"Aku tuh kayak nggak asing sama Gendhis ya?"
Sena menatap Gendhis dengan tatapan sedikit keheranan, seolah sedang berusaha mencari sesuatu dari wajah perempuan itu.
Sebuah tatapan yang berhasil membuat Gendhis salah tingkah, "kebetulan mirip aja kali, Mbak Sena," elak Gendhis sebelum menutup wajahnya karena malu.
"Bentar deh, beneran kayak nggak asing," kali ini Sena terlihat membuka ponsel miliknya, entah sedang mencari apa dari dalam benda itu.
Diaz yang melihat Gendhis sedikit tidak nyaman hanya mampu tersenyum, "lewatin aja, sampe salah tingkah loh, Sen anaknya," putus Diaz yang langsung membuat Sena tersenyum sedikit canggung.
Perempuan di depan Gendhis itu segera menutup kembali ponselnya, menatap Gendhis dengan sebuah tatapan bersalah, "maaf, maaf ya, Ndhis," ucap Sena tulus.
Gendhis mengangguk, "it's ok, Mbak Sena," balas Gendhis dengan senyuman tipis pada bibirnya.
Ada banyak hal yang Diaz dan Sena perbincangkan sore itu, sebenarnya kedua perempuan itu sudah melibatkan Gendhis pada topik obrolan mereka. Tapi, kurang etis rasanya jika Gendhis asal menimbrung ke dalam obrolan dua teman lama itu.
Matahari seolah semakin tenggelam di peraduan, menyemburkan semburat jingga yang beradu dengan gumpalan awan di langit sore. Sebuah pemandangan indah, ditambah restoran yang di kelilingi kaca itu semakin membuatnya terlihat mempesona.
"Tate, mau jalan-jalan keluar, ndak?" tanya Zio setelah melihat Tantenya mengambil beberapa gambar langit, "Mas bosen duduk disini," sambungnya sebelum berdiri dan menghampiri Gendhis.
Gendhis tersenyum, mengusap rambut keponakannya pelan, "Mbak Di, Gendhis sama Zio mau keluar sebentar, ya? Zio udah mulai bosen soalnya," ucap Gendhis meminta izin kepada kakak iparnya.
Diaz mengangguk, "Zio mau ditemenin Mama atau mau sama Tate?" kali ini Diaz memilih menatap wajah anaknya.
Zio menggeleng, "sama Tate aja, Mama," jawab Zio sebelum menggandeng tangan Gendhis, bocah kecil itu memilih bersender dengan manja pada tantenya, "boleh, Mama?" ucap Zio kembali memastikan.
Diaz hanya mampu tersenyum meng-iyakan ucapan anaknya, "jangan jauh-jauh ya, Mas? kasian Tatenya capek itu," ingatnya pada si kecil yang langsung mengangguk. "Titip ya, Ndhis, paling sebentar lagi Mas Sekha nyusulin kita," alih Diaz pada Gendhis.
Gendhis mengangguk pelan—tak lupa permisi dengan Sena—sebelum menggandeng tangan Zio untuk beranjak meninggalkan meja.
Harus Gendhis akui, keponakannya itu merupakan anak yang cukup tenang. Salendra Arzio Anjana—keponakan satu-satunya—memang sangat mengagumkan.
Zio benar-benar hanya berjalan di sekitaran taman yang mengelilingi Mahogany, anak laki-laki itu sesekali berlari guna mengejar sesuatu, tapi hanya sebentar dan akan kembali pada Gendhis yang duduk di dekat air mancur di taman itu.
Mengagumi seorang Zio maka Gendhis akan mengagumi bagaimana Diaz dan Sekha mendidik anak laki-laki itu. Karena Zio, benar-benar menjadi impian sosok anak bagi Gendhis.
Tangan perempuan itu sesekali mengambil gambar bangunan besar—Mahogany maupun Pura—di hadapannya. Beberapa foto Zio yang sedang berlarian juga diambilnya.
Seperti kebanyakan generasi muda lainnya, Gendhis tak lupa mengambil beberapa foto untuk diunggahnya ke laman sosial media miliknya. Sebuah yang hanya diikuti oleh orang-orang terdekatnya.
Benar saja tak sampai lima menit, sebuah pesan masuk ke dalam direct message akun Instagramnya.
Revi.Poe
loh ternyata lagi di Solo?

KAMU SEDANG MEMBACA
The Station
RomansaBagi Gendhis stasiun bukan hanya sekedar tempat untuk menunggu rentetan gerbong besi yang akan mengantarkannya. Stasiun menjadi tempat untuknya menuju sebuah rasa yang menjadi obat. Stasiun bukan hanya tentang kereta untuk Auriga. Stasiun menjadi se...