Aku terkejut saat melihat kedatangan Zaidan yang tiba-tiba. Karena kemunculannya, Radit yang sedang memarahiku kini pergi. Zaidan beralih menatapku yang sedang memegang pipi.
"Kak Senja gak apa-apa toh? Ada yang sakit?" tanyanya.
"Eng-enggak, aku gak apa-apa. Makasih ya, karena kamu dia akhirnya pergi," kataku lirih.
"Iya, sama-sama. Ngomong-ngomong Kakak sendirian aja?"
"Aku sama temen, cuma dia lagi ke toilet,"
"Oh, kalau gitu aku pamit ya." Zaidan hendak berjalan meninggalkanku. Tapi dengan lantang aku memanggil namanya.
"Zaidan tunggu!"
Laki-laki itu berbalik. "Iya, kenapa?"
Aku merasa gugup sendiri. Untuk apa juga aku menahan Zaidan yang akan pergi. Ah, mulut ini memang susah diajak kerjasama.
"Eh, emm ... gak apa-apa. Silakan kalau mau pergi,"
"Oke. Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumsalam,"
Zaidan benar-benar hilang dari pandanganku. Tadinya aku berharap agar dia mengompres pipiku yang terasa kebas. Tamparan Radit ternyata cukup keras. Laki-laki itu menamparku dengan penuh emosi.
"Aiih, kamu mikirin apa sih, Ja. Mana mungkin Zaidan bakal bersikap kayak gitu. Dia kan santri, mana mungkin bisa lama deket-deket sama perempuan," kataku pada diri sendiri.
"Kamu gak apa-apa kan, Ja?" Seseorang muncul di belakangku. Rupanya Farhan yang baru tiba dari toilet. "Tadi aku liat si Radit mukulin kamu. Kamu gapapa 'kan?"
"Enggak kok,"
"Ya udah kalo gapapa. Mau langsung pulang aja?" tanya Farhan. Aku mengangguk pelan.
Karena sudah tengah hari dan aku tak ingin lama-lama di luar, akhirnya aku memutuskan untuk mengajak Farhan pulang. Aku ingin mengistirahatkan tubuh juga pikiranku.
"Han, kamu mau mampir ke rumahku dulu?" tawarku ketika motor Farhan tiba di depan rumah.
"Of course, kalau gak ngerepotin," sahut Farhan dengan membentuk huruf O menggunakan dua jarinya.
"Sama sekali enggak. Ayo kalau gitu, kita ngobrol di teras aja." Aku turun dari motor dan membiarkan Farhan memarkirkan motornya.
Aku membuka pintu rumah yang terkunci karena orang tuaku tentu belum pulang. Ibu akan pulang jam dua siang dan Bapak pasti pulang sore.
"Mau minum apa?" tanyaku setelah Farhan duduk lesehan di karpet yang aku gelar di teras depan.
"Apa aja, terserah kamu,"
"Oke, tunggu sebentar." Aku masuk ke dalam rumah, menyimpan tas yang ku bawa dan gegas membuatkan minum untuk Farhan. Aku juga membawa beberapa cemilan untuknya. Sebenarnya aku butuh waktu untuk sendiri. Tapi ku pikir tak ada salahnya jika aku butuh teman untuk beberapa saat saja.
"Maaf ya di rumahku cuma ada ini," ucapku seraya memberikan segelas air putih dan cemilan pada Farhan.
"Iya, gapapa. Maaf ngerepotin. Oh iya, aku boleh pinjem laptop kamu. Aku mau ngerjain modul ajar. Kebetulan aku bawa flashdisknya," pinta Farhan.
"Oh, boleh. Tunggu sebentar." Aku masuk ke dalam dan mengambil laptop di dalam kamar. Aku juga membawa meja kecil agar Farhan lebih nyaman saat mengerjakan tugasnya. "Ini laptop sama mejanya."
"Oke, pinjem sebentar ya. Emmm ... kamu sendiri gak akan ngerjain RPP?" tanya Farhan.
"Gampang aku mah nanti malem juga bisa,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Bersamamu
Teen Fiction⚠️Wajib follow sebelum baca ⚠️ Jangan lupa tinggalkan jejak, minimal vote *** "Senja selalu membuatku terus menyukainya. Karena dia selalu memberiku kehangatan dan ketenangan di saat dunia memberiku banyak masalah." -Harun. "Jika aku bukan senja yan...