Babak I (2)

714 43 41
                                    

Mengapa aku bisa jadi hantu?

Apa yang terjadi sebelumnya?

Aku berusaha mengingat-ingat beberapa hal sebelumnya. Namun, nihil. Aku nyaris tidak bisa mengingat apa pun selain beberapa hal yang terjadi jauh-jauh hari sebelum waktu aku mati.

Berarti aku sudah mati, ya?

Aku memeluk lututku. Aku menangis, setidaknya aku mencoba. Ternyata, aku tidak bisa mengeluarkan air mata. Bagaimana bisa aku mati? Lagi pula, bukannya orang mati pergi ke "alam setelah kematian"? Mengapa? Mengapa aku tidak pergi ke sana? Mengapa aku tidak menyebrang? Mengapa aku terjebak di dunia tempat aku hidup seharusnya? Apa utangku?

Apa yang belum kuselesaikan?

Ada yang belum terselesaikan.

Kalang kabut, aku keluar kamar, menembus pintu-pintu dan tembok-tembok yang memisahkan kamarku dengan kamar teman-temanku dahulu. Namun, tentu saja penghuninya sudah bukan teman-temanku lagi. Aku melihat mahasiswi-mahasiswi yang tidak kukenal. Aku ke pelataran asrama, ke kampus, ke ruang-ruang kelas. Aku masih menemukan beberapa dosenku yang pernah mengajarku, tetapi mereka tidak bisa melihatku. Aku sedih, merasa terasing di kampusku sendiri. Aku tidak tahu harus minta tolong kepada siapa. Aku (mencoba) menangis lagi di selasar kampus, membiarkan orang-orang berjalan menembusku.

Cukup lama aku menangis tanpa air mata dan ditembusi banyak orang. Sampai ada segerombolan mahasiswa Teknik Mesin yang lewat melewatiku (aku tahu dari jaket himpunan jurusannya). Terdengar olehku percakapan mereka.

"Tolong temani aku malam ini di kamar asramaku, dong. Teman sekamarku sedang pulang ke rumahnya."

"Oh, boleh. Kan sekalian kita belajar bareng."

"Hahaha. Emang kenapa kamu?"

"Jujur, aku takut. Kamarku tuh tepat di sebelah kamar Tarek," kata mahasiswa yang meminta ditemani.

"Tarek? Tarek itu?"

"Wah, aku juga takut."

"Katanya sering terdengar suara aneh dari dalam kamarnya."

Aku memasang telingaku. Ya, aku tahu kisah Tarek, mahasiswa berprestasi dari jurusan Teknik Mesin pada zaman sebelum aku kuliah yang meninggal karena kecelakaan motor. Konon katanya, setelah Tarek meninggal, masih bisa terdengar suara Tarek bernyanyi sambil bermain gitar atau suara-suara kesibukan lainnya di kamarnya dari kamar sebelah atau luar kamarnya. Teman sekamar Tarek, yang sering mendengar desas-desus itu, menjadi ketakutan dan meninggalkan kamarnya. Bahkan ketika teman sekamar Tarek pergi dan kamar itu menjadi kosong, suara-suara itu masih terdengar. Semua orang yang pernah mendengar suara-suara di kamar Tarek sudah diperiksa, mereka semua waras. Bahkan ada yang pernah memberikan bukti rekaman suara. Namun, setiap kali kamar Tarek diperiksa, tidak pernah ditemukan ada orang di sana. Makanya, Tarek diyakini masih "menghuni" kamarnya sehingga tidak ada orang lain lagi yang berani menempati kamar itu. Kisah Tarek dan kamar asramanya menjadi salah satu urban legend di kampusku.

Tarek. Hantu Tarek. Aku juga hantu sekarang. Kalau misalkan aku juga menemukan orang (kalau bisa disebut orang) yang juga hantu sepertiku, aku pasti bisa mendapatkan bantuan. Kuyakin aku juga bisa tahu mengapa aku mati. Aku mengikuti para mahasiswa Teknik Mesin itu dari belakang. Tentu mereka tidak tahu kalau aku mengikuti mereka sampai asrama mahasiswa. Aku sempat ragu karena aku harus memasuki asrama yang berisi laki-laki sementara aku perempuan, tetapi toh tidak ada yang bisa melihatku yang sudah jadi hantu tak kasat mata, jadi aku tidak bisa dibilang menyelinap. Aku mengikuti para mahasiswa pergi ke kamarnya hingga mereka masuk ke kamarnya. Karena aku terus mendengar percakapan mereka, aku tahu di sebelah mana kamar Tarek. Kini, aku ada di depan pintu kamar Tarek. Lorong asrama mahasiswa ini sedang kosong. Tidak akan ada bedanya juga kalau tidak kosong karena tidak ada yang bisa melihatku menembus pintu kamar Tarek.

Cara Menjadi HantuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang