Dearest (10) [Complete]

502 50 23
                                    

Halilintar tak seharusnya tidur, meski tubuhnya itu meronta untuk direbahkan barang sebentar saja, tapi otaknya malah memainkan adegan yang sama selama seminggu lebih, memaksanya untuk melampiaskan rasa kesal dan... sedih bercampur rasa bersalah pada musuh dalam peperangan yang telah merenggut banyak nyawa.

Halilintar terbangun bagai disengat elemennya sendiri. Meraih pedang yang dia sandarkan pada bahunya sebelum tersadar bahwa yang membangunkannya tadi adalah manusia yang dari kemaren dia jaga dalam tidurnya.

Mereka berdua saling bertatapan.

Merah menatap merah.

Untuk kali ini saja yang semerah darah mau membantu merah senja menopang tubuhnya, dengan cekatan menata bantal dibawah anak itu lalu perlahan menurunkannya pada kapuk berkain.

Setelahnya sunyi.

Hanya detik jam dinding yang dari kemaren Halilintar kutuk, sekarang dia apresiasi fungsinya untuk merusak keheningan.

Mereka diam. Masing - masing dalam pemikiran sendiri. Berkutat dengan benak sendiri.

Halilintar, seorang makhluk hidup yang notabenenya hanya berbicara lewat tatapan matanya itu tak tahu berkata apa. Dia jarang sekali berkata sesuatu yang membuat anaknya itu senang. Jika mulutnya terbuka, yang ada hanya kata - kata sinonim benci dan tak suka. Bahkan untuk melihat anaknya atau sekedar memanggil namanya membuat perut Halilintar seperti dipelintir hidup - hidup.

Sakit.

Satu hal yang bisa dia lakukan sekarang adalah... kabur dari tempat itu, menjadi seorang pengecut seperti yang telah dia lakukan selama 17 tahun lamanya.

"Aku bertemu Bunda..." Supra berucap kala Halilintar hendak melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu.

Masih sunyi, namun kali ini Halilintar bereaksi, menatap matanya dengan perasaan gugup, penasaran, takut— bahwa dalam titik diambang hidup dan mati itu anaknya bertemu— dia.
Dia yang mungkin kecewa dengan dirinya.

Halilintar antara tak mau mendengar sekaligus terlalu berharap bahwa ada sedikit titipan untuk hatinya yang sekarat ini.

"Bunda bilang—

"Aku sudah memafkannya. Aku tetap dan selalu menyayanginya. Aku selalu mencintainya. Jadi jangan terbebani dengan yang lalu. Ucapkan padanya untuk mulai move on dariku. Sudah 17 tahun loh aku disini, tak bisa terbang kemana - mana—" Solar menunjuk langit tempat mereka berdua "—Aku selalu ada disisinya dan dihatinya. Jadi jangan bersedih."

"Please, be happy, Dearest"

Sunyi kembali datang, tapi kali ini membawa gejolaknya sendiri dan Supra dengan hati - hati melihat reaksi ayahnya.

Halilintar terdiam. Bibirnya ingin mengucapkan sesuatu—

"SUPRA!!!!!"

"Nggak nyangka ternyata masih bisa melihat dunia"

"Situ doain aku mati atau gimana?"

"Doa— eh Paman Halilintar—"

Yang disebut namanya melenggang pergi tanpa berbicara apapun.

"Sialan kalian masuk disaat nggak tepat"

"Iyakah?"

"Deep talk kalian?" Glacier menatap sepupunya tak percaya. "Sumpah? Demi es-serut-leleh?!"

"Anjir, keajaiban apa nih?!"

Supra menghela nafas berat sekali.

'Tahu gitu ku bangun malam aja biar bisa ngelihat manusia batu itu nangis.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Tetesan air mata turun malam itu.

Purnama datang pada puncak tertingginya, menyala dalam kegelapan. Halilintar memberanikan diri untuk melihatnya, mengaguminya.

Tak ada siapapun di koridor itu. Hanya dirinya yang ditemani oleh angin malam dan purnama.

Untuk kali ini pemilik mata semerah darah itu bergumam, pada dirinya dan juga pada dia yang disana.

"Maaf, Solar. Maafkan aku. Maafkan aku yang terlalu egois, yang terlalu memaksa kehadiranmu disini, yang tak dapat melepaskanmu—" rasanya tercekik menggumam kan kata itu, melepaskan semua yang Halilintar punya dengannya, tapi Halilintar percaya mulai saat ini, beban dalam dadanya akan berkurang perlahan demi perlahan, " —kali ini terbanglah. Aku dan Supra baik - baik saja disini. Kau tak perlu khawatir lagi."

Halilintar mengambil nafas lalu mengucapkan kalimat yang tak bisa dia ucapkan kala meletakkan tubuhnya kedalam tanah—

"Rest in peace, Darling"

Mungkin hanya perasaannya, dia merasakan seseorang memeluknya dari belakang. Rasanya samar seperti dia memeluknya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Complete

Boboiboy Short-Fanfic AU Season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang