9 - Minimal Bilang Makasih

155 17 36
                                    

"Loh, Kak. Itu jas punya, Kakak?" Ajun tiba-tiba muncul di belakangku. Kelas cowok itu ada di lantai bawah dan Ajun keluar kelas karena melihaku yang berdiri di lapangan.

"Kok bisa ada di sana jasnya?"

"Aku juga gak tau, Jun. Terakhir aku kasih kan ke kamu. Ini gak mungkin perbuatan kamu kan?" tebakku.

Bisa saja kan Ajun sekongkol dengan Harun untuk menjahiliku. Tapi masa iya Ajun seperti itu? Dia kan anak baik-baik, kalau ini perbuatan Harun memang masuk akal. Tapi bagaimana bisa? Aku melihat ke lantai dua dan Harun masih berdiri di sana sambil tersenyum meledek.

"Coba aja turunin kalau bisa! Itu talinya kuat banget loh!" serunya.

"Sial!"

"Tenang aja, biar aku buka talinya." Ajun mencoba membuka tali tiang bendera yang terikat kuat itu. Beberapa menit berselang, tali pun terbuka dan jas yang terkibar di tiang bendera pun diturunkan.

Ajun langsung memanggil Harun yang sedang cengengesan di lantai dua. Tak terlihat raut wajah bersalah dari cowok itu. Dia terlihat santai seolah tak terjadi apa-apa.

"Kamu ngapain kibarin jasnya di sana, Harun? Kan aku nyuruh kamu bawa ke laundry," tanya Ajun pelan.

Aku melongo, rupanya Ajun menyuruh Harun membawa jas almamaterku ke laundry. Tapi yang dilakukan oleh cowok itu malah mengibarkan jasku di tiang bendera. Memalukan sekali!

"Aku bawa ini ke laundry kok, Jun. Tadi aku minta buat dicuci langsung dan di keringin. Nah, udah gitu langsung aku bawa. Biar cepet kering dan bisa langsung dipake lagi, aku naikin ke atas aja," papar Harun.

"Allahu akbar, Harun, Harun." Ajun menggelengkan kepala dan menepuk jidat. Berbeda denganku yang masih melongo karena tingkah Harun.

"Lagian kotor dikit doang mah gak perlu nunggu sampai besok kali. Kak Senja kan full ngajar, jadi daripada malu pake jas orang, mending aku cuci langsung aja. Lagian jasnya kotor kan gara-gara aku," lanjut Harun.

Speechless! Itulah yang ku rasakan setelah mendengar penjelasan Harun. Aku salah karena mengira Harun sengaja iseng agar aku malu. Harun kembali menaikkan bendera yang tadi diturunkan karena ia mengibarkan jas almamaterku.

Harun mengambil jas almamater yang dipegang Ajun kemudian ia menyerahkannya padaku. "Kalau aja tadi aku bawa jas almamater sekolah, mungkin Kakak gak akan pake jas punya, Ajun."

Setelah mengatakan itu, Harun berjalan kembali meninggalkan lapangan. Aku diam seribu bahasa dengan jas almamater yang sudah kembali ke tangan. Aku langsung menuju ke toilet dan mengganti jas almamater yang ku pakai.

"Nanti pas istirahat ambil jasnya ke ruang BK ya," kataku pada Ajun, diiringi oleh anggukan pelan. Kemudian Ajun kembali ke kelas. Begitu juga denganku, karena jam pelajaran kedua berakhir 15 menit lagi. Rasanya tak mungkin jika aku terlalu lama meninggalkan kelas.

***

Aku menatap kosong ke depan. Sesekali tanganku mengaduk mangkuk yang berisi bakso itu. Sikap dua siswa tadi membuat pikiranku mendadak seperti bola kusut. Terutama sikap Harun yang menyebalkan, namun dia menonjolkan sisi tanggung jawabnya karena sudah membuat jas almamaterku kotor.

"Makanannya dimakan, Senja. Jangan cuma diliatin aja," ujar Hilda.

"Aku tuh gak habis pikir tau. Kalau mau jemur jas kan bisa di sana aja, terus pas jam istirahat diambil. Ini kenapa harus dijemur di tiang bendera coba. Malu-maluin aja," kataku sambil menyendok bakso yang sudah dipotong.

"Mungkin dia pikir kalau jasnya dijemur di tiang bendera jadi cepet keringnya. Apalagi cuaca hari ini juga panas banget," sahut Indah.

"Iya, bener. Buktinya sekarang jas kamu kering dalam waktu dua jam pelajaran." Nadia menimpali.

Senja BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang