21 - Frustrate

351 21 12
                                    

Ayo ramaikan dengan memberi vote dan komen jangan bikin lapak ini sepi!


Stefan

Meski Jefan sudah tahu hubunganku dengan Sabrina sesungguhnya aku sih tidak peduli. Bahkan itu lebih baik karena bocah itu jelas tidak akan lagi mengganggu Sabrina. Namun tampaknya Sabrina panik hingga menarik Jefan dan ingin berbicara dengannya. Dengan helaan nafas panjang aku mengalah dan meninggalkan tempat itu.

Aku pun kembali ke ruangan guru untuk fokus dengan pekerjaan. Beberapa guru telah menyetorkan soal ujian namun beberapa guru lainnya masih saja sibuk berkutat membuat soal. Kondisi ini membuatku harus menunggu dan mungkin saja hari ini terpaksa lembur.

Rencananya ujian sekolah akan berlangsung minggu depan sehingga deadline pengumpulan soal lebih cepat karena panitia perlu waktu untuk mencetak soal dalam jumlah banyak. Tentu saja standar pembuatan soal menyesuaikan aturan dinas pendidikan meski SMA Pelita Dunia itu sekolah swasta.

Tanpa terasa waktu menujukkan pukul 5 sore dan akupun bergegas pulang. Namun di perjalanan aku sempatkan membeli makan malam untuk Sabrina. Untungnya setelah aku menegur Rossy tempo hari tampaknya dia belum ada keinginan bertemu lagi denganku. Meski begitu aku tetap bertanggung jawab dengan mentransfer sejumlah uang pada Rossy untuk keperluan Damian.

Sesampainya rumah ku lihat Sabrina sedang bersantai di depan TV dan keadaan rumah telah bersih. Kami pun memutuskan makan malam tak lama setelah aku mandi. Aku membeli ayam goreng dan cah kankung untuk makan malam. Sabrina makan dengan lahap dan aku tersenyum puas. Dia sangat suka masakan sunda karena semuanya gurih.

Setelah makan malam Sabrina malah kembali menonton TV dan mengabaikan cucian piring yang menumpuk. Mungkin dia sedang malas dan aku tak ambil pusing. Aku menyusul Sabrina di ruang TV dan ku perhatikan dia dari samping. Sabrina cantik sekali dengan hidung mancung, mata bulat dan bibir penuhnya yang merah merona. Karena tak tahan aku pun memeluknya dan kembali mencium lehernya yang wangi stroberi. Aku ingin selalu menyentuhnya kapanpun dan dimanapun.

Aku benar benar tidak mau berhenti... Sabrina membuatku kecanduan dan ingin terus menyentuhnya. Aku kembali bercinta dengannya bahkan berkali-kali lupa menggunakan pengaman. Sungguh ini semua di luar kendaliku karena otak ini berusaha tetap berpikir logis tapi nafsu justru berkata lain.

Dalam posisi Sabrina terlentang aku mencium bibirnya tanpa merasa bosan sama sekali. Bahkan Sabrina semakin lihai dalam berciuman dan selalu membuat rumah tangga kami memanas. Kalau sudah begini bagaimana aku bisa berhenti, gilanya aku kini sungguh tak peduli lagi jika Sabrina baru berusia 17 tahun.

Kini aku kembali menenggelamkan wajahku di dadanya dan Sabrina hanya mendesah. Bahkan tubuh kami berdua semakin panas dan berkeringat sangat banyak. Sabrina hanya pasrah dan terus menjambak rambutku tapi aku tidak mau berhenti juga.

"Stefan.... hhhh...."

Ini sudah pukul 1 malam tapi gairahku belum reda juga. Dengan kilatan nafsu aku menggendong Sabrina dan membawanya duduk di pangkuanku. Sabrina terlihat berantakan dan bibirnya bengkak, dengan lembut aku mengecup pipinya. Aroma Sabrina yang manis membuatku tak mau berhenti mengecup lehernya. Dia sangat cantik dan membuatku makin tak bisa berpikir logis.

Semalaman kami saling melepas gairah dan baru padam saat pukul 2 pagi. Aku merasa bahagia karena rumah tangga kami yang harmonis tapi setelah bercinta terkadang aku merasa sedikit bersalah. Aku memang suaminya tapi di sekolah aku adalah wali kelasnya.....



...........................


Sabrina langsung tertidur begitu saja setelah percintaan kami yang sangat hebat. Aku mengusap dahinya yang berkeringat dan menyelimuti dirinya. Padahal kamar ini menggunakan AC tapi saat kami bercinta tadi tampaknya AC sama sekali tidak berguna karena tubuh kami berkeringat. Ini tak baik.. aku harus bisa mengendalikan diri karena dia masih menjadi siswi SMA. Kemana hilangnya Stefan si idealis? Bahkan aku pun tak tahu... semua sikap sebagai guru teladan lenyap begitu saja karena gairahku tak bisa padam saat sedang bersama Sabrina.

Aku memandangnya saat ia tertidur pulas. Sabrina terlihat polos dan bisa bisanya aku malah kecanduan menggagahi gadis kecil ini. Dengan lembut aku membawa Sabrina dalam pelukan dan kami tidur dengan pulas.

Keesokan harinya kami tetap berangkat masing-masing. Namun tadi pagi Sabrina mengeluh karena kelelahan dan penyebab dia terus merasa lelah tentu saja aku. Tampaknya mulai saat ini aku harus bisa mengendalikan hawa nafsuku karena kalau tidak aku malah membuat stamina Sabrina terus habis. Benar-benar deh kenapa aku terus hilang kendali saat bersama Sabrina? Ayolah Stefan gunakan akalmu!!

Sepulangnya dari sekolah aku dihubungi oleh Rossy. Dia bilang sedang sakit dan tentu saja aku bergegas langsung mendatanginya karena khawatir Damian ikut tertular. Keadaan Rossy memang pucat dan sambil memapahnya aku masukkan ia ke mobil.. tampaknya aku terpaksa kembali membawa Rossy ke rumah karena Damian tidak ada yang menjaga. Rosy tinggal sendirian di Jakarta entah dimana kedua orang tuanya tinggal untuk saat ini.

Sesampainya rumah tentu saja aku memapah Rossy lagi. Tapi entah kenapa saat masuk rumah ada sesuatu yang menghalangi jalanku hingga aku tersandung. Karena refleks tentu saja aku langsung memeluk Rossy karena takut ia ikut terjatuh. Namun tingkahku ini malah dilihat Sabrina dan dia tampak kecewa.

"Sabrina.... ini gak seperti yang kamu lihat!!" aku jelaskan padanya dan menyuruh Rossy duduk di sofa.

Dengan tatapan sendu dan mata berkaca-kaca Sabrina langsung pergi begitu saja. Aku terus memanggil namanya namun dia tidak peduli.



...........................




"Rossy beristirahatlah biar aku yang menjaga Damian" ucapku sambil berlalu dan akan menggendong Damian.

"Stefan aku minta maaf gara gara aku kamu kembali ribut sama istri kamu" balasnya dengan merasa bersalah.

"Itu bukan salah kamu... sudahlah..."

Setelah itu aku tinggalkan Rossy seorang diri di kamar tamu. Aku benar benar tidak mengerti kenapa selalu ada masalah dalam rumah tanggaku. Aku menelepon Sabrina namun ponselnya tidak aktif. Dengan menghela nafas panjang aku kembali terduduk dengan Damian yang menatapku. Jelas aku tidak boleh diam saja karena sekarang aku harus mencari istriku.

"Maafkan ayah Damian.. kamu baik-baik aja?" tanyaku padanya lembut.

"Ayah gak perlu mengkhawatirkan aku, lebih baik ayah cari kakak tadi.. aku akan menjaga bunda" ucapnya menggemaskan.

Meski masih TK tampaknya Damian tumbuh menjadi anak yang mandiri dan pintar. Dengan tak enak hati akhirnya aku mencari Sabrina meski tak tahu dia saat ini ada dimana.

Saat ini aku masih mencari Sabrina namun tak jua aku menemukannya. Merasa frustasi akhirnya aku turun di mobil namun tanpa sengaja aku melihat Sabrina ada di pinggir jurang. Tidak banyak membuang waktu aku langsung datang menghampirinya.. jangan sampai dia berbuat nekat!

"Sabrina... kemarilah!!"

"Jangan mendekat Stefann... kalau tidak aku akan loncat sekarang ke jurang!!" dengan wajah penuh air mata dan mata memerah Sabrina mengancamku.

"Sabrina ayo kembalilah... aku minta maaf" balasku sendu dengan helaan nafas panjang.

"Aku benci kamu..... lebih baik aku mati saja Stefan!!"


Bersambung......

PermataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang