Babak II (10)

112 13 0
                                    

Entah mengapa aku tidak bisa tidur atau beristirahat. Aku merasa tidak ingin kembali ke kamar asramaku; aku tahu aku bakal sendirian di situ saat ini dan aku sedang tidak mau sendirian. Mungkin ini karena aku merasa lega sebab kematianku dan perubahanku menjadi hantu bukan akibat dari diriku sendiri 100%, tetapi aku juga gelisah akan hal itu, padahal akulah yang menenangkan Tarek sebelumnya. Aku sesungguhnya tidak sendirian. Aku bersama Tarek dan Hari yang sudah punya tujuan sama, yaitu menemukan apa atau siapa yang membuat kami terjebak di sini. Aku menyadari ironi diriku sendiri. Aku benar-benar serupa arwah penasaran sekarang berkat pertemuanku dengan jin qarin-ku.

Pada akhirnya, aku kelelahan juga. Aku sampai di danau kampus lalu mendatangi sebatang pohon dadap merah. Merahnya bunga dadap merah semerah darah, terlihat bahkan di kegelapan malam. Mungkin ini bukan pohon yang pernah dijadikan tempat tidur Hari, tetapi aku merasa nyaman saja di bawah pohon ini. Aku duduk bersila di bawah kerimbunan pohon dadap merah. Mungkin Hari tidur di bawah pohon tabebuya atau pohon jacaranda atau pohon bauhinia, kalau aku boleh menebak.

Setelah beberapa lama, pandanganku yang tadi menggelap menjadi dipenuhi cahaya matahari terbit yang beringsut dari bawah cakrawala. Oh, rupanya aku tertidur sambil bersila dan bersandar pada batang pohon dadap merah. Hari sudah berganti menjadi keesokannya. Jadi, aku menghabiskan malam di bawah pohon dadap merah di dekat danau.

Matahari yang makin terang menandakan kalau aku perlu kembali ke kamarku di asrama. Aku beranjak pergi ke asrama perempuan. Aku masuk ke dalam gedung dan naik ke lantai tempat kamarku berada.

Begitu sampai, aku terperanjat karena ada banyak barang yang memenuhi bagian depan kamarku. Dari mana datangnya semua ini? Bila kuperhatikan, barang-barang yang memenuhi kamarku ini terdiri dari beberapa kardus, sapu, pel, pengki, dan alat-alat kebersihan lainnya.

Aku tahu kesimpulannya. Ada orang yang pindah menempati kamarku. Tiba-tiba saja begini. Apakah aku marah? Aku tidak marah. Atau mungkin sedikit? Karena aku merasa bahwa tempat privasiku diinvasi. Namun, terpikirkan olehku. Apakah masih ada konsep privasi untuk hantu? Lagi pula, para pengurus asrama perempuan yang tidak bisa melihatku tinggal di kamarku pasti menduga bahwa kamarku kosong, tanpa adanya manusia mahasiswi hidup yang mengisi. Mereka bisa menawarkan kamarku kepada mahasiswi hidup mana pun untuk diisi. Wajar saja kalau ada orang hidup yang pindah untuk tinggal di kamar asramaku.

Akan tetapi, mengapa?

Akhirnya, aku masuk ke dalam kamar, menembus pintu. Aku menemukannya. Ada seorang perempuan yang duduk di kursi, menghadap meja belajarnya, sambil menulis-nulis sesuatu di buku catatannya di atas meja. Aku lega karena aku sudah mengembalikan buku novel ke perpustakaan sehingga baik meja belajar yang dipakainya maupun meja belajar satu lagi kosong pada bagian atasnya. Aku melihat bantal dan guling diletakkan di atas salah satu kasur, di ranjang yang lebih dekat ke jendela. Dia memilih ranjang itu untuk dijadikannya tempat tidur. Aku bergeming di dekat pintu untuk memperhatikan perempuan itu.

Kapan dia pindah kemari? Kemarin malam saat aku masih di luar sana? Tadi pagi sebelumnya?

Aku hanya terdiam selama beberapa lama, tidak tahu mau mengatakan apa. Sekilas, perempuan itu tampak melirik ke pintu. Kepadaku. Apakah dia menyadari atau merasakan sesuatu yang janggal ketika aku masuk ke kamar? Mungkin dia tidak bisa melihatku, dan walaupun dia tidak bisa melihatku, memang ada manusia hidup yang mampu mengetahui keberadaan hantu dari kulit-kulit mereka yang sensitif. Mereka, orang yang sensitif pada sesuatu yang supernatural dengan kulit di tubuh mereka.

"Maaf masih berantakan. Aku belum beres-beres."

Aku mendengar perempuan itu mengatakan sesuatu, tetapi aku tidak tahu perempuan itu berkata kepada siapa. Dia sendirian di kamar dan dia tidak sedang menelepon siapa-siapa, tidak ada handphone di dekatnya. Tangannya sudah berhenti menulis di buku catatannya.

"Aku tahu kamu ada di situ, berdiri di dekat pintu. Kamu bisa melihatku dan aku bisa melihatmu. Ya, itu benar. Aku bisa melihatmu."

Aku terkesiap dan menutup mulut dengan tanganku. Itu berarti dia bisa melihatku, melihat hantu.

"Kamu seorang perempuan, kan?" Dia bertanya. "Atau sesosok hantu perempuan, bisa dibilang begitu. Aku sudah dengar beberapa hal tentangmu. Awalnya, para pengurus asrama perempuan tidak ingin aku menempati kamar ini karena, katanya, ini adalah kamar seorang mahasiswi yang sudah meninggal. Kamu mahasiswinya. Kamu yang pernah tinggal di kamar ini."

Dia menoleh. Tatapanku dan mahasiswi itu berserobok. Kini, kami sudah saling memandang. "Lalu, bagaimana kamu diperbolehkan menempati kamar ini?" Aku yakin aku bergumam dengan sangat pelan, tetapi perempuan itu masih mampu mendengarku berkata-kata.

"Aku butuh kamar untuk pindah ke asrama ini. Kamar inilah yang harus aku dapatkan. Dalihku adalah, aku tidak percaya mitos begituan di kampus ini dan aku tidak merasa ketakutan pada mitos tersebut. Sebenarnya, sebaliknya, aku justru mengetahui mitos itu dan ingin mengulik kebenarannya. Tapi aku tidak takut. Aku tidak takut dengan desas-desus dari menempati tempat tinggal orang mati. Aku tidak takut padamu juga." Perempuan itu berdiri dari kursinya. Dia berjalan ke pintu, ke arahku. Dia berhenti di hadapanku kira-kira sejauh sehasta. Dia memicingkan matanya. Dia benar-benar mencoba melihatku.

"Kamu hantu?"

"I-iya. Ruhku terjebak di sini. Aku menjadi entitas yang seharusnya berada pada frekuensi yang berbeda dari manusia biasa, darimu. Tapi, kamu dapat melihatku karena kamu sensitif terhadap frekuensi itu, frekuensi kami."

"Ya, itu benar. Aku bisa melihatmu. Sudah kuduga kamu adalah hantu dan aku memang bisa melihat hantu."

"Kamu tahu Tarek?" Aku bertanya tentang Tarek, urban legend kampus.

"Aku tahu. Kamu tahu kalau dirimu sudah seperti Tarek?" Dia menaikkan kedua alisnya.

"Iya, sebagai hantu. Mungkin belum kalau sebagai urban legend. Tarek adalah pendahuluku. Sekarang, kami sudah bertiga. Ada tiga hantu di kampus ini," ujarku memberi tahu.

"Begitu, ya?" Perempuan itu manggut-manggut. "Namamu Aksa Azkatunisfa, bukan? Teknik Elektro?"

"Iya." Dia sudah tahu nama lengkapku dan jurusanku dahulu!

"Ya, kamu yang dulunya meninggal di kamar ini beberapa tahun lalu. Aku satu-satunya yang mau menempati kamar bekasmu ini. Aku tertarik dengan kasusmu yang misterius. Kini, aku mulai tertarik dengan kasusnya Tarek juga, dan hantu yang satu lagi."

Aku mulai menerima bahwa yang ada di kamarku sekarang adalah seorang mahasiswi indigo atau paranormal. Namun, selain itu, dia bilang dia juga mau menyelidiki kasus dan itu membuatku bertanya-tanya. Apakah mahasiswi ini menyambi menjadi seorang detektif?

"Oh, ya, aku belum mengenalkan diriku," katanya lagi. "Namaku Dania Ilmiyari. Panggil aku Dania."


Catatan penulis: Bagaimana Babak II-nya sejauh ini? Setelah ini, kita akan memasuki ke babak ke-3. Aku, penulis, mau memberi jeda dulu paling tidak satu-dua bulan. Tunggu bab selanjutnya dan jangan lupa baca, sukai (like/vote ☆ → ★), dan komentar.

Cara Menjadi HantuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang