b

584 85 23
                                    

***

Kencan mereka akhirnya terjadi di Gangnam. Jiyong mengajak Lisa masuk ke sebuah restoran yang tidak pernah mereka kunjungi sebelumnya. Setelah ketahuan berkencan, mereka jadi leluasa untuk masuk ke berbagai toko. Mereka tidak lagi perlu berkata pada pemilik tokonya— tolong rahasiakan hubungan kami. Mereka tidak lagi perlu berkencan di tempat-tempat terbatas seperti sebelumnya. Tidak lagi perlu mengajak beberapa teman untuk berkencan. Kebebasan berpihak pada mereka sekarang.

"Bayar makanannya dulu, aku masih harus membalas pesan Dahee," Jiyong berkata begitu, sembari mengoper dompetnya pada Lisa, setelah selesai mereka makan.

"Oppa tahu apa yang orang-orang bilang tentangku?" tanya Lisa, sembari meraih dompet Jiyong, mengeluarkan sebuah kartunya dan memeganginya. Tidak lekas membayar makanan mereka ke kasir.

"Apa? Kau beruntung karena aku kaya?"

"Hei, aku juga kaya," gerutu Lisa. "Mereka bilang... G Dragon terlalu santai memberikan dompetnya pada Lisa. Apa dia tidak takut Lisa mencuri uangnya? Lisa suka belanja— begitu kata orang-orang, karena fotoku mengambil dompetmu setiap kali kita ke restoran terlalu banyak di internet. Bisa-bisanya mereka berfikir begitu? Padahal aku tidak pernah mencuri uangmu, iya kan?" katanya, mengoceh setengah mengeluh.

"Mereka tidak sepenuhnya salah," geleng Jiyong. Tanpa melihat pada kekasih di depannya. "Saat kita rekaman dan aku memintamu membeli makanan dengan uangku, tagihannya banyak sekali. Tiga ratus ribu di restoran cina, lalu dua setengah juta di toko baju vintage, di sebelah restorannya. Aku dapat notifikasi belanjanya. Pantas saja kau mau disuruh pergi ke restorannya, ternyata ada toko baju di sebelahnya," susulnya.

Lisa sempat membeku, dengan matanya yang membulat sempurna. Gadis itu lantas memprotes ucapan kekasihnya. Mengaku kalau ia tidak bermaksud mencuri uang Jiyong. Ia hanya meminjam uang kekasihnya tapi lupa mengembalikannya. Ia tidak dengan sengaja mengambil kartu Jiyong, berpura-pura akan membelikan pria itu makanan di restoran— bukan pesan antar— hanya untuk membeli beberapa kaus.

"Aku akan mengganti uangmu, tenang saja," gerutu Lisa setelah meluruskan kesalahpahaman mereka.

"Kapan?"

"Minggu depan-"

"Uang sakumu sudah habis? Whoa! Ibumu pasti marah. Kali ini jangan melibatkanku, aku tidak mau ikut dimarahi karena kebiasaan foya-foyamu," potong Jiyong.

"Ya! Jangan bilang begitu," Lisa kembali menggerutu. Kali ini, ia bangkit dari duduknya. Pindah ke kursi kosong di sebelah Jiyong. "Aku tidak berfoya-foya, aku hanya membeli beberapa kaus. Hanya beberapa. Aku sudah berusaha menahan diri, kali ini tidak sebanyak biasanya. Dan kalau boleh jujur, aku tidak pernah belanja sebanyak oppa," katanya, mengganggu Jiyong yang katanya harus membalas pesan. "Bayangkan betapa sedihnya hidupku. Aku yang mencari uang, aku yang mengumpulkan banyak uang, tapi hanya untuk kaus saja, aku harus meminjam uangmu. Uang sakuku terlalu kecil, terlalu sedikit," keluhnya lagi.

"Lisa, sayang, sadar diri sedikit. Kalau kau memegang sendiri semua uangmu, kau tidak akan bisa membeli mobilmu sekarang, membeli villa, rumah mewah yang tidak pernah kau tempati, memberi makan kucing-kucingmu. Kau bisa bangkrut dalam satu bulan kalau diberi akses ke semua uangmu," kata Jiyong, ingin menyadarkan kekasihnya atas kekurangannya itu. "Kau hampir sempurna, kecuali di bagian mengatur uang, jadi biarkan ibumu yang melakukannya," susul pria itu, kali ini sembari mengusap rambut dan pipi kekasihnya. Jiyong berani melakukannya di depan umum sekarang, meski tahu beberapa orang pasti akan memotret.

"Tsk... Payah," keluh Lisa, yang langsung gagal membujuk Jiyong. Gagal meminta Jiyong bicara pada ibunya, agar ia diberi akses ke semua uangnya. Agar ia tidak lagi perlu meminjam uang kekasihnya saat ingin membeli sesuatu di luar budget bulanannya. "Oh iya, aku dengar beberapa gadis dibiayai kekasihnya. Ada yang diberi uang bulanan kekasihnya. Ada juga yang setiap hari makan dan belanja bersama kekasihnya. Laki-laki seperti itu dianggap green flag sekarang. Oppa tahu green flag kan?"

"Aku mau saja melakukannya-"

"Sungguh?! Kalau begitu-"

"Aku mau melakukannya, tapi aku tidak bisa melakukannya. Ibumu melarangku melakukannya. Ibumu memintaku membantunya untuk melatih putrinya belajar berhemat," potong Jiyong. "Kalau kau butuh uang lebih, bilang saja pada ibumu, dia pasti memberinya," susul Jiyong, santai seperti biasanya.

"Tidak mau!" tolak Lisa, setelah ia mendengus karena Jiyong berdiri di pihak ibunya. "Aku harus menjawab banyak sekali pertanyaan kalau minta uang tambahan. Lalu diceramahi soal berhemat seperti sekarang, padahal aku sudah besar, tapi masih saja diperlakukan seperti anak-anak, menyebalkan," gadis itu terus menggerutu.

Kini Jiyong meletakan handphonenya. Ia menoleh pada gadis di sebelahnya, menatapnya dengan pandangan menyelidik. Seolah tengah menilai wajah Lisa.

"Apa?" ketus Lisa.

"Kau persis seperti anak-anak kalau sedang bersikap begini," kata Jiyong, yang sebelah tangannya kemudian terulur untuk mencubit-cubit pelan pipi kekasihnya. "Augh! Gemas! Aku ingin menghancurkan pipimu," susul Jiyong.

Lisa menepis tangan Jiyong setelah mendengar ucapan pria itu. Lekas ia bangkit dari kursinya, pergi ke kasir untuk membayar sebelum Jiyong benar-benar meremas pipinya. Pria itu cenderung ingin menghancurkan apa-apa yang menurutnya menggemaskan. Lisa harus menyelamatkan diri sekarang.

Lepas dari restoran itu, mereka berdua melanjutkan kencan sore ini dengan berjalan-jalan di sekitaran Gangnam. Berjalan di trotoar, sembari bergandengan tangan— hanya Lisa yang memegangi tangan Jiyong, sebab sesekali pria itu harus membalas pesan Dahee atau Heechul. Harus membuat keputusan untuk kelanjutan agensi mereka. Kadang-kadang Jiyong juga perlu membalas pesan produser lain.

"Tidak bisa kah oppa berhenti melihat handphonemu? Katanya kita sedang berkencan sekarang," kata Lisa, dengan nada bicaranya yang terdengar sangat santai.

"Tidak bisa, ini tentang rencana filmnya Jisoo. Aku berencana berinvestasi ke film itu," balas Jiyong, tetap mengetik di handphonenya, sedang Lisa memeluk lengan pria itu, sembari sesekali melihat-lihat toko disekitaran mereka, di jalanan Gangnam yang ramai.

"Ah... Lanjutkan saja kalau begitu, aku akan menuntunmu," santai Lisa kemudian, sama sekali tidak terganggu dengan kebiasaan baru kekasihnya itu. Sampai agensi mereka stabil, Lisa tidak keberatan kalau Jiyong selalu bekerja. "Oh! Ayo mampir ke sana, aku ingin membeli parfum baru," ajak gadis itu, menarik Jiyong untuk masuk ke sebuah studio parfum. Menuntun langkah pria itu kemanapun yang ia mau.

Jiyong selesai dengan pesan-pesannya ketika mereka berdiri di depan sebuah rak penuh dengan parfum. Lisa sedang melihat-lihat parfum yang ada di sana, sedang Jiyong tidak seberapa tertarik dengan wewangian itu. Pria itu justru tertarik pada pipi kekasihnya. Sembari menunggu Lisa memilih, ia pakai dua jarinya untuk menekan-nekan pipi Lisa, sedikit mencubitnya, tanpa melukai kekasihnya. Menekan pipinya seperti menekan mainan.

Melihat Jiyong begitu, melihat Lisa yang sepertinya tidak keberatan diperlakukan begitu, pramusaji di toko parfum itu berkomentar. Berkata kalau Jiyong pasti sangat menyukai pipi chubby kekasihnya. Di tanya begitu, Jiyong mengiyakannya. Pria itu tidak bisa menutupinya, ada terlalu banyak fotonya sedang mencubit pipi Lisa di internet.

"Aku baru tahu kalau G Dragon suka gadis dengan pipi chubby," kata pramusaji itu, yang hanya Jiyong iyakan dengan sedikit kekehan tidak berarti. Jiyong tidak peduli dengan pendapat pramusaji itu, sementara Lisa belum tentu mendengarnya karena terlalu fokus memilih parfum. "Tapi pipi Jennie Kim lebih chubby dan menggemaskan, iya kan?" susul si pramusaji, membandingkan Lisa dengan teman satu grupnya.

"Oh ya?" balas Jiyong, seadanya.

"Hm... Jennie eonni lebih chubby daripadaku," santai Lisa kemudian, sebab ini bukan pertama kalinya mereka dibandingkan.

"Ahhh... Begitu? Lalu kenapa?" balas Jiyong, menoleh pada Lisa, lalu pada si pramusaji yang memulai pembicaraan itu.

"Tidak ada?" si pramusaji sekarang terdengar canggung. "Aku hanya bilang, kalau pipi Jennie lebih chubby daripada Lisa, kalau kau menyukai gadis dengan pipi chubby," bingungnya kemudian, sebab ia tidak bisa menemukan jawaban yang tepat untuk menggambarkan maksudnya.

"Aku memang suka pipi chubby-nya," kata Jiyong kemudian. "Tapi kalau aku berkencan hanya untuk dapat pipi chubby, lebih baik aku beli boneka saja. Boneka apa itu namanya? Squishy? Yang kenyal-kenyal seperti mochi itu? Iya kan?" susulnya, membuat malu si pramusaji. Tapi meski begitu, Lisa tetap membeli parfum yang ia mau. Setelah semua yang ia lalui, komentar orang-orang tidak lagi berpengaruh besar untuknya.

***
Sudah

The ManagerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang