30

516 77 10
                                    

***

Begitu sampai di agensi, Jiyong tidak langsung melangkah ke kantornya. Dengan santai, pria itu pergi ke cafe di bawah agensinya. Menyapa baristanya, lalu memesan kopinya. "Aku dengar manager Kim sakit," begitu kata si bartender, memulai pembicaraan setelah menerima pesanan Jiyong.

"Hm... Katanya usus buntu. Dia pikir asam lambungnya bermasalah kemarin, kepalanya pusing dan perutnya sakit, tapi ternyata itu karena usus buntu," santai Jiyong, berdiri di depan counter, menunggui kopinya selesai dibuatkan. "Aku baru meninggalkannya seminggu, tapi dia sudah sakit. Augh... Dia tidak bisa bekerja tanpa- akh!" Jiyong mengerang di tengah-tengah obrolan mereka.

Pria itu terkejut, sangat terkejut saat tiba-tiba dari arah belakang —yang sama sekali tidak disadarinya— segelas kopi dilempar kepadanya. Bukan hanya Jiyong, barista yang melayaninya, juga seorang pegawai lain yang sedang menyapu di dekat pintu pun terkejut melihat serangan tiba-tiba itu.

Refleks Jiyong mengusap kepalanya, untungnya kopi itu sudah tidak lagi panas. Ia berbalik, sementara sang bartender buru-buru mencarikan tisu. Han Mone yang berdiri di sana, di belakang Jiyong. Ia pelaku yang tiba-tiba saja menyerang Jiyong. Melempar Jiyong dengan sisa kopinya sendiri.

"Berengsek!" maki Mone, pada pria yang masih terkejut itu.

Mone tidak bisa menahan dirinya. Di cafe itu, di hari yang masih terhitung pagi, ia meledak. Ia marah, karena sedari pagi tidak seorang pun mengatasi berita skandal yang muncul. Mone kesal, sebab menurutnya, agensi membiarkan Lisa dihina orang.

Tidak sampai di sana, Mone juga kecewa karena Jiyong menyuruh sang bintang favoritnya untuk menyetir, menjemputnya di camp militer. Tanpa membiarkan Jiyong bicara, gadis itu memaki, menjerit mengatakan kalau Lisa tidak seharusnya berada di agensi kecil itu. Lisa seharusnya ada di Hollywood sekarang, jadi bintang yang bersinar semakin terang. Bekerja sama dengan musisi dan orang-orang kalangan atas, menjadi seorang yang tidak lagi bisa digapai. Bukan justru diperlakukan menyedihkan dan dijadikan supir.

Jiyong dimarahi habis-habisan oleh sang penggemar. Dikatai bodoh, penjahat sampai bajingan mesum yang selalu ingin dikelilingi wanita-wanita cantik. Mone tidak bisa berhenti, dan Jiyong tidak bisa menemukan celah untuk melarikan diri. Bukan, Jiyong selalu bisa berpamilng dan pergi, namun ia memilih untuk tetap berdiri di sana. Pria itu memilih untuk mendengarkan semua makian Mone, bahkan dengan suka rela menerima pukulan gadis itu. Mone pernah menyelamatkan Lisa dan Jiyong menganggap dirinya tengah membalas budi sekarang.

"Lisa berhak dapat yang lebih baik! Bukan hanya pria tua yang tidak lagi laku sepertimu! Kau harusnya sadar diri!" Mone membentak, lalu berpaling, melangkah pergi meninggalkan tempat itu sambil menggerutu, mengatakan kalau Lisa tidak seharusnya pindah ke agensi kecil itu. Mencibir dengan bilang kalau Lisa harusnya bekerja dengan agensi yang lebih besar dan diperlakukan bak ratu di sana.

"Kau baik-baik saja?" suara si barista menyadarkan Jiyong. Membuat pria itu langsung menoleh kemudian mengulurkan tangannya.

"Kopiku?" begitu respon Jiyong, setelah diperlakukan bak seorang penjahat.

Dengan canggung, barista yang tadi dilarang mendekat— dengan gerakan tangan Jiyong— mengulurkan kopinya. Berkata juga kalau kopi itu sudah dingin karena terlalu lama menunggu omelan Mone selesai. Ia tawarkan Jiyong segelas kopi baru, namun pria itu menolak. Ia ambil kopinya, berterimakasih kemudian meninggalkan cafe.

Tiba di ruang kerjanya, amarah memuncak. Jiyong melepaskan kemejanya yang basah di sana, melemparnya ke sofa sembari menahan teriakannya. Menahan emosinya. "Heish! Sialan!" umpatnya, tidak seberapa keras karena tahu ada Dahee di ruang sebelah.

Namun, mungkin karena suaranya menutup pintu tadi, sekarang seseorang mengetuk pintunya. Dahee datang, dengan setumpuk berkas di tangannya. "Kau sedikit terlambat, CEO," komentar Dahee sembari melangkah masuk. "Oh? Kenapa pakaianmu?" susulnya, baru menyadari kalau Jiyong tidak memakai kemejanya sekarang.

"Basah, bisa carikan aku baju ganti? Sepertinya ada beberapa di mobilku," pinta Jiyong, tanpa memberi penjelasan lebih banyak.

Jiyong menukar kunci mobilnya dengan berkas-berkas Dahee. Diletakkannya semua tumpukan berkas itu ke atas meja, dengan sedikit kasar sebab emosi masih memenuhi kepalanya. Sedang Dahee memberikan lirikan penasarannya, memperhatikan gerak kasar sang CEO sebelum memutuskan untuk pergi ke tempat parkir di bawah.

"Kau bertengkar dengan CEO karena skandal pagi ini?" Dahee mengetik sebuah pesan sembari melangkah ke mobil, mengirimnya pada Lisa yang luar biasanya langsung di baca. Tanpa menunggu menit berganti, Lisa sudah membalasnya, "Noooo," begitu tulis Lisa dalam pesannya.

Lisa tidak segera menelepon setelah menerima pesan dari Dahee. Gadis itu masih harus mandi, menunggu Jeno dan pergi ke salon setelah membalas pesan Dahee. Baru setelah ia dirias dan kembali duduk di mobil untuk pergi ke lokasi pemotretan, ia telepon kekasihnya. Berharap sekarang emosi kekasihnya itu sudah lebih stabil.

"Hei!" serunya begitu Jiyong menjawab panggilannya. Meski sayang, Jiyong hanya menggumam dan mengatakan kalau dirinya sibuk. "Meeting?" tanya Lisa, sadar kalau emosi Jiyong belum membaik sekarang. Jiyong masih terdengar kesal, dengan alasan yang tidak Lisa ketahui.

"Tidak, ada setumpuk berkas yang harus aku baca. Ada apa? Ada masalah di sana?" jawab Jiyong, dengan latar belakang suara kertas yang dibalik, suara dari guratan pena juga beberapa tombol pada keyboard yang ditekan kasar. Meski tidak bermaksud begitu, Jiyong menunjukkan dengan jelas bagaimana perasaannya sekarang.

"Tidak, hanya ingin menelepon. Haruskah aku telepon nanti saja?" tanyanya, ingin mencari celah untuk berbincang lebih lama, untuk mencari tahu alasan Jiyong kesal namun pria itu menolaknya.

"Ya, telepon nanti saja, aku masih sibuk sekarang," kata Jiyong, membuat Lisa harus mengakhiri panggilan, mau tidak mau.

Telepon berakhir dan Jiyong kembali fokus pada pekerjaannya. Maunya begitu. Jiyong ingin kembali fokus pada pekerjaannya, namun ucapan Mone terus mengganggunya. Semua makian yang Mone lontarkan, mengganggu harinya. Membuatnya benar-benar terganggu hingga ia kesulitan mengontrol fokusnya.

Meski begitu, meski harus meluangkan waktu lebih lama dari biasanya, Jiyong tetap berhasil menyelesaikan pekerjaannya. Selesai bekerja dengan semua berkas itu, Jiyong membaca lagi berita-berita tentang skandalnya pagi tadi. Pagi tadi pria itu hanya melihat beberapa komentar tentang Lisa dan Jennie, komentar beberapa penggemar yang menyukai pasangan itu, mengatakan mereka akan mendukung dua gadis itu untuk terus bersama.

Tapi siang ini, Jiyong menemukan komentar-komentar lain. Sebagian penggemar marah sekarang, karena agensi tidak segera menyelesaikan masalah ini. Jennie dan Lisa berhak mendapatkan agensi yang lebih baik dari sekarang—begitu menurut mereka. Agensi harusnya menghapus berita-berita skandal ini, agensi harusnya menuntut mereka yang mengatai kedua bintang itu.

Siang ini, Jiyong lihat pertengkaran para penggemar di kolom komentar beritanya. "Ini hanya skandal kencan, penggemar harusnya membiarkan idola mereka berkencan, idola mereka juga manusia," sebagian kecil berkata begitu. Namun sebagian lainnya, menyalahkan agensi yang tidak bisa menjaga nama baik artisnya. Meski berkencan, agensi harusnya bisa menyembunyikan fakta itu.

"G Dragon seharusnya tidak memanfaatkan gadis-gadis kecil itu untuk kembali tenar!" akhirnya, Jiyong bertemu dengan komentar yang sama, seperti yang Mone lontarkan tadi. "Masanya sudah habis, ia tidak lagi relevan! Dia harusnya pensiun saja! Kenapa dia terus menempel pada gadis-gadisku?! Menjijikan!" ternyata ada banyak makian untuknya di sana, diantara jutaan komentar yang ditulis sejak berita skandal itu muncul pagi tadi.

Membaca semua komentar itu, Jiyong hanya bisa menghela nafasnya. Tanpa benar-benar tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Seburuk itu kah dirinya?— pria itu bertanya-tanya.

***

The ManagerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang