Jasmine
Kafe ini sering gue jadiin tempat me time.
Sekedar ngopi sambil nyari sarapan, dan sekedar mencari ketenangan sambil menyalurkan kesukaan: nulis dan jepret-jepretan.
Letaknya, nggak jauh dari kosan—jadi bisa dijangkau dengan tiga menit jalan kaki. Kafe ini buka dari jam tujuh pagi sampe jam sepuluh malem. Pagi hari jadi waktu paling gue minati buat dateng ke sini.
Kenapa? Karena gue suka suasananya: sepi, tapi nggak bikin gue kesepian.
Posisi gue sekarang duduk di bangku kayu tinggi, deket jendela, menghadap layar laptop gue yang nyala nampilin blank dokumen karena gue emang baru mau mulai ngerangkai lembar pertama karya ke-lima gue.
"Atas nama Kak Jasmine. Satu, cappucinno panas. Satu, roti kukus keju-cokelat. Waffle toping karamel ...."
"Saya nggak pesen waffle, Mas."
"Bonus buat kakaknya. Karena jadi pelanggan pertama kami," jawab cowok yang berprofesi sebagai barista merangkap waitress dan kasir.
"Ini menu baru kami. Nanti boleh minta tolong kasih review-nya, Kak? Saran juga boleh, biar saya bisa improve lagi ke depannya." Mungkin, sekarang dia juga udah mulai merangkap jadi juru masak.
Gue cuma ngangguk sama senyum doang dan dia bales dengan kata makasih beserta raut wajah super ramah kayak biasanya, dan jangan lupakan senyumnya yang seketika ngingetin gue sama Adam.
Karena sebagaimana dia, kita semua tahu, Adam juga punya lesung pipi sepasang.
Oh, satu lagi, kesamaan mereka: sama-sama merangkap sana-sini. Gue nggak perlu ngasih tahu apa aja profesi cowok gue ke kalian 'kan? Atau malah, ketimbang gue, kalian mungkin jauh lebih paham.
Gue cuma paham satu: Adam adalah manusia sibuk yang nggak pernah ngaku sibuk.
Adam Fahreza
Sayang, mau nonton nggak hari ini?
Atau, pengen pergi ke mana gitu?Gue nggak pernah minta waktunya, karena paham sesibuk apa itu orang. Tapi Adam sendiri yang kayaknya hampir selalu nyediain waktu buat gue:
dateng ke kosan gue, bawa ini-itu dan segala macem, ngajak gue jalan-jalan, ngajak gue olahraga, bawa gue ke tempat dia siaran, bawa gue ke tempat dia manggung.
Dan, gue ...
... setiap saat, gue nyari celanya dia, tapi nggak pernah tahu di mana.
Setiap hari, gue nyari alasan biar enggak semakin jatuh hati, tapi yang gue temuin justru hati gue yang semakin jatuh ke dia.
Setiap alasan yang gue punya ujung-ujungnya selalu hanya berkutat di dalam logika, nggak pernah gue dukung pake aksi nyata. Setiap gue berpikir x, kelakuan gue berbunyi y, atau kadang z alias nggak ketemu nilainya meski diitung bolak-balik karena nggak satu variabel.
Sampai akhirnya, gue nemu satu alasan.
Dirga
panggilan suara masukDirga
3 panggilan masuk tak terjawabDirga
7 pesan masuk belum dibacaAlasan ... buat gue berhenti nyari alasan. Gue udah nggak mau mikir apa-apa lagi. Nggak mau mikirin masa lalu gue. Nggak mau mikirin apa yang mungkin terjadi sama gue di masa depan nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
INESPERADO [END]
Romance"Gue pacarin, kalo lo bilang suka gue." "Suka aja nggak apa-apa. Gue udah soalnya."