16

763 111 6
                                    

***

"Rose terbang dari New York hanya untuk mengecek keadaan Lisa di apartemennya, sementara Jisoo dan Jennie tidak terlihat batang hidungnya. Jisoo terlalu sibuk berkencan di Bali, kalau Jennie, dia lebih memilih liburan mewahnya daripada menjenguk Lisa yang trauma," begitu yang Lisa baca di tabletnya, di depan Jiyong dan pekerjaannya. Ini sudah dua hari sejak penembakan itu, namun Lisa tidak bisa keluar dari apartemennya. Orang-orang masih penasaran, tentang bagaimana ia mengatasi pengalaman traumatisnya kemarin.

Rose ada di sana, sedang memberi makan kucing-kucing Lisa. Sedang pemilik rumah itu, duduk di sofa dengan kaki yang dipasangi penyangga. Kaki Lisa terkilir saat ia berusaha melarikan diri dari penembakan itu. "Wahh... aku jadi terdengar seperti dewi baik hati," komentar Rose. "Sekarang Jennie dan Jisoo eonni penjahatnya?" susulnya kemudian, sembari sesekali mengusap kucing yang berada tepat di bawah meja makan.

"Bisakah kau bermain dengan Leo di tempat lain?" Jiyong bertanya, sebab Rose berjongkok tepat di sebelah kakinya sekarang. Sibuk mengusap-usap kucing yang sedang berbaring di bawah kaki Jiyong.

"Semua orang penjahat," kata Lisa. "Kau juga akan jadi penjahat kalau mereka tahu alasanmu datang," susulnya. "Sampai kapan kau akan menginap di sini? Sampai pria itu menjemputmu? Sebenarnya, aku ingin berkencan sekarang, tapi kau menghalangi," ucapnya, namun pria yang ia sindir justru menggerakkan tangannya.

"Aku tidak bisa berkencan sekarang, aku sibuk," kata Jiyong, menanggapi sindiran itu.

"Tsk..." Rose berdecak, lantas menarik kaki Leo, membuatnya menjauhi kaki Jiyong. Ia gendong Leo, lantas membawanya untuk duduk di sofa. "Lihat... kekasihmu sibuk, bermain saja denganku."

"Pergi saja kalau oppa sibuk," Lisa menyuruh kekasihnya pergi. "Untuk apa oppa ada di sini kalau terus melihat laptopmu? Aku benar-benar baik sekarang. Aku memang sempat takut tapi aku tidak trauma. Aku hanya terkejut, aku bahkan bisa bekerja sekarang. Interview untuk majalah, bagaimana? Ayo lakukan jadwal yang bisa aku kerjakan sambil duduk," oceh Lisa, untuk ketiga kalinya hari ini.

Sampai kemarin gadis itu masih ketakutan. Kemarin ia masih terkejut hanya karena suara-suara keras. Namun setelah menemui dokter—yang diundang langsung ke rumahnya—juga setelah ia bicara dengan ayah ibunya lewat panggilan video, gadis itu merasa lebih baik. Lukanya, rasa takutnya, bisa dengan mudah sembuh karena kehadiran orang-orang di sekitarnya.

"Atau setidaknya biarkan aku menemui Jeno, aku benar-benar mengkhawatirkannya, hm? Oppa?" pinta Lisa sekali lagi, yang masih diabaikan sebab sekarang Jiyong justru bangkit untuk menelepon.

"Aku akan bertemu dengan Produser Na untuk mengatur ulang jadwalmu," Jiyong berkata begitu sembari meraih kunci mobilnya. "Ibuku akan datang untuk mengantar makan malam sebentar lagi," susulnya sebelum pergi.

"Bagaimana rasanya?" Rose bertanya, setelah ia melirik pintu depan yang tertutup lepas kepergian Jiyong.

"Apa?"

"Punya pacar sepertinya?" tanya gadis itu. "Aku tidak bisa memahaminya... kekasihnya baru saja terluka dan dapat pengalaman traumatis, bagaimana bisa dia tetap bekerja? Kalau kekasihku yang terluka dan dapat pengalaman mengerikan itu, aku akan menemaninya, menepuk-nepuk punggungnya dan mengatakan semua baik-baik saja. Aku akan menenangkannya, memeluknya, menghiburnya. Akan aku tinggalkan semua pekerjaanku untuknya."

"Dia melakukannya, semalam, kemarin malam juga," polos Lisa, kali ini ia tinggalkan tabletnya. Sengaja menutup tablet itu agar bisa serius mengobrol.

"Ah... dia melakukannya?"

"Tentu saja dia melakukannya, tapi tidak di depanmu."

"Kenapa? Jiyong oppa malu menunjukan perhatiannya?"

"Tidak," Lisa menggeleng. "Kau sudah ada di sini, untuk apa aku dihibur oleh dua orang sekaligus? Uhm... hanya... ah... sudah ada Rose, aku bisa mengerjakan lainnya sekarang—begitu? Tapi sebenarnya, aku sudah tidak perlu dihibur lagi sekarang. Tidak... sedari awal aku hanya terkejut, aku tidak perlu dihibur. Kasusnya bukan seperti baru saja melihat seorang pembunuh berantai. Tentara itu pasti punya alasan sampai dia harus melarikan diri-"

"Ya! Alasan apa yang bisa membenarkan penembakan itu?! Kau sudah gila ya?" potong Rose.

"Tidak, tentu tidak ada yang bisa membenarkan perbuatannya. Aku juga berharap dia dipenjara seumur hidup. Tapi... dia menembak karena tertekan, bukan karena dia ingin menembaki orang-orang. Dia tidak ingin menembakku, hanya kebetulan saja aku ada di sana. Karena itu, karena dia sudah ditangkap sekarang, aku baik-baik saja. Aku tidak takut lagi... kejadian ini tidak akan terulang karena dia sudah ditangkap, begitu maksudku," jelas Lisa, dan tablet di sebelahnya berdering. Kali ini dari panggilan grup. Jisoo yang memulai panggilan itu, menghubungkan keempat member BLACKPINK yang ada dalam grup itu.

Lisa menjawabnya, lantas tersenyum dan melambai. Ia juga menunjukan Rose dengan kamera belakangnya, lalu berkata, "eonni jahat sekali! Kau tidak menjengukku! Kau sibuk berlibur di Bali ya?" kata Lisa, bersamaan dengan bergabungnya Jennie dalam panggilan itu.

Rose mengganti posisi duduknya. Ia tinggalkan Leo di atas sofa single tempatnya duduk tadi, lalu berpindah ke sebelah Lisa. Ingin ikut berbincang lewat panggilan video itu. "Iya! Aku sibuk sekali!" kata Jisoo, sembari memamerkan rambutnya yang di kepang kecil-kecil, juga tato temporer yang ia dapatkan di pantai beberapa jam lalu. "Bagaimana keadaanmu? Kau tertembak?" tanyanya kemudian.

"Ya! Kenapa aku tidak bisa menghubungimu kemarin-kemarin?!" Jennie bertanya. "Aku terkejut melihat beritamu kemarin!" protesnya kemudian.

"Eonni, dimana kau sekarang? Katanya kau akan terapi tanpa internet atau apalah itu?" Rose ikut bicara, bertanya pada Jennie yang juga ada di luar negeri sekarang.

Jennie memutar kameranya sekarang, menunjukan pemandangan tempat peristirahatan yang berada di tengah-tengah padang rumput hijau. Ia ada di Mongolia sekarang, bersama tiga orang teman perempuannya. "Aku baru saja berkendara sejauh 400 kilometer, ini tempat peristirahatan pertamaku hari ini, kami akan menginap di sini," katanya, sembari merekam pemandangan beberapa rumah kayu kecil, juga beberapa ger.

"Ada internet di sana, tapi kenapa aku tidak bisa menghubungimu?" Rose kembali bertanya, sementara Jisoo juga Lisa hanya melihat wajah mereka berempat di layar.

"Di beberapa tempat ada internet, tapi jarang sekali. Hanya ada domba, padang rumput, padang pasir, dan unta. Oh! Kemarin aku naik unta! Lalu Hoyeon eonni menunggang kuda. Benar-benar menungganginya, dia menggembalakan domba-domba dengan Yoomi eonni," cerita Jennie.

"Yoomi eonni pergi ke sana untuk syuting, tapi apa yang kau dan Hoyeon eonni lalukan di sana? Hanya bermain?" heran Jisoo kemudian. "Kenapa kau harus pergi ke Mongolia hanya untuk bermain kuda? Berkuda saja di kebun binatang, kau juga bisa naik unta di sana," katanya.

"Eonni, aku juga bisa mengepang rambutmu di sini. Untuk apa kau pergi ke Bali?" balas Lisa, yang langsung membuat Jennie terkekeh, senang karena ada yang membelanya.

"Ya! Kau baru saja dapat masalah, kau tidak berhak mengomentari pilihanku," Jisoo membalas, lalu sekali lagi ia tanyai Lisa tentang keadaannya, tentang penembakan dua hari lalu. "Jiyong oppa bilang kau kehilangan handphonemu, bagaimana dengan isinya? Foto-foto vulgarmu? Semuanya aman?"

"Foto vulgar?" baik Jennie maupun Rose, kini keduanya terkejut. "Kau menyimpan foto-foto vulgar di handphonemu?! Fotomu dengan Jiyong oppa?!" Rose menutup mulutnya karena terkejut, begitu juga Jennie di Mongolia—yang videonya berhenti karena masalah sinyal.

"Foto vulgar apanya?! Aku tidak punya foto-foto begitu!" protes Lisa. "Lagi pula handphoneku sudah ketemu, ada pada Jeno tapi rusak. Terinjak-injak," susulnya, lalu Jisoo juga Rose bisa menghela lega nafas mereka.

"Kalian merekamnya?! Kau pasti sudah gila!" Suara Jennie akhirnya muncul setelah beberapa detik terjeda—karena masalah sinyal. "Ya! Lalisa! Bagaimana bisa kau merekam itu?! Sinting! Sekarang bagaimana?! Jiyong oppa bilang apa?! Augh! Kalian berdua benar-benar! Ya! Aku ingin berlibur dengan tenang!" omelnya, yang terdengar belakangan. Lagi-lagi karena masalah sinyal.

***

The ManagerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang