18

760 114 11
                                    

***

Dengan riang gadis itu melangkah keluar dari rumahnya. Ia membawa tas jinjingnya sekarang, melangkah ke tempat parkir, menuju mobilnya. Setelah meeting kemarin, setelah sepanjang malam juga ia membujuk kekasihnya, kini ia bisa keluar dari penjara mewahnya.

Tentu Lisa selalu bisa keluar tanpa memberitahu Jiyong. Pria itu hanya kekasihku, bukan suamiku, kami hanya berkencan, bukan menikah dan berjanji untuk sehidup-semati, dia tidak berhak mengatur hidupku—Lisa bisa merasa begitu. Bahkan, sangat lah normal kalau Lisa merasa begitu. Bagi sebagian orang, Lisa justru harus merasa begitu. Bagi sebagian orang, Lisa seharusnya memperjuangkan haknya untuk bebas. Harus ia lawan Kwon Jiyong itu, untuk keluar dari kekangan sang kekasih yang berlebihan.

Namun Lisa memilih untuk tidak melakukannya. Alih-alih memaksa, Lisa lebih suka istilah membujuk. Meski akan butuh waktu sedikit lama.

"Huh? Sungguh?" kata Lisa, yang begitu sampai di mobilnya, ia lihat mobil Jiyong ada di sebelah miliknya.

"Aku akan mengantarmu, kemana kau akan pergi?" tanya Jiyong, yang keluar dari mobilnya hanya untuk merebut kunci mobil Lisa.

"Oppa tidak sibuk?"

"Aku bisa bekerja dari luar, lewat telepon," katanya, sekali lagi mengulangi pertanyaannya, kemana Lisa akan pergi.

"Menjenguk Jeno," pelan Lisa, sembari tertunduk untuk menghindari tatapan pria di depannya.

Jiyong berdecak. Pria itu memang sudah memaafkan Jeno karena keteledorannya, ia harus memaafkan Jeno karena nyatanya pria itu pun sudah berusaha menyelamatkan kekasihnya. Namun memaafkan tidak sama dengan melupakan. Jiyong masih kesal setiap ia ingat kalau Jeno merubah jadwal kepulangan mereka tanpa mengabarinya. Jiyong masih kesal setiap ia ingat kalau situasi traumatis itu bisa mereka hindari, jika Jeno tidak merubah penerbangannya.

"Jujur saja, oppa juga tahu kalau Jeno tidak berdaya saat aku memaksanya merubah jadwal penerbangan kami," kata Lisa, masih pelan hampir berbisik. "Kau tidak bisa membenci dan menyalahkanku, karena itu oppa marah padanya. Aku bisa mengerti perasaanmu, sungguh," susul Lisa kemudian, sengaja melangkah mendekat untuk meraih tangan kekasihnya.

"Kau bisa memahaminya dan tetap ingin datang ke sana?"

"Justru karena aku bisa memahami perasaanmu, aku tidak memaksamu untuk minta maaf pada Jeno, dia yang terluka. Aku yang akan minta maaf padanya, karena dia yang terluka, karena aku memaksanya mengganti jadwal kepulanganku," kata Lisa, menjawab pertanyaan kekasihnya.

Jiyong mengeluh, berdecak kesal lalu membungkukan tubuhnya. Kedua tangannya, ia tumpukan pada lututnya, dengan mata terpejam menahan kesal. "Augh! Bajingan," umpatan pelan terdengar dari mulutnya.

Kekasihnya yang jadi salah satu korban dalam insiden mengerikan beberapa hari lalu, namun dibanding Lisa, Jiyong yang kelihatan lebih banyak tertekan. Tentu pria itu merasa begitu, ia hampir kehilangan kekasihnya. Gadis yang di cintainya hampir saja terluka karena insiden mengerikan itu. Ditambah rasa bersalah karena ia tahu, Lisa kembali lebih awal untuk memberinya sedikit kejutan, untuknya.

Ada juga sederet masalah yang kemudian muncul. Penilaian publik, komentar-komentar jahat, sederet produser yang harus ia tenangkan karena Lisa tidak bisa bekerja, juga setumpuk kontrak yang perlu ia cari celahnya—agar tidak perlu membayar denda. Menemani kekasihnya yang baru saja mengalami kejadian traumatis, menemui produser ini dan itu, menemui manager ini dan itu, menemui reporter ini dan itu, Jiyong tentu kelelahan menyelesaikan semuanya hampir seorang diri—sebab hanya Heechul dan Dahee yang bisa membantunya sekarang.

"Harusnya aku tidak melibatkanmu," kata Jiyong kemudian, bersamaan dengan tepukan tangan Lisa di bahunya. "Harusnya aku tidak membawamu ke sini. Kalau kau pergi ke agensi yang lebih besar atau tetap di agensi lama, kau tidak akan-"

The ManagerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang