55

908 159 323
                                    

Jasmine

Ini adalah malam berikutnya setelah momen nggak diduga-duga di mana Dirga datang ke rumah gue bareng keluarga dia, mempertanyakan kesiapan gue buat nikah, menintipkan cincin ke Bapak sembari nunggu jawaban gue soal ... tunangan dulu aja.

Bapak, Ibu, Mas Irham, Mbak Sonya, dan gue, duduk meriung di ruang tamu, membahas lagi persoalan yang sama supaya segera didapatkan sebuah keputusan.

"Yang kemarin main ke sini itu?"

Lantas, begini respon Mas Irham, setelah gue bilang nggak mau tunangan apalagi nikah sama Dirga karena gue nggak cinta sama Dirga dan gue ... punya pacar.

Gue ngangguk, ngeliat Bapak. "Jasmine sama A' Adam pacaran, Pak. Jasmine cuma mau nikah sama A' Adam."

Cuma Bapak, satu-satunya harapan gue sekarang di saat semua orang seolah menuntut gue buat terima aja proposal Dirga dengan menjabarkan sejumlah fakta soal bibit-bebet-bobot seorang Dirga yang unggul tanpa cela itu buat dijadikan pendamping hidup.

"Apa sih hebatnya pacarmu, Jas?"

Mas Irham gue lirik bentar, sebelum Bapak jadi pusat atensi gue lagi. "Bapak tahu 'kan, Pak? Bapak ngobrol banyak sama A' Adam waktu dia main ke sini."

"Ngobrol sekali mana bisa langsung tahu, sih, Dek? Sekarang banyak loh cowok yang tampangnya keliatan baik tapi kelakuannya brengsek. Anak-anak kota tuh terutama yang begitu. Udah lah mending sama orang yang udah lama dikenal aja, yang udah pasti baik sifatnya, ndak neko-neko" Mbak Sonya ikut bicara sambil main hape.

Rasanya bakal percuma ngejawab mereka. Gue pilih buat pindah dari sebelah Ibu gue terus jongkok di depan Bapak, megang lututnya, "Bapak ..." nunduk pas mata gue rasanya nggak kuat nahan tangis, terus ngeliat Bapak lagi, "Jasmine nggak mau."

Kepala gue diusap-usap. Bapak ngangguk-angguk. "Iya, Nduk. Iya ndak apa-apa."

"Pak! Bapak gimana sih? Ini tuh buat masa depan Jasmine, loh, Pak. Dirga udah yang paling baik, nggak ada kurang-kurangnya. Masa udah ada yang jelas gini, malah milih yang nggak jelas?!"

"Iyo, i! Alesane ndak cinta ... ndak cinta, nikah i ndak mung mangan cinta tok, o, Dek! Diduduhi sing wes sugeh ben penak uripe, o, malah ndak eroh."

"Ngomong aja sama pacarmu itu, Jas, kalo kamu udah mau tunangan. Udah nggak usah pacar-pacaran yang nggak jelas tujuanya."

Denger suara Mbak Sonya yang disusul suara Mas Irham di sana, gue cuma bisa diem, nunduk, nyembunyiin muka gue yang usah basah kuyup di kaki Bapak.

"Apa perlu Mas yang ngomong ke pacarmu?! Coba mana sini ditelfon anaknya!"

Gue masih nggak beranjak.

"Jupuk hapemu. Iki ditelfonke Mas Irham, Dek!"

"Tak ambil sendiri sini. Di kamar toh hapenya?"

"Maasss!"

Mas Irham yang udah berdiri dari sofa sana gue teriakin, gue tahan tangannya pas mau naik ke lantai dua, gue liatin matanya sambil nangis dan berharap Mas Irham ngerti kalo gue nggak mau dia begini.

Gue mau, persoalan ini diselesaikan secara internal tanpa melibatkan Adam.

"Apa sih! Orang Mas mau ngobrol tok, o."

INESPERADO [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang