39

523 79 8
                                    

***

"Aku mau pulang saja," Lisa berucap setelah beberapa menit ia abaikan kekasihnya yang menyetir.

"Pulang? Kenapa? Fotoku di upload bukan untuk membebaskanmu dari kencan di rumah?" tanya Jiyong, tetap terdengar santai meski tetap bisa rasakan ketegangan diantara mereka. Pria itu tahu, kalau Lisa tengah membuat jarak diantara mereka sekarang.

"Aku tidak mau membicarakannya," ketus gadis itu. "Aku lelah," keluhnya kemudian, justru mendorong sandaran kursinya kebelakang agar dirinya bisa berbaring sembari menutupi wajahnya dengan lengan kirinya sendiri.

Jiyong membiarkannya. Sebentar, ia usap puncak kepala kekasihnya, lalu kembali menyetir dengan tenang. Lisa terus begitu, meski tidak pernah benar-benar terlelap. Ia hanya memejamkan matanya, mencoba untuk kembali ceria namun suasana hatinya masih saja buruk— sejak kemarin memang begitu.

Sampai akhirnya mobil itu berhenti dan Lisa menghela nafasnya. Gadis itu bangun sekarang, menarik kembali sandaran kursinya, namun langsung menoleh ke arah Jiyong saat tahu mereka tidak di rumah. Mobil berhenti di tepi jalanan ramai. Beberapa mobil terparkir di sana, di sebuah jalan ramai yang penuh toko.

"Kenapa kita ke sini? Aku mau pulang," kata Lisa, sementara kekasihnya justru mematikan mesin mobil.

"Aku lapar. Tidak ada makanan di rumah," kata Jiyong, jelas berbohong karena di lemari es rumahnya, sang ibu selalu menyimpan banyak makanan.

"Pesan antar saja," kata Lisa tapi Jiyong menolak. Pria itu justru melangkah keluar dari Rolls-Royce putihnya, berdiri di sebelah pintunya yang masih terbuka.

"Aku mau makan di sini, kau boleh menunggu di mobil sampai aku selesai makan, atau turun dan makan denganku. Aku sudah terlanjur memesan tempat," kata pria itu, yang mengoper kunci mobilnya pada Lisa lalu menutup pintunya.

Lisa berteriak memanggil-manggil, namun pria itu berlaga tuli. Jiyong melangkah menyebrangi jalan setapak yang penuh pejalan kaki, menunjuk sebuah restoran BBQ yang dari luar kelihatan ramai. Memberi tanda pada Lisa kemana ia akan pergi.

Ditinggal begitu, tentu Lisa kesal. Lisa tahu kekasihnya suka BBQ di restoran itu. Lisa pun tahu kalau Jiyong sering memesan makanan dari sana, meminta daging panggangnya diantar sampai ke rumah, atau ke studio. Meski menyukainya, Jiyong hampir tidak pernah makan disana— kecuali saat ada pesta perayaan, penyambutan atau makan malam perusahaan.

Restoran itu selalu ramai, dan hebatnya mereka bisa buka sampai lewat tengah malam. Karenanya Jiyong sering memesan makanan di sana, menjadi pelanggan tetap yang minta makanannya di antar ke studio atau ke rumah. Kesal ditinggal sendirian di mobil, Lisa menelepon Jiyong. Tapi sial, Jiyong tidak bisa menjawab panggilan itu karena ia meninggalkan handphonenya di mobil, dompetnya juga.

Jiyong sengaja meninggalkan handphone dan dompetnya di sana. Ia sengaja meninggalkannya, agar Lisa menghampirinya, mau tidak mau. Tahu kalau kekasihnya itu sengaja mengerjainya, Lisa bersumpah ia tidak akan masuk dan mengantarkan dompet Jiyong.

"Biar saja dia tidak bisa membayar lalu disuruh mencuci piring di sana!" gerutu Lisa, sangat kesal.

Sayang, rencana Lisa tidak bisa berjalan lancar sebab sebuah nomor asing meneleponnya. Lisa mengabaikan panggilan itu, tapi panggilannya terus masuk. Telepon dari nomor-nomor asing terus masuk, secepat Lisa menolak semua panggilan itu. Ditambah ratusan pesan yang tiba-tiba memenuhi notifikasinya. "Apa ini Lisa?" "Lalisa Manoban?" "Ini sungguhan Lalisa BLACKPINK?" begitu isi semua pesannya.

Lisa yang terkejut tidak bisa memblokir nomor-nomor itu. Ia sudah memblokir beberapa nomornya, tapi handphonenya hampir tidak berfungsi lagi. Pesan dan telepon yang masuk terlalu banyak, sampai Lisa tidak bisa melakukan apapun dengan handphonenya. Seolah ada seseorang yang baru saja menyebarkan nomor teleponnya ke publik.

Akhirnya, gadis itu menyusul kekasihnya masuk ke restoran. Tanpa memakai topi dan maskernya, bahkan tanpa mengenakan kacamatanya, Lisa berlari masuk. Ia dorong pintu restorannya, berdiri di dekat pintu itu, menoleh ke kanan dan kiri, melihat sekeliling mencari Jiyong.

"G Dragon, duduk dimana dia?" tanyanya kemudian, pada seorang pelayan yang ia abaikan sapaannya tadi.

"Di sana," jawab pelayan itu, yang sebelumnya sudah bertanya apakah Lisa datang dengan Jiyong ke sana. Pelayan itu sudah memberitahu tempat Jiyong duduk, namun Lisa mengabaikannya karena terlalu sibuk melihat-lihat.

Beberapa orang menatapnya, memperhatikan Lisa saat ia diantar ke meja Jiyong. Ada sekitar dua puluh meja di restoran itu dan sembilan puluh persen penuh. Di meja untuk empat orang, Jiyong duduk sendirian. Pria itu mengambil kursi dekat jendela, dimana ia bisa melihat para pejalan kaki lewat di luar. Ia pun bisa terlihat dari luar, dan beberapa pejalan kaki diam-diam memotretnya sembari berlaga lewat di sebelah jendela besar itu.

Jiyong sudah memesan saat Lisa datang. Tiga porsi BBQ, dengan dua nasi dan side dish juga minumannya. Daging sudah di sajikan, tengah pria itu panggang di atas pemanggangnya. Nasi dan pesanan lainnya pun sudah ada di sana, seolah Jiyong tahu Lisa akan menyusulnya.

"Oppa," gadis itu langsung duduk, tepat di depan Jiyong. Tanpa berbasa-basi, ia berikan juga handphonenya pada Jiyong, yang terus bergetar, berdering karena semua notifikasi yang deras masuk ke sana.

"Kenapa? Ada apa? Mana topimu?"

"Tidak tahu," geleng Lisa. Jiyong melihat sekeliling, sedikit canggung karena sekarang mereka jadi tontonan orang-orang dalam restoran itu. Ditonton juga oleh mereka yang lewat di balik jendela. Tadi dirinya sudah menduga akan jadi tontonan seperti ini, tapi rasanya ternyata tetap tidak nyaman. Terlebih karena Lisa kelihatan sangat khawatir sekarang. "Tiba-tiba saja ada banyak orang yang tahu nomor teleponku," kata Lisa, menyuruh Jiyong memegangi handphonenya, sebab ia terlalu khawatir untuk menyentuh handphonenya sendiri.

Jiyong belum tahu apa yang terjadi, namun ia putuskan untuk mematikan handphone Lisa sekarang. "Sudah, tidak ada lagi yang menghubungimu," tenang pria itu, meski sebenarnya, jauh dalam hatinya, ia pun merasa sedikit khawatir sekarang. "Tenangkan dirimu, minum dulu, lalu makan dulu, kita urus handphonemu setelah makan," susulnya, tetap tenang.

Awalnya Jiyong merasa dirinya yakin bisa makan berdua dengan Lisa di restoran ramai seperti sekarang. Makan berdua dengan kekasihnya, sembari ditonton banyak orang, awalnya Jiyong pikir itu mudah. Tapi setelah Lisa duduk di depannya, dengan wajah khawatirnya, Jiyong tahu kalau ini tidak lah mudah. Makan berdua dengan belasan pasang mata yang mengintai ternyata lebih sulit daripada prediksinya.

Namun pria itu tetap berusaha menikmatinya. Meyakinkan dirinya sendiri kalau ia hanya perlu beradaptasi. Ia hanya perlu membiasakan dirinya. Makan berdua dengan Lisa di restoran, sama menyenangkannya dengan makan bersama teman-teman mereka. Sama menyenangkannya dengan makan bersama staff-staff stasiun TV. Sama menyenangkannya dengan makan berdua di rumah. Ia harus merasa nyaman, agar Lisa pun bisa merasa begitu.

"Tapi nomor teleponku-"

"Mana handphoneku?" tanya Jiyong, dan Lisa berdiri untuk merogoh saku celananya, mencari handphone Jiyong termasuk dompet pria itu yang tadi tertinggal. Karena panik, Lisa sampai lupa membawa dompetnya sendiri. Hanya handphonenya, milik Jiyong juga dompet Jiyong yang ia bawa turun. "Kunci mobil?" tanya Jiyong.

"Oh? Kunci mobil? Mana kunci mobilnya?" bingung Lisa, yang ajaibnya justru membuat gadis itu lupa kalau mereka ada di depan umum sekarang. Lupa kalau ada banyak mata tengah memperhatikannya.

"Cari di mobil," suruh Jiyong. "Akan aku telepon Heechul untuk mencaritahu apa yang terjadi dengan nomor teleponmu," susulnya kemudian.

Lisa berlari keluar. Di jalan menuju mobil, yang hanya perlu menyebrangi jalan, gadis itu kehilangan fokusnya. Ia panik, dan terus melihat-lihat, menunduk ke jalan, sesekali melongok ke kolong mobil, mencari kunci mobil kekasihnya. Sudah ia putari mobil kekaishnya itu, tapi kunci mobilnya tidak ada di manapun. "Aaa! Dimana kuncinya?!" panik gadis itu, lantas membuka pintu mobilnya. Mobil itu belum terkunci. Ia tidak mengunci pintunya tadi. "Ketemu!" serunya kemudian, otomatis tersenyum setelah berhasil meraih kunci mobil yang jatuh di lantai mobil, dekat kursinya tadi. "Kunci mobilnya ketemu, syukurlah kuncinya ketemu," pelannya, tersenyum memberitahu seorang pejalan kaki yang lewat di sebelahnya.

***
Kok jadi panjang sih, rencananya 30 tamat padahal

The ManagerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang