5 - Perlakuan Manis

265 24 47
                                    

"Ngapain malem-malem ke warung?" tanya santri yang ternyata adalah Arfan.

"Kamu liat atuh, Fan. Dia bawa es krim sama cemilan," serobot Harun yang ikut mengantar Arfan.

Arfan mendelik. "Iya, aku juga tau, Mamang Harun. Basa basi dikit doang ngapa."

"Terus mau pulang sendiri gitu?" Harun beralih bicara padaku.

"Ya, iya. Kan aku dateng sendiri,"

"Emang berani?" Harun melipat tangannya di dada. "Yakin mau pulang sendiri? Ntar ada yang terbang tuh di atas." Harun malah menakut-nakutiku.

"Kamu ngomong sekali lagi, aku jitak kepala kamu ya, Run!" ancamku.

"Gak boleh gitu, Run. Ntar dia takut pulang sendiri gimana?" sanggah Arfan.

Aku terdiam sesaat. Mendengar ucapan Harun, aku mendadak parno. Padahal aku sudah biasa ke warung malam dan sendirian. Rumah tetangga kan berpenghuni. Kecuali rumah yang di seberang sih, hanya beberapa langkah dari rumahku. Dan rumah itu memang sudah lama tak berpenghuni.

"Tuh, takut kan? Rumah yang di seberang itu sepi loh." Harun memelankan suaranya dan membuat suasana mendadak horor. Jika Harun bukan santri, sudah ku pastikan tangannya merah karena cubitanku.

"Apaan sih kamu, Run! Aku udah biasa malem-malem ke sini. Dan gak pernah ada apa-apa juga kalau aku lewat rumah itu." Meskipun sebenarnya takut, aku mencoba untuk terlihat berani di hadapan dua cowok ini.

"Udahlah, Run. Kamu teh jangan nakut-nakutin, Kak Senja," lerai Arfan. Dia sepertinya tahu jika aku terlihat takut. "Aku anter aja deh sampai depan rumah,"

Harun menatap tajam saat mendengar perkataan sahabatnya. "Kamu apa-apaan sih, Fan? Katanya dia udah biasa, jadi pasti berani dong."

"Ahmad Harun Arrasyid, dengarkan saya!" Arfan memasang raut wajah serius. "Seberani apapun cewek, pasti sedikitnya ada rasa takut. Iya kan, Kak?"

"Aku pulang duluan. Assalamu'alaikum!" Akhirnya ku ayunkan langkah menuju ke rumah. Mungkin aku akan berlari saat melewati rumah seberang yang kosong itu.

"Kamu sih, Run!" Arfan mendorong pelan bahu Harun.

Harun gegas mengejarku yang tengah berjalan cepat. "Tunggu, Kak!"

Aku menghentikan langkah tanpa melirik sumber suara yang memanggil. Harun kini berada di sampingku.

"Ngapain kamu?" tanyaku sinis.

"Aku anterin sampe depan rumah," ungkap Harun datar.

"Gak usah! Lagian aku juga lewat belakang," kataku ketus.

"Aku bakal tetep anterin!" tegas Harun.

"Terus Arfan gimana?"

"Dia nunggu di warung. Ya udah, ayo jalan!" Harun mendahuluiku dan aku berjalan pelan di belakangnya. Meskipun aku masih kesal pada cowok tinggi itu, setidaknya sugesti horor yang singgah di pikiranku tertepis karena kehadiran Harun.

Harun melirikku yang berjalan lambat di belakangnya. "Lelet amat jalannya. Padahal udah di temenin." Cowok itu lalu mundur dan menyamakan langkahnya denganku.

"Kenapa gak jalan duluan aja?" Aku mengernyit heran.

"Yang mau pulang kan, Kakak. Harusnya Kakak yang jalan di depan. Tapi lebih baik kita jarak beberapa langkah aja, supaya Kakak masih terpantau sama aku," ucap Harun panjang lebar. Aku sampai melongo mendengarnya.

Nih, cowok usil bisa romantis juga. Kesannya kayak di jagain gitu loh. Ah! Udah kayak di film-film aja.

"Hey, kok malah bengong?"

Senja BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang