24

772 94 6
                                    

***

"Sayang," Lisa bersuara setelah mengetuk pintu studio dan membuka pintunya. Ia mengintip lewat celah pintu yang dibukanya, memasukan hanya kepalanya ke celah pintu itu dan melihat kekasihnya ada di dalam.

Mendengar suara yang familiar itu, Kwon Jiyong menoleh. Sepasang earphone ada di telinganya, lalu ia mengulurkan tangannya, tanpa mengatakan apapun, memberi tanda agar Lisa masuk dan menghampirinya. Gadis itu menurut, melangkah ke arahnya, berdiri di sebelahnya lalu meletakan dua gelas teh di atas meja, di sebelah laptop Jiyong.

"Microphone-nya menyala?" Lisa bertanya, hanya dengan gerak mulutnya, tanpa bersuara.

"Tidak," kata Jiyong, menggeleng lalu merengkuh pinggang kekasihnya. "Kameranya juga mati," susulnya, bersandar pada tubuh kurus kekasihnya, masih memeluknya, hanya dengan sebelah tangannya. Sedang tangan lainnya, sesekali menulis di selembar kertas.

"Kelasnya masih lama?" Lisa bertanya, sembari melirik laptop kekasihnya. Ada beberapa kalimat di sana, yang dengan sendirinya berubah jadi gambar-gambar. Lalu di sudut layarnya juga ada video seorang pria paruh baya yang terus bicara—entah membicarakan apa.

"Lima belas menit lagi," kata Jiyong.

"Oppa mengerti apa yang sedang dia bicarakan?"

"Kau sungguh-sungguh dengan pertanyaanmu?" balas Jiyong, sembari buru-buru melepaskan tangannya dari pinggang gadis itu. Pria itu menyalakan microphone-nya, bicara dalam bahasa inggris, menjawab sebuah pertanyaan lalu mengajukan pertanyaan lainnya.

Sekarang Lisa diabaikan. Pria itu sibuk dengan kelasnya, sementara Lisa duduk di sebelahnya, berlaga mendengarkan namun tidak satu pun kalimat bisa ia dengar. Gadis itu menyesap tehnya sembari memikirkan banyak hal lainnya—apa yang akan aku makan besok? Jam berapa aku harus bangun? Bagaimana kalau memasak? Ah tidak, rasanya tidak akan enak. Pasta? Oh! Episode baru Moving keluar malam ini!

Lisa menonton drama lewat handphonenya, sampai di menit kedua puluh, kelas Jiyong berakhir. Pria itu hanya menutup aplikasinya, melepaskan earphone-nya, lalu menoleh untuk melihat apa yang ditonton gadis di sebelahnya. Bahu Lisa di rangkul sekarang, lalu sebuah kecupan mendarat di pipinya. Ia tersenyum, menoleh dan membalas kecupan ringan itu dengan cara yang sama.

"Suasana hatimu sedang bagus hari ini?" Jiyong bertanya, dan tentu saja Lisa meninggalkan dramanya, memutar kursinya untuk duduk berhadapan dengan lawan bicaranya.

"Sangat bagus," angguk Lisa. "Aku bisa tidur di salon, lalu pemotretannya juga lancar. Heechul oppa mengirimimu fotonya kan? Aku memintanya mengirim fotonya padamu tadi."

"Hm... Dia mengirimnya, cantik," angguk Jiyong, dengan mata yang terus menatap lawan bicaranya, memperhatikan garis wajah gadis itu, sembari sesekali mengusap rambutnya. "Maaf, aku terlalu khawatir kemarin," susulnya sebelum Lisa kembali bicara.

"Aku juga terlalu emosional kemarin," angguk Lisa. "Maaf," katanya, tenang seolah ia tidak pernah berteriak sebelumnya. Seolah kemarin mereka tidak saling membentak dengan ego masing-masing. "Bagaimana harimu? Semua baik?" Lisa balas bertanya, tapi Jiyong hanya mengangkat bahunya. Meski ada beberapa masalah, hari ini tetap terhitung lancar baginya.

"Lelah," keluh manja pria itu, sengaja menumpukan dahinya ke bahu kekasihnya. "Lelah sekali, aku tidak tahu kenapa aku harus latihan tiga jam setiap pagi. Aku hanya ingin menaikan berat badanku, tapi latihannya... Augh! Rasanya seperti mau mati," adunya, pada gadis yang sekarang memeluknya, menepuk-nepuk punggungnya sembari sesekali mengusap rambutnya.

Hampir satu jam mereka begitu. Hanya mengobrol, mendengarkan keluhan Jiyong tentang betapa lelah dirinya, juga mendengarkan Lisa tentang betapa menyenangkan harinya. Malam ini suasana hati mereka terasa sangat kontras. Jiyong kelelahan, juga sedikit kesal karena sikap beberapa orang yang ditemuinya. Sedang Lisa bergembira, menikmati harinya yang menyenangkan, dengan pekerjaan dan orang-orang yang ditemuinya.

Meski begitu, keduanya tidak keberatan. Jiyong senang mendengar kekasihnya bergembira, sedang Lisa tidak keberatan mendengarkan semua keluhan pria di depannya. Semua perasaan negatif yang Jiyong ceritakan, tidak menular padanya. Semua keluhan yang Jiyong lontarkan, tidak mengurangi rasa senangnya hari ini.

"Dengan siapa kau minum kopi tadi?" tanya Jiyong, yang kini berbaring di sofa, sedang Lisa duduk di kursi, di sebelahnya. Gadis itu menaikan kakinya ke atas kursi lain, sesekali menggerakan kakinya, mengikuti ketukan musik yang mengalun.

"Bagaimana oppa tahu aku minum kopi dengan seseorang?" tanya Lisa, yang merasa tidak pernah memberitahu Jiyong tentang pertemuannya dengan Mone tadi.

Jiyong tidak langsung menjawabnya. Dagunya bergerak, menunjuk kamera CCTV di sudut ruangan. Mata Lisa membulat, terkejut karena Jiyong memata-matainya. Tidak percaya kalau pria itu mengawasinya lewat kamera CCTV.

"Menakutkan! Selama ini oppa mengawasiku?! Di rumahku juga?!" seru gadis itu, bersikap sangat berlebihan.

"Whoa... Untuk apa aku memata-mataimu?" balas Jiyong, juga keheranan dengan reaksi berlebihan itu. "Kau pikir waktuku seluang itu?" ia berkomentar, lantas berdecak.

"Lalu kenapa melihatku dari CCTV?"

"Aku pikir kau pergi ke ruanganku-"

"Memang kenapa kalau aku pergi ke ruanganmu? Oppa menyembunyikan sesuatu di sana? Apa yang oppa sembunyikan? Kau berselingkuh ya? Foto gadis mana yang kau simpan di ruanganmu? Dia lebih cantik dariku? Tega sekali, kau berselingkuh di tempat kerja!" Lisa mengajukan pertanyaan yang bertubi-tubi itu sembari meremas leher kaus Jiyong. Seolah ingin mengancamnya, namun gadis itu tidak cukup kuat untuk benar-benar mengangkat kekasihnya. Ia hanya berlaga mengancamnya. Berlaga jahat, berlaga berani.

Jiyong tertawa mendengar semua cercaan itu. Tapi Lisa masih melanjutkan permainannya. "Kenapa kau tertawa?! Kau masih bisa tertawa?! Siapa yang kau sembunyikan di ruanganmu?" gadis itu terus mendesaknya, menarik-narik kerah kausnya dan membuat Jiyong semakin geli. Tertawa semakin keras, hampir terbahak-bahak.

Lisa ditarik untuk dipeluknya, setengah menindih badannya. Pipinya dicium kemudian gadis itu kembali ia lepaskan. "Ada hadiah untukmu di ruanganku, surprise," kata Jiyong kemudian, mengatakan alasannya khawatir Lisa masuk ke dalam sana.

"Apa hadiahnya? Mana?" tanya gadis itu, tentu penasaran. Siapapun penasaran jika diberitahu akan diberi hadiah.

Kini Jiyong duduk, bersandar pada sandaran sofanya, kemudian menunjuk sebuah kotak hitam di bawah meja kayunya. Meja itu ada di belakang Lisa, yang bagian atasnya penuh dengan laptop dan kertas-kertas coretan tangan, juga gelas-gelas minuman. Begitu menoleh, Lisa bisa melihat kotak itu. Dengan antusias ia ambil kotak itu, berseru senang karena baru saja diberi hadiah.

Kotak hitamnya kemudian di buka. Tapi antusiasmenya tadi, justru berubah jadi keluhan sebal. "Aku pikir benar-benar hadiah!" ia mengeluh kesal, sebab kotak hitam itu tidak berisi hadiah dari Jiyong. Kotak hitam itu berisi barang dari brand ambassador yang mempekerjakannya. Meminta Lisa memakai sepatu dari mereka untuk beberapa acaranya, mengiklankan sepatu itu.

Sekali lagi Jiyong terkekeh. Menertawakan kekecewaan kekasihnya. Lalu sekali lagi, pria itu bertanya—siapa teman minum kekasihnya tadi. Jiyong merasa tidak pernah melihat wajah itu sebelumnya.

"Jangan terlalu over protective begitu," kata Lisa. "Aku berhak berteman dengan siapapun," susulnya.

"Aku hanya bertanya siapa dia, tidak ada yang melarangmu berteman dengannya," balas Jiyong, keheranan dengan reaksi berlebihan itu. "Apa aku pernah melarangmu berteman dengan seseorang? Aku tidak pernah keberatan siapa pun temanmu," susulnya, tidak senang dengan ucapan kekasihnya.

Lisa cemberut. Ia sendiri pun tidak tahu kenapa dirinya begitu defensif setiap kali Han Mone dibahas. Rasanya, ia tidak ingin membicarakan gadis itu dengan Jiyong. Mungkin karena reaksi Jiyong yang terdengar sinis, atau ada hal lain yang tidak Lisa sadari. Pasti karena Han Mone datang pada saat yang kurang baik, membuat ia dan Jiyong harus mengingat lagi kenangan mengerikan itu. Pasti karena itu—begitu Lisa menyimpulkannya.

***

The ManagerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang