06

1.1K 191 19
                                    

Jasmine

Karena ada yang penasaran soal masa lalu gue sama Dirga, jadi dengan berat hati gue ceritain sekarang di sini. Langsung aja, nggak pake lama, karena gue juga nggak mau nostalgia terlalu lama takutnya gue gila.

Jadi, gue sama Dirga kenal gara-gara Safira. Jujur aja, gue bukan orang yang gampang nyari temen, jadi sebagian besar dari populasi temen gue itu Safira yang bawa.

Waktu itu kelas dua belas SMA, pas liburan akhir semester satu, Safira ngajak gue muncak ke Prau.

"Nanti bareng temen gue, dua cowok, anak kelas sebelah," kata Safira dalam posisi ngebujuk gue.

Safira ini termasuk anak yang populer di sekolah karena emang cantik dan humble banget anaknya. Udah gitu, anak organisasi pula. Jadi, nggak heran kalo temen dia di mana-mana ada, nggak kayak gue yang temenannya sama itu-itu aja.

"Berangkat abis subuh, besok."

Gue beneran ngeiyain ajakan Safira karena selain gabut di rumah, muncak adalah hal kedua yang gue suka setelah nulis, dan yang paling penting ada cowoknya deh. Kalo Cuma cewek-cewek doang, bahaya lah.

Bahaya kalo nanti Safira pingsan di jalur pendakian, dan gue udah pasti nggak bisa bantu ngangkat karena badan gue nggak lebih gede dari Safira. Ngomong-ngomong, Safira anaknya gampang meriyang.

Nggak tau ini kesambet setan apa dia tiba-tiba pengen banget muncak, padahal kalo dulu-dulu gue ajakin selalu ogah-ogahan—tapi gue sebenarnya basa-basi doang ngajakin dia, gue malah seneng dia nolak karena sebagai temen dia dari orok gue udah paham banget Safira luar dalem. Pokoknya, Safira nggak suka yang ribet dan bikin capek.

"Gue bareng Dirga, lo bareng Yanuar."

Terserah sama siapa aja, gue nggak masalah. Yang penting gue diboceng biar bisa sambil moto-moto pemandangan di jalan pake kamera jadul punya bokap gue. Kita berangkat tuh pake motor dengan pembagian yang persis kayak yang Safira bilang.

"Cobe cek lagi, Dirga sama Safira udah keliatan belum?"

Ini udah kesekian kalinya, Yanuar nyuruh gue nengok ke belakang buat liatin Safira sama Dirga yang tadi sempet tertinggal jauh di belakang. Nggak heran lah kalo mereka ketinggalan, Yanuar ini bawa motornya racing banget.

"Belom. Coba pelan-pelan deh bawa motornya."

Baru dah tuh si Yanuar ngecilin kecepatan. Berulang kali gue tengok belakang, lambat laun keliatan lah wajah yang nggak asing di mata gue, ya meskipun baru tadi pagi gue kenalan.

Makin deket, makin deket, eh kok gue makin deg-degan. Soalnya, gue liatin dia pake mata, tapi dia liatin gue balik nggak cuma pake mata tapi pake senyum segala.

Mana ganteng banget lagi, ah, dah lah.

"Udah! Udah keliatan!" Gue cepet-cepet nepuk punggungnya Yanuar sebelum nyawa gue kelar karena sesek napas.

"Nggak usah teriak-teriak kali, Jas! Malu ini di lampu merah."

Ya namanya juga panik, sist. Nggak bisa ngontrol suara apalagi debaran di dada, elah. Gue baru sekali ini ngerasain yang namanya salting. Sumpah, beneran emang bikin sinting, sih. Kayak, apa ini? Bukan Jasmine banget.

Cuma gara-gara dia suka berhentiin motornya sejajar sama posisi duduk gue di jok motor Yanuar tiap ada lampu merah; cuma gara-gara dia muji hasil foto gue bagus-bagus terus bilang 'nanti minta, ya'; cuma gara-gara dia bersihin batu buat gue duduk sambil liat sunset, dan niupin kentang rebus sebelum dikasih ke gue.

Lo tahu apa? Pipi gue rasanya panas, padahal Prau lagi dingin-dinginnya.

"Ini judul lagunya apa?"

"Untuk Perempuan yang Sedang dalam Pelukan. Punya Payung Teduh."

"Kalo yang ini?"

"Sepasang Kekasih yang Bercinta di Luar Angkasa. Punya Frau."

Gue nggak akan ngomong kalo nggak diajak ngomong duluan. Tapi, ini gue yang nanya-nanya? Iya.

Gue aja nggak percaya. Kayak... kok bisa?

Waktu itu Safira udah tidur di tenda. Mungkin kecapean. Yanuar singgah ke tenda sebelah, ngobrol sama kelompok yang isinya orang-orang Batak. Yanuar emang asli Medan, cuma besarnya di Jogja.

Sekarang gue cuma duduk berdua sama Dirga di depan tenda tuh cowok. Dia yang nyeret gue. Enggak, sih, dia yang ngisyaratin gue buat duduk di samping dia, dan kaki gue yang bawa gue ke dia. Gue dikasih kopi, padahal gue juga lagi insom. Tapi, anehnya, ya gue terima aja.

Oke, itu kejadian lima belas menit lalu.

"Kenapa emangnya?"

Kita balik lagi ke masa di mana gue iseng nanyain tiap judul lagu yang diputar otomatis di hape Dirga sepanjang lima belas menit ini gue duduk sama dia tanpa banyak ngobrol, alias cuma liatin lampu-lampu kota sama liat-liatan—gue sama dia.

"Bagus-bagus." Gue jawab, pake senyum.

Eh, dia ikutan senyum. "Kalau suka nanti gue kirim playlist spotify-nya."

Senyum gue nggak sengaja makin melebar. "Boleh."

Gue nggak bohong, emang genre gue banget lagu-lagunya.

Sejak acara muncak itu, Dirga jadi bagian dari temen-itu-itu-aja gue. Gue mulai banyak tahu tentang dia. Selain lagu, beberapa hal kesukaan Dirga ditemukan gue sebagai kesukaan gue juga: puncak gunung, musik, fotografi, sore, dan hujan.

Dia banyak cerita kalo kita lagi main bareng ke suatu tempat—ini sekaligus Safira juga, ya, karena nggak mungkin lah gue jalan berdua doang sama Dirga tanpa melibatkan Safira. Sebagai golongan manusia nggak enakan, ya jelas nggak enak lah kalo Safiranya lagi nggak bisa main, terus gue sama Dirga main berdua, meskipun Dirga sering bilang nggak papa ayo berdua aja.

Padahal, nggak cuma sekali dua kali, gue tahu Safira jalan berdua sama Dirga. Gue agak nyesek dikit, iya, tapi nggak apa-apa. Yang duluan kenal Dirga kan Safira, terus gue bisa apa?

"Sebenernya, gue udah lama suka sama Dirga, Jas. Ngomong gitu, ya, ke orangnya."

Gue ngerasain nyesek yang lebih banyak dari sebelumnya waktu Safira bilang gitu. Tapi, ketimbang gue, Safira jauh lebih lama pendem perasaan ke Dirga, terus gue bisa apa?

"Udah ngomong aja daripada nyesel, 'kan."

Ya, cuma bisa dukung lah gue.

"Takut, Jas."

"Takut ditolak?"

Dia ngangguk. "Heh! Manusia secantik elo ditolak Dirga? Nggak mungkin."

Cowok mana yang nggak suka sama spek cewek kayak Safira ini.

"Fix, kalo Dirga nolak, dia bukan cowok," kata gue ke Safira.

Munafik, kata gue ke diri gue sendiri. Lo tahu sejahat apa gue waktu itu? Iya, gue berharap Dirga nolak Safira.

"Lo aja deh yang ngomong, Jas!"

"Lo kok gue? Kan lo yang suka!"

"Nggak apa-apa. Gue nggak sanggup denger penolakan langsung dari dia soalnya."

Sore itu, pas hujan-hujan, di kamar Safira yang gue singgahi sehabis pulang sekolah, gue telpon lah si Dirga. Tanpa ba-bi-bu-be-bo, gue langsung bilang,

"Safira suka sama lo, Ga. Lo gimana ke dia?"

Hening.

Hening.

Hening.

"Sorry, Jas. Gue sebenarnya lagi suka sama cewek, dan itu bukan Safira."

Yap, sejak saat itu, geng yang isinya Safira-Jasmine-Dirga-Yanuar resmi dibubarkan. Nggak ada tuh acara main, nongkrong, atau ngerjain tugas bareng lagi, jangankan begituan, ketemu aja canggung-nya naudzubillah.

Udah nggak ada saling kontak-kontakan, nggak ada saling tegur sapa, dan saling-saling yang lain karena Safira sama gue udah sepakat—dengan setengah berat—buat,

"Kita udah nggak usah ada urusan lagi sama Dirga, ya."

[]

kata mbak jasmine, dirga ganteng banget :)
kalo kalian bayangin visualnya siapa nih?


INESPERADO [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang