Jasmine
Sekarang, di jam sembilan lebih delapan belas menit, gue di sini.
"Bentar, ya, Sayang. Ini aku ke depan."
Di depan studio radio, tempat Adam rutin siaran tiap sabtu-minggu malam. Tempat ini jadi tempat kedua yang gue sambangi setibanya gue di Bandung, setelah kosan gue, dan setelah gue bebersih badan, bebenah penampilan, pikiran, serta perasaan.
Tapi, yang terbenahi cuma penampilan gue doang, sisanya masih sama kacau seperti saat gue sadar bahwa pulang ke Jogja bareng Dirga tanpa sepengetahuannya adalah sebuah kesalahan fatal.
Hape masih nempel telinga gue. Voice call masih menghubungkan gue dengan Adam di dalam sana, yang mana ini bikin gue bisa denger derap langkah dia yang buru-buru juga pijakan kakinya yang se-semangat itu.
Sampai akhirnya, pintu kaca di ujung sana kebuka. Adam muncul di baliknya, dengan wajah sumringah ditambah senyum lebar sepaket sama lesung pipi sepasang.
Dia setengah lari datengin gue, padahal gue nggak akan kemana-mana juga.
"Katanya nyampe Senin pagi?"
Alih-alih bingung, gue lebih banyak nangkap raut seneng di muka dia. Senyumnya juga masih nempel di sana, sedangkan gue baru bisa bales senyum dia sekarang.
"Hehe, sengaja. Biar surprise."
Dia ketawa pake suara pelan. Tangan kanannya meraih gue, melingkari punggung gue dengan jarinya yang megang lengan atas gue.
"Kalo tahu pulang hari ini, aku jemput."
"Dibilangin, biar surprise."
Padahal kita cuma mau masuk ke studio siaran dia, bukan ke sangkar buaya atau tempat berbahaya lainnya, tapi dia ....
"Awas, tangga!"
... dia segitunya ngejagain gue.
Gue liat ada tangga dan udah ambil ancang-ancang juga. Peringatannya bukan bikin gue makin waspada tapi malah makin nggak bisa apa-apa selain mikir ... emang gue seberharga itu, ya, buat dia?
"Ayo, ih! Nunggu apa? Keburu ada jurig, entar!"
Iya, dari tadi gue diem di bawah, sementara dia udah naik dua anak tangga. Gue baru gerak lagi pas Adam ngomong terus ngeraih tangan gue.
Pegangannya nggak dilepas meskipun seluruh anak tangga ke lantai dua udah kita lewati sama-sama, bahkan sampai kita tiba di ruang transit yang konon katanya punya CCTV di dalamnya.
Gue baru dilepasin pas gue udah duduk dengan aman dan nyaman di sofa. Sementara dia sendiri jongkok di deket gue sembari menikmati bakpia kukus yang gue bawa sebagai oleh-oleh dari Jogja.
"Makannya sambil duduk, atuh, Sayang!"
Udah gue kasih tahu, tapi Adamnya cuma nyengir dengan mulut penuh bakpia yang belum selesai dia kunyah. "Playlist-nya bentar lagi abis," katanya yang enggak terlalu jelas, tapi gue ngerti.
Playlist abis sama dengan dia harus balik ke sebelah, ke ruang siarannya.
Gue berdiri, jalan ke arah dispenser, ngisi air ke dalam gelas, naruh di depan dia. Barangkali nanti dia lupa minum karena diburu-buru kewajibannya.
"Makasih, Cantik yang malem ini cantik banget." Senyum, dia minum.
Gue cuma ngeliatin, nggak ikut senyum meskipun dia baru aja ngasih gue pujian segitu gamblang.
"Selamat, ya."
"Selamat apa?"
"Surprise-nya sukses, hehe."
KAMU SEDANG MEMBACA
INESPERADO [END]
Romance"Gue pacarin, kalo lo bilang suka gue." "Suka aja nggak apa-apa. Gue udah soalnya."