13

911 134 1
                                    

***

Syuting di stasiun TV itu selesai. Lisa banyak tertawa selama syuting tadi, ia sudah banyak bicara selama dalam studio tadi. Tapi, begitu Jeno membawa mobilnya meninggalkan stasiun TV itu, Lisa langsung menutup mulutnya. Meski duduk tepat di sebelah Jeno, gadis itu enggan untuk bicara. Ia menoleh, menatap keluar jendela sembari berkali-kali menghela nafasnya, kelelahan.

Kembali sibuk setelah liburan, membuatnya jadi mudah lelah. Seolah tubuhnya belum terbiasa dengan kesibukan yang kembali datang. Setelah kemarin-kemarin ia hanya bermain dan bersenang-senang, kembali bekerja membuatnya merasa sedikit sesak.

Dimulai dari beberapa pemotretan, syuting lalu menghadiri beberapa acara, Lisa kelelahan sekarang. Tapi sayangnya, besok ia harus kembali syuting acara ragam—satu bermain game dan dua bincang-bincang. "Kalau noona kelelahan, haruskah aku membatalkan beberapa jadwal? Mungkin kita bisa mengatur ulang jadwalnya," tawar Jeno, namun rasa profesionalitas yang Lisa miliki, melarangnya untuk melakukan itu.

"Setelah tidur sebentar, aku akan baik-baik saja," kata Lisa.

Tapi masalah baru justru datang—gadis itu tidak bisa tidur sekarang. Entah apa yang mengawali segala masalah ini, muncul lagi di depan kamera setelah liburannya, membuatnya merasa begitu tertekan. Aku hanya belum terbiasa—begitu anggapannya. Lantas, ia berusaha untuk membiasakan dirinya. Meyakinkan dirinya kalau ia merasa senang setiap kali pergi bekerja.

Setelah kemarin ia merasa super kelelahan dan malam ini tidak bisa tidur, hari ini Lisa harus bekerja sepanjang hari. Sampai pukul sebelas malam, gadis itu masih harus tersenyum dan berpose untuk sebuah majalah. Ia memang berhasil menyelesaikan semua tanggung jawabnya hari ini. Ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya, meski harus diakhiri dengan helaan nafas yang amat berat.

"Kita akan pulang sekarang?" Lisa bertanya, setelah masuk ke dalam mobilnya.

Jeno mengiyakannya, namun setelah itu ia berkata kalau mereka perlu mampir ke bandara untuk menjemput Jiyong lebih dulu. Jeno pikir Lisa akan senang saat mendengarnya, kemarin Lisa berkata kalau ia merindukan kekasihnya. Namun yang keluar dari gadis itu, justru sebuah keluhan panjang. "Heish... tidak mau... Suruh dia pulang naik taksi, aku ingin langsung pulang," kata Lisa, menolak untuk lebih dulu menjemput kekasihnya di bandara.

"Tapi kita memang akan lewat bandara?" Jeno sedikit kebingungan sekarang. Terlebih karena Lisa tidak mengatakan apapun dan hanya menghela nafasnya dengan kasar. Seolah sedang merajuk karena keinginannya diabaikan.

Karena Lisa sudah kesal, Jeno tetap mengemudi ke bandara. Tetap ia jemput G Dragon yang baru kembali dari perjalanan bisnisnya. Jeno pikir, ia tidak boleh membuat dua orang marah hari ini. Lisa sudah kesal, ia tidak boleh membuat Jiyong kesal juga karena harus memesan taksi sendiri.

Tiba di bandara, Lisa tidak mengatakan apapun. Ia tetap duduk di kursinya, tetap memejamkan matanya meski Jeno turun dari mobil untuk menyimpan koper Jiyong di bagasi. Gadis yang kemarin mengeluh karena merindukan kekasihnya, malam ini sama sekali tidak bereaksi meski kekasihnya ada di sana.

"Sejak kapan dia begini?" tanya Jiyong, bicara pada Jeno yang sudah kembali masuk dan melajukan lagi mobil itu.

"Kemarin," pelan Jeno, sembari sesekali melirik Lisa yang duduk di kursi belakang, tepat di sebelah Jiyong.

Jiyong mengangguk. Namun tidak ia lakukan apapun di sana. Pria itu hanya duduk, bersandar pada sandaran kursinya sembari ikut memejamkan matanya. Ikut beristirahat. "Bangunkan aku kalau sudah sampai," katanya pada Jeno.

Kini Jeno yang merasa luar biasa canggung. Ia bertanya-tanya, kenapa Jiyong justru memejamkan matanya di sana. Bukankah mereka berkencan? Bukankah Jiyong seharusnya membujuk Lisa agar berhenti marah? Apa mereka sedang bertengkar sekarang? Apa ini perang dingin? Mereka akan putus? Jeno yang penasaran, tidak bisa berhenti mengintip lewat kaca tengah.

Hampir tiba di gedung apartemen Lisa, Jeno membangunkan dua penumpangnya. Lisa langsung membuka matanya, sebab ia hanya memejamkan matanya tanpa benar-benar tidur. Sedang Jiyong mengerang, ia benar-benar terlelap barusan.

Tiba di rumah, Lisa baru membuka mulutnya. "Oppa tidak pulang?" tanyanya, sebab Jiyong mengekor sampai ke rumahnya, sedang Jeno pergi lagi ke agensi dengan mobilnya.

"Kau ingin aku pulang?" Jiyong balas bertanya, kali ini sembari menghampiri kekasihnya lalu memeluknya. "Aku tidak boleh menginap?" susulnya kemudian.

"Terserah," pelan Lisa, balas memeluknya namun tidak seberapa lama, sebab beberapa kucing sudah mengganggu mereka. Kucing-kucing kelaparan yang minta diberi camilan malam.

Lisa mengeluarkan camilan untuk para kucingnya itu dari nakas, sedang Jiyong melangkah ke sofa dan menyalakan TV di sana. "Bagaimana pekerjaan hari ini?" tanya Jiyong, setelah memutar pertandingan olahraga di sana.

"Tidak tahu," kata Lisa. "Aku tidak ingat, hanya seperti biasanya," susulnya kemudian.

"Kau butuh liburan? Kembali aktif setelah liburan sedikit sulit, iya kan?"

Lisa mengangguk, lalu bergabung ke sofa setelah selesai dengan peliharaannya. Ia berbaring di sana, sembari meletakan kepalanya di atas pangkuan Jiyong. "Saat bersiap untuk kembali bekerja, aku sangat excited. Rasanya seperti aku bisa melakukan segalanya. Tapi saat kamera dinyalakan, aku jadi sangat resah. Bagaimana kalau aku melakukan kesalahan? Bagaimana kalau orang-orang tidak suka melihatku di acara ini? Tiba-tiba semua perasaan itu muncul dan aku kelelahan. Energiku terserap habis, tapi aku tidak bisa tidur," ceritanya, disusul pengakuan kalau ia belum tidur sedari kemarin.

"Kalau begitu, batalkan saja jadwal besok, apa jadwalmu besok?" Jiyong bertanya, sembari sesekali mengusap rambut gadis di pangkuannya.

Lisa memberitahu beberapa jadwalnya besok, tapi mengatakan kalau ia tidak ingin membatalkan pekerjaannya. Akan ada banyak orang yang dapat masalah kalau dirinya membatalkan jadwalnya tiba-tiba. Banyak orang sudah bekerja keras untuk jadwalnya besok, mereka yang mendekorasi set acaranya, mereka yang sudah meluangkan waktu. Tapi alih-alih mengatakan yang sebenarnya, Lisa justru berucap, "tidak mau, aku tidak mau membatalkan jadwalku, CEO agensiku jahat," katanya.

"Kau sungguh berfikir begitu?" heran Jiyong, sembari memaksa lawan bicaranya untuk berbalik dan menatap wajahnya. Bertukar tatapan sembari bicara.

"Hm..." Lisa mengiyakannya. "Dia memberiku setumpuk jadwal yang hampir tidak pernah aku bayangkan. Manager lamaku setidaknya membujukku dulu, kau ingin melakukan ini? Kalau melakukan ini, kau harus begini, begitu, kau akan begini, begitu. Tapi... CEO-ku yang sekarang, bahkan managerku sekarang, menyuruhku mencari tahu sendiri semuanya. Aku bekerja dua kali lebih keras daripada saat di agensi lama," katanya sembari menaikan dagunya. Seolah tengah menantang Jiyong dengan pendapatnya.

"Ah? Begitu? Kalau begitu, akan aku minta CEO barumu untuk mengembalikanmu ke agensi lama, bagaimana?" balas Jiyong, tetap terlihat santai.

"Mana bisa begitu? Oppa pikir aku barang, bisa kau kembalikan begitu saja? Jahat," gerutu Lisa kemudian. "Tapi, oppa kelihatan lelah sekali hari ini. Kau mendengkur di mobil tadi," susulnya kemudian.

"Aku melakukan segalanya agar bisa pulang hari ini, karena artisku sakit. Hebat kan?" jawabnya, dengan wajah angkuh khasnya.

***

The ManagerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang