14

834 123 5
                                    

***

Masa peralihan itu akhirnya berakhir. Setelah berusaha keras menyesuaikan dirinya, memaksakan dirinya pergi ke tempat kerja setiap hari, Lisa kembali mendapatkan semangatnya. Malam ini ia baru kembali dari Paris. Baru saja menghadiri acara fashion yang mengundangnya.

Dengan langkah riang, gadis itu melangkah di bandara. Jeno ada disebelahnya, menemaninya meninggalkan pesawat, akan langsung pergi ke pintu keluar, untuk naik ke mobil yang sudah menunggu di sana. Lisa tidak terkejut saat melihat beberapa petugas keamanan bandara berjaga di depan pintu. Menghalau beberapa fans dan reporter agar tidak melewati batas.

Meski sempat ramai, Lisa terbiasa dengan semua perhatian itu. Segalanya berjalan seperti biasa, sampai tiba-tiba suara tembakan terdengar. Suaranya memang terdengar jauh, namun refleks orang-orang datang begitu cepat. Riuh karena ingin melihat seorang Lalisa, berubah jadi ketakutan. Hadiah-hadiah yang ingin diberikan pada Lisa, kini jatuh berhamburan, bersama larinya orang-orang.

Suara tembakannya muncul sekali lagi, lalu sekali lagi, berkali-kali dan begitu cepat. Orang-orang berlari, melindungi diri mereka sendiri sebab suara tembakan itu terdengar semakin dekat. Akhir-akhir ini memang banyak kasus penembakan, namun Lisa tidak pernah menyangka dirinya akan ada di tengah-tengahnya. Orang-orang berteriak, dan tanpa sempat Lisa sadari, tangannya sudah lebih dulu ditarik.

"Kau harus berlindung!" Lisa yang kebingungan tidak mengenal suara itu. Bukan Jeno yang menyuruhnya berlindung, berlari masuk ke arah sebuah taksi yang dikelilingi orang-orang. Mereka yang ketakutan berlari masuk ke dalam taksi, berebut mencari perlindungan, berusaha untuk pergi dari sana.

Petugas keamanan memanggil-manggil. Jeno yang harusnya melindungi Lisa, tidak terlihat dimanapun. Sementara Lisa tidak bisa memikirkan apapun selain berlari mengikuti orang di depannya. Tangannya dipegang sangat erat, tanpa mengenal orang itu, Lisa menautkan jemarinya pada jari-jari orang itu. Sepatu boots yang ia kenakan sempat membuat kakinya terkilir, sempat membuatnya jatuh, namun orang yang memegangi tangannya tetap membantunya bangun.

"Eonni! Hati-hati!" katanya, berusaha keras melindungi Lisa dari kericuhan yang tiba-tiba meledak. Lalu begitu berhasil meraih pintu sebuah taksi, ada orang lain yang ingin merebut taksi itu dari mereka. "Ya!" ia berteriak, membentak dua anak sekolah yang akan merebut taksi itu darinya.

Lisa kemudian di dorong masuk ke dalam taksi, sedang ia menyusul masuk ke dalam. Pintunya lalu ditutup, ia abaikan dua anak sekolah yang tadi menjerit-jerit ketakutan, memohon agar diizinkan masuk. Suara tembakan kembali terdengar, namun taksi belum bisa bergerak. Ada banyak yang menghalangi di depan, kendaraan-kendaraan berhenti, jalanan di depan pintu kedatangan tiba-tiba saja jadi macet.

"Biarkan mereka masuk!" Lisa berseru, ia lepaskan tangannya dari pegangan orang yang membantunya. Ia buka pintu taksinya dari dalam, dengan sedikit memaksa. Lantas dua gadis tadi pun masuk, berdesakan berempat di kursi belakang taksi sembari menahan takut. Sekali lagi tembakan terdengar dan kali ini pelurunya mengenai bagian atas taksi itu. Meledakan lampu di bagian atas taksinya. Mengejutkan semua penumpang taksi itu, membuat tangis semakin pecah menakutkan.

Kelima orang di dalam taksi itu sekarang menunduk, ketakutan. Meski tidak saling kenal, Lisa dan tiga orang di dalam sana saling berpelukan. Menekan punggung satu sama lain untuk semakin menunduk, belindung di balik sandaran kursi taksi. Supir taksinya pun sama, gemetar ketakutan, membungkuk di kursinya. Namun untungnya, situasi mulai membaik saat pelaku penembakan itu berhasil ditangkap.

Dari tempatnya duduk, berlindung, Lisa bisa melihat seorang dengan seragam tentara diringkus. Seorang pria kurus yang meringkusnya, menangkapnya dengan menekan punggung pelaku itu ke tanah.
Pelakunya tiarap, berusaha meraih senjata yang sudah direbut darinya. Lalu beberapa orang petugas keamanan ikut membantu mengamankannya.

"Kasus penembakan lain terjadi di bandara, seorang tentara kabur menembaki orang-orang di bandara. Tiga orang meninggal dan puluhan orang terluka," begitu tajuk yang kemudian muncul di berita. "Lalisa menjadi korban penembakan acak malam ini, alasan penembakannya masih diselidiki," dan itu tajuk yang muncul untuk berita lainnya.

Alih-alih langsung ke rumahnya, setelah terpisah dengan managernya, Lalisa harus pergi ke kantor polisi untuk memberikan kesaksiannya. Dua orang polisi yang mengawalnya, juga tiga gadis yang bersamanya tadi. "Permisi, boleh aku pinjam teleponmu untuk menelepon managerku?" tanya Lisa, pada polisi yang duduk di depannya, di dalam mobil polisi. Dua polisi duduk di depan, sedang Lisa dan tiga orang gadis lainnya duduk di belakang, kembali berdesakan karena Lisa yang memintanya.

"Oppa," Lisa menelepon Jiyong begitu sebuah handphone diberikan padanya. Meminta Jiyong menjemputnya di kantor polisi, setelah sedikit menjelaskan keadaannya.

Tidak sampai tiga puluh menit kemudian, Lisa bisa bertemu dengan kekasihnya di kantor polisi, di dalam sebuah ruang meeting yang tertutup. Hanya dengan kaus dan celana tidurnya, Jiyong datang memakai slipper-nya. Terlihat sangat panik, sangat terkejut. Namun Jiyong merasa sedikit tenang, sebab ia bisa menjemput Lisa di kantor polisi, bukan di rumah sakit.

"Oppa datang sendirian? Kenapa?" Lisa bertanya, sedikit canggung sebab kini kesadarannya sudah kembali. Meski tadi keadaannya sempat sangat buruk, namun rumor dirinya berkencan dengan Jiyong tentu tidak boleh muncul di berita.

"Kau baik-baik saja?" Jiyong balas bertanya, dengan gerakan tangan yang langsung menyentuh bahu Lisa, membuat gadis itu bergerak menunjukan bagian depan dan belakang tubuhnya, menunjukan dirinya yang baik-baik saja dan tidak terluka.

"Aku baik-baik saja, tapi aku tidak tahu dimana Jeno sekarang," kata Lisa. "Handphone dan tasku ada padanya, karena itu aku ikut ke kantor polisi. Aku tidak tahu harus kemana, keadaan bandara tadi kacau sekali," ceritanya, sembari membiarkan Jiyong memindai keadaan tubuhnya.

Menyadari kalau ada tiga orang lain yang mendengar pembicaraan itu, Jiyong menghela nafasnya. Ia anggukan kepalanya, mengiyakan cerita Lisa lalu berkata kalau ia akan mencari tahu apa yang terjadi. "Tunggu di sini sebentar, akan aku tanyakan kau sudah bisa pulang atau belum," kata Jiyong kemudian, kali ini sembari melangkah keluar meninggalkan ruang meeting itu.

Karena malam itu terasa sangat panjang, Jiyong tidak mengatakan banyak hal. Karena permintaan Lisa, pria itu bersedia memasukan tiga gadis di ruang meeting tadi ke dalam mobilnya. Polisi bersedia mengantar gadis-gadis itu pulang, namun Lisa bersikeras kalau ia sendiri yang ingin mengantar mereka. Meski keinginannya, membuat Jiyong harus berkendara sampai lewat tengah malam.

Dua anak sekolah yang lebih dulu mereka antar pulang. Anak-anak itu bolos kelas tambahan mereka hanya untuk melihat Lisa datang dari Paris, karenanya Lisa merasa bertanggung jawab untuk mengantar mereka. Gadis itu bahkan turun dari mobil, mengantar dua gadis tadi sampai ke depan pintu rumah mereka. Mengantar sampai ia bertemu dengan orangtua mereka, membungkuk untuk minta maaf karena hanya demi melihatnya, anak-anak itu berada dalam bahaya.

Selesai dengan anak-anak sekolah tadi, Lisa juga mengantar wanita yang membantunya. "Oh? Kau tinggal di sekitar sini?" tanya Lisa, setelah gadis di kursi belakang memberitahu alamatnya. "Agensi baruku juga ada di sekitar sini," susulnya kemudian, hanya Lisa yang bicara, seolah ia sama sekali tidak terguncang atas kejadian tadi. Sedang Jiyong? Pria itu hanya mengemudi, dalam diam. Bak seorang supir yang tidak dibicara, jika tidak ditanyai majikannya. "Omong-omong, siapa namamu tadi? Aku belum berterima kasih karena kau sudah membantuku," kata Lisa, pada gadis yang tidak banyak bicara dibelakangnya. Sama seperti dua gadis sebelumnya, gadis itu diam, terguncang karena suara tembakan yang bertubi-tubi tadi.

"Han Mone," pelan gadis itu. "Namaku Han Mone," ulangnya, tetap pelan. Bahkan setelah Jiyong menghentikan mobilnya di depan sebuah gedung apartemen yang tidak jauh dari gedung Yellow Ent., gadis itu tetap tidak banyak bicara. "Terima kasih, sudah mengantarku," katanya pelan, menatap pada Lisa, lalu pada Jiyong dan keluar dari mobil itu.

Han Mone menginjakan kakinya di tanah, akan meninggalkan mobil itu. Namun belum sempat ia berdiri tegak, kakinya yang gemetar sudah lebih dulu goyah. Ia hampir terjatuh, namun langsung berpegang pada pintu mobilnya. "Kau baik-baik saja? Mau aku antar naik?" tanya Lisa, bergegas turun dari kursinya untuk membantu penyelamatnya tadi.

"Tidak, aku bisa sendiri. Terima kasih," tolak Mone, lantas membungkuk untuk memberi salam, sekali lagi berpamitan lalu berjalan masuk ke dalam apartemennya. Han Mone, terlihat sangat terguncang malam ini.

***

The ManagerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang