Babak II (7)

73 9 1
                                    

"Mengapa kita memakai boneka jailangkung?"

Aku akhirnya duduk di seberang Nelly karena ingin memperhatikan boneka jailangkung yang dibawa Nelly.

"Ini pertama kalinya aku memanggil jin qarin dari seseorang yang sudah mati yang ruhnya masih di dunia ini. Kalau si jin qarin tidak mau menampakkan dirinya karena ada kamu—ruhmu—yang masih ada di sini, aku harus bersiap menggunakan boneka jailangkung ini sebagai wadah dan media untuk berkomunikasi," jawab Nelly menjelaskan.

Aku perhatikan kembali boneka jailangkung itu. Yang kutahu, kunci bertali itu akan ditancapkan ke makanan atau minuman yang ingin dikonsumsi makhluk halus jika mereka mau. Di ujung bawah boneka terdapat sebuah pensil yang diikatkan ke rangka kayu vertikal. Pasti nanti jinnya akan berkomunikasi lewat tulisan dengan pensil itu. Nelly pun mengeluarkan sebuah buku catatan sebagai tempat menulis. Melihat bonekanya lagi, aku mengerti kalau boneka itu untuk dipegang satu orang saja.

"Ada apa dengan ketujuh penganan ini?" Aku menunjuk tujuh penganan dan segelas kopi yang dijejerkan di depan Nelly, di depan buku catatan dan boneka jailangkung yang dipegang Nelly dengan kedua tangannya di rangka kayu vertikal. Aku tahu semua itu untuk apa, tetapi aku mau memastikan dulu.

"Ada beberapa jin yang suka mencicipi makanan manusia, apa pun makanannya," kata Nelly. "Mereka akan mau datang kalau diberi tujuh opsi makanan, jadi kita perlu menawari jin makanannya. Apalagi, bisa dibilang, mereka datang dari tempat yang cukup jauh, bukan? Soal kopinya, makhluk halus suka kopi pahit untuk minum."

"Seperti sajen, ya?"

"Ya, benar," jawab Nelly sambil mengangguk.

"Tunggu. Bukannya aku tidak yakin, tapi kamu hampir-hampir tidak memenuhi sebagian besar ketentuan bermain jailangkung yang menjadi peraturan urban legend jailangkung." Aku lalu mengatakan apa saja yang tidak dilakukan Nelly.

"Begini bisa bekerja juga, kok, tanpa mengikuti ketentuan urban legend kita yang sudah diketahui. Para jin sebenarnya bisa dipanggil kapan saja dan bagaimana saja kalau mereka tidak sibuk, seperti manusia. Aku melakukan sedikit upaya untuk beramah-tamah juga kepada mereka, memang, dengan semua persiapan ini, mereka perlu diperlakukan secara baik oleh seorang medium yang memanggil mereka. Lagi pula, sore saat matahari terbenam begini justru waktu yang tepat juga, bukan?" kata Nelly menanggapi kemudian.

Aku turut menganggukkan kepala setelah Nelly menerangkan. Aku kira Nelly sudah berpengalaman melakukan ini sehingga Nelly bisa dipercaya. "Apakah semua sudah siap?" tanyaku.

"Ya, sudah. Tinggal diriku sendiri."

Nelly menarik napas panjang dan memejamkan mata sambil memegangi tangkai vertikal boneka jailangkung. Dia pasti berusaha fokus untuk bisa terhubung dengan makhluk yang dituju. Matahari sedang terbenam. Aku sering mendengar tentang waktu matahari terbenam yang merupakan waktu terbukanya pintu di antara dunia-dunia sehingga kita bisa bertemu sosok atau makhluk lain dari dunia lain. Belakangan aku mengetahui bahwa kepercayaan itu tidak hanya ada di Indonesia saja—baik secara regional, nasionalis, maupun agamis—tetapi juga ada di Jepang. Dalam bahasa Jepang, magrib, senja saat matahari terbenam, disebut tasogare.

"Ini panggilan," tiba-tiba, Nelly berkata dengan khidmat, "kepada jin qarin dari Aksa. Aksa Azkatunisfa. Lahir pada tanggal 19 September 1995. Meninggal pada tanggal 11 November 2013. Keberadaanmu dibutuhkan. Datanglah!"

Aku kaget karena Nelly mengatakan jampi-jampi seperti itu. Itu berarti segala informasi tentangku memang dibutuhkan untuk pemanggilan jin ini. Aku tidak memberi tahu Nelly langsung mengenai identitas diriku, barangkali Tarek atau Hari yang memberi tahu Nelly (ya, tidak apa-apa, kok).

Cara Menjadi HantuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang