Barang-barang bawaan Nelly sudah semua dibereskan dan dimasukkan kembali ke dalam tas tangan Nelly. Aku berniat mengantar Nelly sampai gerbang kampus.
"Terima kasih," ucapku sambil berjalan di sebelah Nelly ke arah gerbang kampus.
Nelly menyunggingkan senyum. "Sama-sama. Maaf, hasilnya di luar dugaan."
"Tidak. Kita sudah dapat informasi baru. Kita sudah selangkah lebih jauh."
"Jadi, kamu mau mencari tahu tentang hal yang dirahasiakan jin ini?"
"Katanya, inti rahasianya ada pada seorang manusia hidup, yang berarti orangnya masih hidup. Mungkin kita harus menanyai orang itu."
Langkah Nelly tiba-tiba berhenti. "Apa mungkin ... jin qarin-mu mengisyaratkan ...."
"Mengisyaratkan apa?" Aku ingin tahu kelanjutan dari kata-kata Nelly yang terputus.
Nelly menghadap ke arahku yang di sampingnya. "Yang menyebabkan kamu mati adalah orang lain." Nelly terhenti sesaat. "Kasarnya, kamu dibunuh."
"Aku? Dibunuh? Saat aku sedang sendirian di kamar? Bagaimana caranya?"
"Dengan membuat obatmu menjadi racun asli, padahal kamu meminumnya sesuai dosis."
"Siapa yang bilang kalau aku minum sesuai dosis? Siapa pula yang mau membuat obatku menjadi racun asli?" tanyaku. "Siapa tahu itu adalah masa-masa depresiku sehingga aku meminum sendiri obat-obatan itu secara sembarangan."
"Dan ada orang lain itu yang mengakibatkan kamu menjadi hantu," tambah Nelly. Nelly berjalan lagi. "Tetap saja ada campur tangan orang lain, Aksa, yang kita belum tahu siapa. Ya, meskipun kamu tidak dibunuh pula."
Nelly benar. Itulah yang akan aku cari tahu. Aku harus mencari tahu soal itu, tentang siapa atau apa yang membuatku menjadi hantu. Suatu pertanyaan lain terlintas sesaat di kepalaku: "Mengapa? Mengapa itu bisa terjadi?"
"Itu juga yang akan kita cari tahu," kata Nelly menanggapi lontaran pertanyaanku.
"Apakah itu akan sama dengan yang mengakibatkan Tarek dan Hari menjadi hantu?"
"Bisa jadi. Kita belum tahu itu. Kita harus menyelidikinya," kata Nelly. Kemudian, Nelly mendadak terdengar sedih. "Sayangnya, aku pasti akan sibuk lagi dengan pekerjaanku."
Aku ikut sedih mendengarnya. "Kalau begitu, mungkin kami, para hantu, harus mencari tahu sendiri tanpa bantuanmu."
Nelly menghela napas. "Aku benar-benar berharap ada manusia hidup lain di kampus ini yang medium sepertiku, atau juga bisa melihat kalian yang hantu. Mungkin memang ada, tetapi mana mungkin ada yang mau dilibatkan ke dalam hal pelik dan menyeramkan macam begini? Belum tentu mereka mau. Sejauh ini, hanya ada aku yang mau membantu di sini karena hanya aku yang tertarik."
"Begitu, ya? Mungkin bakal ada orang lain yang mau membantu kita nanti kalau kita mau mencari." Entah mengapa aku merasa optimis. "Kalaupun kami mencari tahu sendiri tanpa bantuanmu, kami akan memberitahumu apa saja yang sudah kami dapat."
Nelly tersenyum. Gerbang kampus sudah tampak dekat. "Terima kasih. Asal jangan lupa memberitahuku apa saja yang telah kalian ketahui, ya."
"Ya. Kamu pun sudah banyak membantu sampai sejauh ini, Nelly. Kamulah yang sudah menghubungi jin qarin-ku."
Senyum Nelly terus terulas. Yang patut disayangkan, aku perlu memberi tahu Nelly sesuatu yang mungkin akan membuat senyum Nelly hilang dari wajahnya. "Nelly, ada satu lagi yang mau aku katakan kepadamu. Aku katakan ini karena kamu sudah banyak membantuku."
"Apa itu, Aksa?" Nelly menghentikan langkahnya lagi yang membuatku turut berhenti.
Aku menyiapkan diri sampai aku bisa mengatakannya. "Nelly, Tarek dan aku, kami sudah pernah berhubungan secara fisik saat kamu tidak ada di kampus. Aku minta maaf karena aku harus bilang ini. Kamu sudah membantuku dan justru inilah bayarannya dariku. Aku benar-benar tidak tega terhadapmu yang sudah banyak membantuku. Rasanya tidak adil untukmu kalau kamu tidak tahu ini. Makanya, aku perlu memberitahumu."
Setelah mendengarnya, ternyata, Nelly menyunggingkan senyumnya kembali. "Aku sudah menduga kalau itu akan terjadi, Aksa. Melihat Tarek, aku tahu cepat atau lambat, kalian akan berhubungan sebagai sesama hantu juga."
Aku keheranan. "Hah? Mengapa kamu malah mewajarkannya?"
"Maaf kalau ini terdengar kasar. Tapi, hidup dan mati itu sungguh berkebalikan. Yang hidup dan yang mati tidak akan bisa bersatu. Jadi, ada baiknya yang mati bersama yang mati. Begitu pula yang hidup bersama yang hidup."
"Aku .... Bagaimana dengan perasaanmu, Nelly? Bukankah kamu menyukai Tarek?"
"Ya, tapi itu pun pasti ada akhirnya," kata Nelly. Nelly berusaha tenang mengatakan itu walaupun aku tahu Nelly pasti sendu juga. "Aku juga sudah salah menyukai hantu dan itu perlu berakhir, bukannya aku teruskan."
"Tidak, kamu dan perasaanmu tidak salah." Aku berujar, "Kamu berhak marah padaku, Nelly."
Nelly menggeleng. "Aku tidak bisa marah padamu kalau kamu memang menyukai Tarek juga. Lagi pula, kalian sesama hantu. Mungkin akan lebih baik untuk kalian bersama. Apakah kamu menyukai Tarek?"
Karena tidak tega, aku menjawab setengah hati. "Iya. Tapi Tarek butuh kamu," balasku. "Kami membutuhkanmu, Nelly."
Nelly menyentuh pundakku. "Ya. Aku mengerti. Terima kasih sudah berbagi denganku, Aksa. Aku mengapresiasi itu. Aku akan pulang dulu, ya."
Nelly berjalan ke gerbang kampus, meninggalkanku. Aku merasa bersalah, tetapi Nelly harus diberi tahu. Mungkinkah Nelly akan tetap sedih sepulang dari sini? Belum lagi pekerjaannya yang sangat banyak dan berat sebagai bos atau manajer. Yang memberi secercah harapan adalah semoga pekerjaannya bisa mengalihkan perhatian dan menghibur Nelly untuk sementara waktu. Entah kapan Nelly akan kembali ke kampus ini lagi. Aku belum tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Menjadi Hantu
TerrorBagaimana jika suatu hari, kau menemukan dirimu sudah bukan manusia lagi? Bagaimana kalau ketika kau bangun, kau ternyata sudah mati? Bagaimana bila saat kau sudah mati, kau malah menjadi hantu? Maukah kau belajar bagaimana caranya menjadi hantu? * ...