Wiwitan Carita

7.2K 414 7
                                    

Cerita ini merupakan novel fiksi sejarah/historical fiction, tidak untuk dijadikan rujukan atau sumber sejarah Indonesia pada masa kerajaan Hindu-Buddha.

***

1266 Saka

Seberapa kuatnya karang? Apakah tetap berdiri kokoh tanpa tergerus kala yang melebur dengan deburan ombak? Bak karang yang telah rapuh, seorang wanita tersedu. Ia menahan isakan yang keluar, agar putri kecilnya tak terbangun. Tangannya mengusap lembut pipi putrinya dengan penuh kasih sayang seorang ibu. Putri kecil itu menggeliat, mata cokelatnya perlahan terbuka. Buru-buru, wanita tersebut menyeka air mata yang terjun bebas. Lantas, bibirnya melengkung, membentuk sebuah senyuman.

"Jangan pergi."

Seandainya ia bisa merapalkan mantra, maka dirinya akan meminta keabadian. Jujur saja, membayangkan darah dagingnya mengarungi kehidupan sendiri, membuatnya tersungkur. "Nak, percayalah. Kelak, kau akan menjadi seseorang yang lebih dari ini, melebihi seorang putri."

Gelengan kuat menjadi jawaban. Saat ini, jari jemari yang mungil itu mencoba menarik sinjang milik ibunya, menahan agar wanita tersebut tak ke mana-mana. "Aku ingin berada di sisi, Biyung."

Dikaisnya kedua tangan sang putri, mata wanita yang dipanggil Biyung itu membinarkan cahaya laksana diya-diya. "Apa pun yang terjadi, tetaplah di istana, Nak. Ya, menjadi seorang putri dari Raden Kudamerta." Penuh keyakinan, begitulah sosok Biyung. Wanita yang raganya setegar karang dan hati sedalam lautan. Namun, ketegaran akhirnya memaksanya meninggalkan semua kenangan di Wengker, karang yang kokoh pun perlahan rubuh karena terjangan sang Baruna.

"Aku tidak mau, Biyung. Aku hanya ingin bersama Biyung, selamanya." Gadis kecil itu meronta-ronta, merengek, dan meminta agar ibundanya mengurungkan niat untuk pergi.

Kedua tangan Biyung terulur, menyentuh pipi putrinya. Lantas, ditatapnya lekat sang putri. Tersirat harapan, asa, dan mimpi di dalam bola mata nan jernih itu. "Hanya ini yang bisa kulakukan agar kau menjadi wanita terhormat." Ia mengusap air mata putri kecilnya yang turut menetes. "Kau lebih kuat dariku, Nak. Lindungi segalanya, hanya kau yang bisa melakukannya, bukan siapa pun."

"Jadilah wanita utama, Sudewiku."

3 Mei 2023

APSARA MAJA : SANG PUTRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang