Babak III (11)

16 4 0
                                    

"Belinda masih mengingatmu dengan baik," Dania memungkas ceritanya, "dan kamu mungkin juga diingatkan soal kamu yang pernah punya tumor di kepala."

Aku terkesiap. Setelah mendengarkan keseluruhan cerita, tiba-tiba aku merindukan Belinda. Belinda memang salah satu kawan terbaikku saat aku masih hidup dulu. Meskipun penampilannya seperti cewek skena yang rebel, tetapi ia begitu peduli kepadaku. Aku tidak tahu bagaimana penampilan Belinda sekarang, apakah sudah lebih rapi atau tidak. Dari cerita Nelly dan Dania, aku tahu kalau Belinda masih merokok seperti saat aku masih hidup.

"Belinda, Belinda, ya! Aku ingat Belinda. Aku biasa memanggil namanya langsung, ia tidak ingin dipanggil 'Kakak' meski ia kakak tingkatku," ujarku tenang walaupun secara internal, aku terharu karena Belinda menganggapku seperti adiknya sendiri. "Rupanya, ia pun merindukanku."

"Aksa, jadi ... apa benar kamu pernah punya tumor di kepala?" tanya Nelly dengan hati-hati.

Dengan hati-hati pula, aku mengangguk. "Benar. Bisa dibilang, itulah mengapa kondisi otakku saat aku masih hidup begitu kacau."

Nelly dan Dania terdiam seolah-olah sedang mengheningkan cipta. Entah apakah mereka sedang berpikir, merasa prihatin, bermuram durja, berduka, bersedih, bersimpati, berempati, atau kebingungan, aku tidak tahu. Aku tidak bisa menebaknya dari ekspresi mereka karena mereka pun terlihat menundukkan kepala. Mungkinkah mereka memikirkan apa yang kukatakan tadi? Kemudian, mereka juga memikirkan langkah-langkah apa yang akan kami ambil selanjutnya? Apakah mereka menjadi memikirkan kemungkinan aku memang membunuh diriku sendiri? Apakah aku sudah membuat orang-orang merana?

"Oke, obat-obatan, depresi, ADHD, itu aku masih bisa ingat, tapi aku benar-benar lupa soal tumor di kepalaku sebelumnya," kataku menambahkan. "Aku tidak menyangkanya! Aku hampir tidak bisa percaya itu! Kalau aku mencoba bunuh diri dengan morfin, yang ada, itu malah menyelamatkanku dari kesakitanku karena tumor. Kalaupun tidak, yah, mungkin aku memang memberi dosis untuk diriku terlalu banyak."

"Yang berarti tetap saja kesalahan meminum obat dan mengapa kamu menjadi hantu itu bukan sepenuhnya salahmu, Aksa," lerai Hari. "Siapa tahu dosis morfinnya yang diresepkan terlalu besar."

"Sebelum-sebelumnya, Aksa pun sudah benar soal mencurigai apoteker itu," Tarek menukas. "Apalagi ini berkaitan dengan obat-obatan."

"Ya, itu mungkin untuk kasusnya Aksa," tanggap Dania sambil memegang dagunya sembari berpikir. "Lalu, bagaimana dengan kasusmu, Tarek? Dan kasusnya Hari?"

"Hei, aku sebenarnya sudah memikirkan ini selama beberapa hari," Nelly sontak berkata. "Aku menemukan kesamaan dari penyebab kematian Aksa dan kematian Hari, yaitu keracunan. Bedanya, Aksa keracunan obat-obatan dengan dosis yang tidak benar sementara Hari keracunan bahan makanan kacang yang menyebabkannya terkena reaksi anafilaksis. Tidakkah kalian mendapati suatu pola?"

Kami semua mendengar cetusan dari Nelly dan mulai mencoba menangkap apa yang dipertanyakan. Beberapa lama kemudian, Dania berkata, "Yah, untuk dikatakan pola, itu masih kurang, Nelly. Tapi, terima kasih sudah mengingatkan. Siapa tahu itu berhubungan walau terlihat seperti sebuah kebetulan."

Hari menyentuh dagunya sendiri. "Klinik Bumi Sehat."

"Ya, Hari? Kenapa?"

"Samar-samar, aku ingat kalau aku pernah ke sana saat aku masih hidup," katanya. "Tapi, aku lupa mengapa dan untuk apa."

Nelly dan Dania berpandangan. Mereka seperti saling membaca pikiran satu sama lain. Di kala itu, aku jadi sedikit iri karena hantu tidak bisa telepati (hantu tidak punya otak untuk menyiarkan gelombang otak) sementara manusia hidup mungkin punya kesempatan untuk bisa telepati. Yah, aku sedikit bercanda di bagian telepati, tapi kuakui, Nelly dan Dania sangat kompak akhir-akhir ini karena mereka harus bekerja sama untuk melakukan penyelidikan.

Cara Menjadi HantuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang