46

713 145 165
                                    

Jasmine

Gimana rasanya udah ngecewain orang yang sayang sama lo?

Jawaban gue, sebagaimana Adam—Adam 'kan yang lo maksud?—gue juga ngerasa kesel, marah, kecewa atas diri gue sendiri.

Gue nyesel, kenapa gue nggak ngomong aja dari kemarin-kemarin, toh pada akhirnya seperti kata pepatah: serapat apapun bangkai disimpan, baunya tetap bakal kecium juga.

'Berbohong' udah jadi bagian yang nggak terpisahkan dari gue. Ini buruk, tapi gue bicara fakta. Gue biasa 'bohong' supaya hal-hal tertentu nggak jadi makin ribet, karena gue nggak suka hal-hal ribet.

Paling sering bohong ketika ditanya: lo nggak apa-apa, gue bakal selalu jawab iya nggak apa-apa.

Untuk hal apa apapun, biar nggak ada adegan di mana gue musti jelasin panjang lebar kenapa gue enggak nggak apa-apa yang mana ini gue rasa bakal menguras waktu, energi, dan emosi, karena belum tentu orang yang lo curhatin itu ngerti. 

Pada intinya, gue nggak gampang buat ngutarain apa yang gue rasa atau cerita sesuatu ke orang-orang di sekitar gue. Nggak gampang, bukan berarti nggak bisa.

Gue kalo dipaksa Safira cerita juga gue cerita. Belakangan ini, gue juga udah mulai sedikit-banyak cerita ke Adam, meskipun masih menihilkan presensi Dirga dari cerita-cerita gue karena menurut gue ... akan lebih baik jika Adam enggak tahu.

Biar dia nggak kecewa. Karena, gue sendiri pada dasarnya takut ngecewain dia.

Tapi tindakan-tindakan gue yang kebanyakan berangkat dari feeling itu sering kali malah jadi boomerang pada akhirnya.

Gue yang bohong, gue yang nanggung dosa, gue juga yang kena getahnya. Dulu, sesimpel itu alurnya, makanya gue sering bohong. Yang mana bohong-bohong gue sebelumnya itu kebanyakan buat ngejaga hati orang lain dan biar orang itu tetap tenang serta nggak harus repot mikirin perasaan gue.

Tapi, bohong kali ini beda. Gue yang bohong, gue yang nanggung dosa, tapi yang kena getahnya bukan cuma gue. Bohong kali ini gue niatkan buat ngejaga hati Adam, tapi akhirnya yang terluka juga adalah Adam. 

Ini sih, bukan boomerang lagi namanya, tapi malapetaka.

Meskipun dia meluk balik gue sambil bilang, "Iya udah, nggak apa-apa."

Gue tau dia enggak nggak apa-apa. Dan, gue yang ngerasa bersalah puluhan kali lebih banyak ketimbang pas nyembunyiin ini cuma bisa nangis di pelukannya. Apalagi pas dia bilang,

"Cuma nganterin doang 'kan?"

Seandainya dia tahu, mungkin dia nggak akan bilang iya udah, nggak apa-apa.

Gue nggak ngejawab, takut. Takut Adam lebih kecewa, marah, sedih, sakit, atau bahkan lebih daripada itu.

Takut endingnya dia bukannya ngomong "Besok-besok sama aku, ya, Sayang," tapi mungkin dia bakalan ngomong ... "Aku nggak bisa sama kamu lagi," Atau ... "Kita lebih baik udahan aja."

Di satu sisi gue pasrah, karena sadar gue emang nggak sebaik itu buat dia. Tapi di sisi lain, di lubuk hati gue yang paling dalam, gue ... takut kehilangan dia.

Egois, ya. Udah ngecewain, tapi nggak mau ditinggalin.

Bukan nggak mau, cuma takut. Kalaupun seandainya nanti Adam bakal ninggalin gue, atau bahkan nemu yang lebih baik dari gue, mungkin ... gue bakal ngelepasin dia, meskipun dengan berat hati.

INESPERADO [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang