meminta Mila untuk mengemas pakaian yang ia pilih.
Tak menunggu terlalu lama untuk Gendhis menyelesaikan proses payment, membuat perempuan itu segera beranjak meninggalkan Masari.
Ada satu tempat lagi yang harus dirinya datangi sebelum kembali ke apartemen. Ya, Gendhis tidak menginap di hotel pada kunjungannya ke Jakarta.
Ayah dan Bunda memiliki satu rumah di Kebayoran Baru serta unit apartemen di Capital. Dan kali ini Gendhis memilih tinggal di apartemen karena hanya dua hari berada di Jakarta, sekaligus mempermudah dirinya yang bertemu klien.
"Assalamualaikum," sapa Gendhis setelah menggeser logo hijau pada ponselnya.
Ada suara grasak-grusuk yang terdengar di ujung panggilan itu. "Wa'alaikumsalam, Gendhis sudah dimana?" suara itu berhasil membuat Gendhis menganggukkan kepalanya pelan.
"Mau jalan balik, kenapa?" balas Gendhis dengan cepat. "Ada hal mendesak kah, Tra?" lanjut Gendhis mencoba menebak arah obrolan mereka.
Terdengar gumaman pelan dari ujung panggilan itu. "Kamu nggak mau minta traktir kopi kah, Ndhis?" suara serak Catra berhasil membuat Gendhis menggigit bibir bawahnya.
Ada perasaan aneh kali ini, sebuah perasaan tidak nyaman yang menghinggapi Gendhis. "Ng-nggak usah, lagian aku harus siap-siap balik ke Semarang malam ini," tolak Gendhis pada akhirnya.
"Beneran nggak bisa, Ndhis? padahal aku kangen loh sama kamu, udah lama banget kita nggak ketemu. Waktu aku tunangan sama Reva juga kamu nggak datang,"
Kalimat panjang Catra terdengar seperti sebuah rayuan di telinga Gendhis, membuat perempuan itu memejamkan matanya untuk meredam segala emosi yang tiba-tiba muncul.
"Ok, TWG PP at two," putus Gendhis sebelum mengakhiri panggilan itu terlebih dahulu.
Rasanya masih aneh jika harus kembali berinteraksi dengan Catra. Bukan, bukan karena Gendhis masih larut karena patah hatinya. Tapi, Gendhis masih belum bisa melihat seorang Praditya Catra Danadhyaksa tanpa bayang-bayang Reva disana.
Gendhis sakit hati? rasanya tidak. Gendhis hanya belum bisa untuk kembali berinteraksi seintensif dan seterbuka seperti dulu. Ada Reva yang harus Gendhis perhatikan, takut jika interaksi antara dirinya dan Catra membuat teman baiknya itu tidak nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Station
RomanceBagi Gendhis stasiun bukan hanya sekedar tempat untuk menunggu rentetan gerbong besi yang akan mengantarkannya. Stasiun menjadi tempat untuknya menuju sebuah rasa yang menjadi obat. Stasiun bukan hanya tentang kereta untuk Auriga. Stasiun menjadi se...