Babak II (4)

133 12 0
                                    

Hari merupakan (mantan) mahasiswa Teknik Fisika. Aku sempat mengira dia (mantan) mahasiswa Teknik Perkapalan, Teknik Kelautan, atau Oseanografi dari nama lengkapnya, tetapi ternyata bukan. Hari meninggal saat mendekati akhir semester, menjelang akhir tahun 2014, yang berarti dia meninggal setahun setelah aku meninggal. Sama sepertiku, Hari baru bangkit menjadi hantu empat tahun setelah kematian.

Penyebab meninggalnya Hari belum kami ketahui. Jadi, setelah Hari belajar tentang mengendalikan kalor di pinggir jalanan kampus, tempat yang sama dengan dulu aku belajar, Hari menawarkan sesuatu ke Tarek dan aku. "Aku mau membantu kalian mencari tahu nama lengkap kalian. Aku juga ingin tahu tentang kematianku."

Aku menoleh ke Tarek. Tarek mulai menimbang-nimbang lagi, dua jarinya ditekankan ke pelipis kanan. Setelah beberapa saat, Tarek pun berkata, "Mengetahui nama lengkap bukan hal yang cukup urgen sebenarnya, tapi soal mencari tahu info tentang kematianmu, itu memang penting."

"Yah, mungkin nama lengkap kalian bisa ditemukan secara tidak sengaja saat kita mencari tahu berita kematianku," kata Hari.

"Oke, karena kau meminta, kita akan ke lab komputer nanti malam untuk mencari tahu info tentang kematianmu, penyebabnya, alasan, mengapa dan bagaimana, saat sudah tidak banyak orang lagi," balas Tarek. "Kita akan mencari tahu di sana."

"Baik, aku setuju," Hari mengiakan.

***

Lab komputer sudah sepi dan ditutup pintu-pintunya. Namun, tentu saja aku, Tarek, dan Hari bisa pergi ke lab karena mampu menembus pintu dan dinding. Setelah memastikan tidak ada orang lain di lab, kami memilih satu komputer di pojok lalu kami menyalakannya.

"Komputer sudah terhubung ke internet," kata Tarek. "Nah, Hari, coba kau buka browser dan cari di situ."

Hari duduk di kursi dan mengontrol tetikus di tangannya. Aku dan Tarek berdiri di samping kanan dan kiri kursi Hari. Pada mesin pencari, Hari mengetik nama lengkapnya. Bahari Lagunawan. (Serius, namanya juga enak disebut.)

"Oh, ada namamu, itu, tahun kau masuk kuliah, nomor induk mahasiswa, dan info-info lainnya kalau di web identitas mahasiswa di perguruan tinggi," ujar Tarek. "Statusmu: Sudah meninggal."

Hari menghela napas. "Iya," lalu kembali ke halaman hasil pencarian.

"Itu ada pos "Turut Berduka Cita", tapi di situ tidak ada keterangan penyebabnya, ya?" kataku.

"Pasti pos di media sosial," kata Hari. Hari mencoba membuka pos itu dari hasil pencarian. Ada foto Hari saat masih hidup. Hari manusia hidup memakai kacamata sementara Hari hantu tidak memakai kacamata.

"Kau ingat kau memakai kacamata dulu?" tanya Tarek ke Hari.

"Baru sekarang ini aku ingat."

Hari kembali lagi ke halaman hasil pencarian lalu mulai membuka-buka halaman selanjutnya. Hari terus mengeklik beberapa kali sampai halaman terakhir. Tidak ada informasi terkait mengapa Hari meninggal.

"Coba lebih spesifik. Bahari Lagunawan, jurusan Teknik Fisika, nama perguruan tinggi, dan tahun meninggal, Hari," saranku kepada Hari.

"Baik." Hari menuruti saranku. Masih belum ada hasil pencarian terkait kematian Hari. Hari pun mengeklik panah ke halaman selanjutnya hingga halaman ke-3. Tangan Hari berhenti dan melihat judul berita yang ganjil: "Keteledoran Tukang Roti Penyebab Meninggalnya Seorang Mahasiswa".

Hari melihat sedikit cuplikan berita di web pencarian. "BL. BL itu inisial namaku, kan?" kata Hari seolah berbicara ke dirinya sendiri.

""Keteledoran Tukang Roti"?" Tarek ikut membaca potongan judul beritanya. "Ayo buka itu!"

Hari mengeklik tautan berita tersebut. Aku, Tarek, dan Hari membaca keseluruhan berita dari awal sampai akhir. Kami bertiga mencoba mencerna berita itu dan kami bertiga sama-sama berakhir terkejut.

"Hari, jadi itu ...." Aku mendapat pencerahan.

"Ya, aku tahu mengapa aku mati," kata Hari.

"Kau punya alergi kacang?" Tarek memastikan.

"Ya, waktu masih hidup. Aku ingat sekarang," Hari menjawab. "Padahal, bisa dibilang, aku tidak memesan roti yang ada selai kacangnya. Aku memesan roti selai serikaya. Ada kemungkinan tukang roti memakai spatula yang sempat bercampur dengan selai kacang."

"Kau meninggal ... karena reaksi alergi," simpulku.

"Anafilaksis." Hari menyandarkan badan ke kursi. "Kematianku membuat seseorang kehilangan pekerjaannya."

"Itu keteledorannya yang fatal," kata Tarek.

"Bagaimana nasib tukang roti itu sekarang, ya?" tanyaku.

"Di berita disebutkan bahwa tukang roti meminta maaf sebesar-besarnya dan membayar ganti rugi penuh kepada keluarga Hari. Keluargamu, Hari. Tukang roti bahkan banyak membantu untuk pemakamanmu," jelas Tarek. "Semoga si tukang roti tidak mengulanginya lagi dan beralih ke pekerjaan yang lebih baik sekarang. Atau, yah, mungkin dia sempat di balik jeruji."

"Tapi, mengapa aku dulu membeli roti bakar itu, ya?" Hari bertanya.

"Mungkin kamu lapar, sangat lapar," kataku. "Apalagi kamu tinggal di kos yang mungkin jarang tersedia makanan juga."

"Sungguh menyedihkan." Hari menggeleng-geleng kecil.

"Omong-omong, selai serikaya dan selai kacang warnanya agak mirip, ya."

"Tarek!" tegurku.

"Kau ingat, tidak, di mana kaubeli roti bakar itu?" tanya Tarek.

"Tidak." Hari menggeleng. Di berita memang diberi tahu inisial Hari, di mana Hari berkuliah, dan inisial penjual roti bakar dan kukus, tetapi tidak diberitahukan di mana si penjual berjualan. Mungkin itu demi menjaga privasi dan itu kasus tertutup. Berita tentang kematian Hari ini juga tidak banyak diungkap di media-media berita lainnya. Pada akhirnya, kesimpulan dari berita tersebut adalah "kecelakaan".

Tarek kembali mengusap-usap punggung Hari. "Aku minta maaf."

Kami lanjut menenangkan Hari sampai akhirnya Hari mencetuskan, "Oke, sekarang, giliran aku mencari nama lengkap kalian. Siapa tahu nama lengkap kalian menarik."

"Ngg." Aku dan Tarek saling melirik. Kami sebenarnya tidak terlalu tertarik, tetapi kami biarkan Hari mencari nama lengkap kami. Mungkin itu usaha Hari menghibur dirinya sendiri.

Cara Menjadi HantuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang