53

816 160 295
                                    

Adam

"Mohon perhatian, sesaat lagi kereta api Lodaya akan tiba di stasiun Yogyakarta. Bagi anda yang akan mengakhiri perjalanan di stasiun Yogyakarta kami persilakan untuk mempersiapkan diri. Periksa dan teliti kembali barang bawaan anda, jangan sampai ada yang tertinggal atau tertukar...."

"Sayang."

Pelan-pelan, gue bangunin Jasmine dengan cara bisikin dia sambil ngusap lembut rambutnya. Nggak sampe sedetik, Jasmine ngebuka mata terus ngangkat kepalanya dari bahu gue yang seringkali dia jadiin sandaran sepanjang perjalanan.

Iya, kita sekarang di kereta yang bentar lagi bakal nyampe ke kotanya, Yogyakarta.

Study tour SMP jadi ajang gue main ke Jogja buat pertama kali dan gue pikir juga bakal jadi yang terakhir kali karena—meskipun orang bilang Jogja itu istimewa—gue nggak suka panasnya dan orang-orangnya yang—menurut gue-—enggak sabaran.

Ditambah lagi, gue pernah punya pengalaman buruk, yaitu ditipu abang-abang yang jual powerbank, eh pas udah dibeli lalu dicoba bukannya ngisi malah baterai hape gue kesedot, 'kan soak.

Gue cerita ini ke Jasmine malah diketawain tadi, teh. Katanya, "Bukan nggak sabaran, tapi mereka sat-set gitu loh."

Terus lagi, "Kamu mah harusnya dicoba dulu baru dibeli."

Yap. Cowok, memang selalu salah di mata cewek. Enggak, ding. Emang salah gue juga.

Ternyata, kota yang nggak pengen gue kunjungi karena alasan yang udah gue sebutin di atas adalah kota kelahiran orang yang gue sayang, kota yang sekarang gue pijaki tanahnya dan gue hidup udaranya, juga kota yang—semoga—bakal jadi tujuan gue mudik selanjutnya, setelah Bogor.

Emang, ya, hidup, tuh, jalan ceritanya nggak ada yang bisa nebak. Banyak plot twist di mana-mana.

Sepanjang jalan dari peron sampe ke depan stasiun, tangan kanan gue nyeret koper Jasmine, sedang tangan yang lain megang erat jemari Jasmine. Asli, gue mulai deg-degan.

Kayaknya, hampir setiap orang yang mau ketemu keluarga pacarnya sama deg-degannya kayak gue sekarang, deh. Pengecualian, kalo camer lo adalah tetangga lo yang rumahnya lima langkah dari rumah lo.

Dari stasiun menuju rumah Jasmine, kita naik grab car. Ribet, ya. Gue tadinya udah mau bawa mobil, tapi Jasmine ngelarang. Takut gue capek nyetir. Padahal, mah, selagi sama dia, capek bukan masalah besar buat gue.

Haha! Bucin ... Bucin!

Ya, biarin, si. Risiko 'kan ditanggung masing-masing, nggak ditanggung pemerintah, apalagi ditanggung BPJS.

Lima belas menit, kita sampai di tujuan. Tangan Jasmine yang dari tadi ada di genggaman gue akhirnya gue lepas. Setiap satu langkah gue memasuki rumah Jasmine setara dengan tiga kali gebukan di jantung gue.

Ayo lah, Dam, santai sedikit!

"Duh, anak wadonku sing paling ayu, wes tekan ngomah."

Jasmine salim ke bapaknya yang lagi latihan jalan pake walker, dipeluk juga layaknya pasangan bapak dan anak yang harmonisnya luar biasa.

"Siapa ini, Nduk?"

Sampai akhirnya, keberadaan gue disadari dan ditanyakan. Jasmine noleh, senyum, "Ini A' Adam, Pak."

Gue keluarin senyum yang paling manis dan paling hangat yang gue punya sebelum bungkukin badan, "Adam, Pak," salim ke bapaknya Jasmine.

INESPERADO [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang