20

680 98 8
                                    

***

Kekasih itu bertengkar, dan Lisa yang lebih dulu pergi. Di tempat parkir Yellow Ent., mereka berdebat, juga berteriak, membentak satu sama lain. Pertengkaran itu terjadi karena keduanya bermaksud baik. Jiyong yang keras kepala merasa Lisa belum cukup beristirahat setelah kejadian traumatisnya. Sedang Lisa tidak tahan melihat kekasihnya terus menelepon, terus bekerja karena harus mengatur ulang jadwal yang sudah ada.

"Aku yang ada di bandara waktu itu! Kalau aku bilang aku tidak trauma, berarti aku memang tidak merasa begitu! Kenapa oppa tidak bisa memahaminya?!" gadis itu akhirnya berteriak, marah lalu meninggalkan Jiyong di mobilnya.

Melewati batas tempat parkir, Lisa sedikit terkejut. Sekelompok orang berdiri di sebrang jalan, dengan banner dan fotonya. Ia lantas merapatkan topinya, berjalan menghindari gerombolan itu dan masuk ke gang kecil di sebelah gedung agensinya. Jisoo yang menemukan gang itu sebelumnya, saat dirinya perlu menghindari beberapa penggemar di cafe, juga di depan agensi.

Ditengah langkahnya menyusuri gang sempit itu, Lisa terus menekan turun topinya, memastikan wajahnya tidak terlihat. "Heish! Bajingan!" umpatnya kemudian, tidak seberapa keras memang, namun cukup untuk menunjukkan emosinya. Baru beberapa meter ia menjauhi agensi barunya, gadis itu sadar kalau dirinya tidak punya apapun sekarang—handphone bahkan dompetnya. Satu pekan terakhir ini Jiyong yang mengurus kebutuhannya, sampai Lisa lupa kalau ia tidak punya apapun sekarang. Bahkan tabletnya tertinggal di mobil pria itu.

Langkahnya berhenti sekarang. Ia timbang-timbang keputusannya, tetap melangkah pergi atau kembali ke agensi. Kira-kira dua puluh detik ia berdiri di sana, lalu diputuskannya untuk tetap melangkah pergi. "Augh! Terserah! Berjalan saja sampai rumah!" Lisa mengeluh sebal, lalu kembali berjalan dengan kaki yang ia hentak-hentakan ke tanah.

Gadis itu terus berjalan, melewati beberapa gang kecil lalu tersesat. "Kenapa jalan besarnya jadi jauh? Sepertinya waktu itu dekat," heran Lisa kemudian, melihat sekeliling gang kecil yang bercabang itu. Gang kecil itu hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki, dengan kanan dan kiri dinding gedung orang lain. Sepintas dinding-dinding di sana terlihat sama, karenanya Lisa tersesat sekarang.

Satu menit Lisa berjalan, setelah sadar kalau dirinya tersesat. Lalu ditemukannya sebuah sofa panjang, di bawah tiang lampu. Sofa yang sepertinya dibuang seseorang di sana. Lelah berjalan, Lisa akhirnya duduk di sofa terlantar itu. Baru beberapa detik gadis itu duduk, tapi tanpa sadar, tangannya sudah menggerayangi saku celananya. Ia cari handphonenya di sana, namun tidak menemukan apapun. Rasanya asing sekali—nilainya sekarang. Duduk tanpa punya apapun untuk dimainkan. Duduk tanpa melakukan apapun. Tidak ada handphone, tidak ada tabletnya juga. Ia lelah berjalan, tapi duduk di sana pun rasanya tidak nyaman.

"Haruskah aku tidur?" bingung gadis itu, sekilas membayangkan dirinya tengah duduk di kursi pesawat. Apa yang biasa ia lakukan di kursi pesawat tanpa handphonenya? Tidur? Menonton film di layar kecil di depannya?

Lisa tidak pernah menduga, kalau duduk dan tidak melakukan apapun seperti sekarang ternyata sangat sulit. Ia bahkan tidak bisa duduk dengan nyaman karena kebingungan—benarkah aku hanya bisa duduk di sini?

Saking ragunya, saking bingungnya, Lalisa mulai membaca brosur-brosur promosi yang ditempel ke tiang lampu. Brosur jasa menjaga anjing, jasa membersihkan rumah, sampai memperbaiki peralatan elektronik, Lisa membaca semuanya. Lalu setelah ia selesai, ia kembali kebingungan—harus apa lagi aku sekarang?

Duduk di sana sembari menghitung krikil di dekat kakinya, Lalisa mendengus—tidak melakukan apa-apa, ternyata sama sulitnya dengan luar biasa sibuk. Tidak... Tidak melakukan apa-apa ternyata jauh lebih sulit. Langkah kaki seseorang kemudian terdengar, Lisa menoleh untuk melihat siapa yang datang. Ada setitik harapan di sana—kekasihnya yang akan datang. Mencarinya, menjemputnya karena khawatir. Namun harapan itu tidak bertahan lama, justru berubah jadi kekhawatiran—orang yang lewat itu, bukan hantu kan? Dia benar-benar manusia kan?

Nafas Lisa tercekat, sedikit panik sebab orang yang melangkah ke arahnya memakai sebuah gaun putih. Bukan gaun pernikahan, hanya sebuah gaun putih polos, tanpa renda tanpa gambar. Bahan gaunnya kelihatan lembut, jatuh ke bawah, menutupi lutut penggunanya. Dari posisinya, Lisa perlu mendongak lebih banyak untuk bisa melihat wajah orang itu. Sekarang ia hanya bisa melihat bagian bawah gaun putihnya, juga sepatu dan kaus kaki hitam yang ia kenakan.

Lisa mendongak dan mereka bertemu tatap. Hanya untuk beberapa detik, sebab gadis itu berjalan melewatinya. Lisa memutar kepalanya, mengikuti gerak gadis itu. Sampai dibeberapa langkah selanjutnya, gadis itu menoleh. Sekali lagi mereka bertemu tatap, baru selanjutnya Lisa mengenalinya. Gadis itu pun sama, ia terkejut dan berjalan menghampiri Lisa di tempatnya duduk.

"Lalisa?!" gadis itu terkejut, senang bercampur bingung.

"Mone! Namamu Mone, iya kan?!" Lisa ikut berseru, mengenali gadis yang baru saja lewat. Han Mone, penggemar yang membantunya saat penembakan tempo hari.

"Aku pikir aku salah lihat," serunya, masih memperhatikan Lisa yang sekarang berdiri di depannya, memeluknya dan membuatnya membeku.

"Aku tidak percaya bisa bertemu denganmu lagi," senang Lisa, lepas ia memeluk gadis di depannya. "Aku sempat sedih karena lupa meminta nomor teleponmu," ucapnya kemudian.

Reuni setelah beberapa hari lalu membagi kenangan buruk, kini mereka berdua duduk di sana. Duduk di sofa tua yang usang, di bawah tiang lampu yang juga usang. Di jalan sepi itu mereka berbincang, Lisa mengatakan kalau dirinya merasa tersesat di sana. Lepas berkenalan, Mone mengantar Lisa ke jalan utama. Menemani gadis itu sampai bertemu taksi, lalu mereka berpisah. Tentu setelah Lisa memberikan nomor teleponnya pada Mone. Meminta gadis itu menghubunginya, secepatnya.

"Itu nomor telepon pribadiku, jangan menjualnya," pesan Lisa, sembari terkekeh.

Mone mengangguk, ikut terkekeh sembari berucap, "tidak akan aku jual, nomor telepon gadis paling cantik di dunia," godanya kemudian.

Lisa tertawa, tapi mereka tidak bisa berbincang lebih lama lagi. Lisa harus segera naik dan pergi dengan taksinya itu. Ia sempat membuka jendela taksinya, melambai sampai jarak mereka cukup jauh. Mone telah sukses menjadi seorang penggemar. Kini ia tidak hanya bisa melihat Lisa di layar handphonenya, gadis itu benar-benar ada di depannya, tersenyum padanya, mengatakan kalau mereka harus berteman setelah tragedi mengerikan tempo hari.

Sembari menatap taksi yang melaju pergi, Mone melambai, terus melambai sampai tidak lagi ia lihat sedan hitam itu. Senyumnya merekah, tidak bisa pudar. Teramat bahagia hingga ia lupa untuk mengisi perutnya—harusnya aku mengajak Lisa makan dulu tadi—sesalnya kemudian. Tapi Lisa berjanji akan mentraktirku makan kapan-kapan, aku harus menghubunginya malam ini!—hanya perlu beberapa detik untuk mengubah rasa sesal itu jadi sebuah harapan. Ia beruntung, ia penggemar yang luar biasa beruntung. Rencananya berhasil.

***

The ManagerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang