"Mereka tidak percaya orang sepertimu mengonsumsi narkoba atau obat-obatan sejenisnya. Kabarnya cukup mengejutkan," Tarek mengakhiri ceritanya mengenai bagaimana aku mati.
Ada beberapa memori yang kembali padaku setelah mendengar Tarek bercerita. Aku memang sempat terdiagnosis dengan ADHD lalu jatuh ke lubang depresi sebelum aku masuk kuliah karena aku mengkhawatirkan nasibku saat kuliah nanti. Ya, aku pernah diresepkan beberapa obat dari psikiater. Aku beri tahu Tarek bahwa obat yang dimaksud pasti obat yang memang sudah diresepkan untukku. Tarek menyimak ceritaku lalu menanggapi, "Ah, berarti bukan penyalahgunaan obat, ya? Tapi, apakah kau kelebihan dosis obat? Atau mencampur obat-obatan yang seharusnya tidak dicampurkan? Karena itu bisa menjadi racun. Mungkin kau tidak sengaja?"
"Itu, aku tidak ingat," ucapku sambil menggeleng. "Setidaknya, aku mendapat bayangan mengenai penyebab aku mati."
Tarek menepuk pundakku, "Kau ... tidak mengakhiri hidupmu sendiri, kan?"
Aku menggeleng lagi. "Aku masih tidak ingat. Ya, aku sempat merasa ingin membunuh diriku sendiri. Jadi, rasanya tidak ayal kalau ternyata aku sengaja mengakhiri hidupku sendiri."
Tarek mengangkat tangannya dari pundakku, menunjukkan ekspresi prihatin. "Oh, Aksa. Mungkin, kau menjadi hantu karena kau diberi kesempatan kedua untuk menikmati "hidup" di dunia ini meskipun kau jadi harus kehilangan nyawamu."
Sekarang, aku tertawa. "Kamu tidak perlu merasa kasihan kepadaku. Lihatlah dirimu. Kamu mati tepat ketika kamu sudah berhasil menjadi mahasiswa berprestasi. Bukankah kamu seharusnya punya hidup yang gemilang kalau kamu tidak mati, masih hidup saat itu?"
Tarek mulai tersenyum. "Mengenai kehidupanku, itu sudah di masa lalu sekarang. Kehidupanku tidak abadi, tidak permanen, begitu juga segala prestasiku. Aku senang aku menjadi mahasiswa berprestasi, tapi itu tidak akan bertahan lama." Tarek pindah tempat duduk ke sebelah kiriku. "Waktuku untuk bersenang-senang selama hidup sudah usai. Sekarang, aku menjalani "hidup" sebagai hantu."
"Bukan berarti juga kamu tidak bisa bersenang-senang selama "hidup" sebagai hantu, kan?" tanyaku sambil mengerutkan dahi.
"Yahaha! Yang berarti, kamu juga dapat bersenang-senang. Saat ini, kita dapat bersenang-senang bersama sebagai sesama hantu," tawanya.
Kini, aku mencoba ikut tersenyum. Sepertinya, "kehidupan"-ku menjadi hantu akan sedikit lebih ringan karena aku tidak sendirian menjadi hantu, ada hantu lain yang bersamaku, terutama bersama Tarek, Si Hantu Mahasiswa Berprestasi Teknik Mesin yang Tampan.
"Tarek, aku ingin tahu," aku bertanya, "apakah kamu pernah merindukan keluargamu yang kautinggalkan?"
Tarek mengangguk. "Ya, pernah. Setelah mencoba mengingat-ingat di mana keluargaku tinggal, agar mempercepat waktu tempuh, aku mencoba menaiki kendaraan umum. Agak curang, sih, karena aku tidak perlu membayar, aku juga tidak punya uang," Tarek memandangiku yang merasakan ada hal yang janggal atau belum terbayangkan olehku sebelumnya. "Oh, aku duduk di atap kendaraan. Kita ini makhluk yang lebih bebas di dunia ini daripada manusia yang masih hidup." Tarek terkekeh lalu melanjutkan, "Setelah sampai, akhirnya, aku dapat melihat keluargaku lagi. Ada rasa senang, haru, dan sekaligus sedih melihat mereka. Adikku yang bandel bertambah besar dan dewasa. Orang tuaku bertambah tua, yang kuharapkan semoga mereka bertambah bijak juga. Aku ingin bilang ke mereka 'Aku di sini, aku dapat melihat kalian', tapi tidak ada di keluargaku yang punya riwayat sensitivitas itu, jadi mereka tidak akan melihatku. Lagi pula, mereka pasti ingin melanjutkan hidup tanpa diriku, mereka perlu—bahkan harus—mengikhlaskan diriku. Setelah itu, aku tidak pernah lagi mengunjungi keluargaku, cukup sekali itu saja."
"Tapi, kamu punya kehidupan yang lebih baik sebelum kamu mati," debatku. "Aku mati karena aku takut tidak bisa menjalani perkuliahan karena ADHD-ku. Kekhawatiranku sudah membunuhku dengan aku menyabotase diriku dengan obat-obatan."
"Tidak salah kalau kita pernah mengalami kekhawatiran. Yang diperlukan hanyalah belajar melakukan moderasi terhadap segala sesuatu. Hidup memang sepenuhnya tentang belajar. Oh ya, kita sudah mati," Tarek menanggapi dirinya sendiri, "yang anehnya, kemudian kita seperti diberi kesempatan belajar lagi seolah kita masih hidup sebagai manusia yang hidup."
"Mungkin kita tidak mati. Mungkin kita hidup dengan cara berbeda di waktu yang lain dari manusia hidup lainnya."
"Hm, itu adalah kesimpulan yang menarik, Aksa," kata Tarek.
"Kalau begitu, ada banyak hal yang harus kupelajari sebagai hantu. Maukah kamu mengajariku, Tarek?" pintaku.
"Aku akan coba membagi pengetahuanku selama 6 tahun menjadi hantu."
"Apakah ini deal?" Aku mengulurkan tanganku agar dijabat Tarek. Tarek meraih tanganku. "Deal! Dengan senang hati."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Menjadi Hantu
HorrorBagaimana jika suatu hari, kau menemukan dirimu sudah bukan manusia lagi? Bagaimana kalau ketika kau bangun, kau ternyata sudah mati? Bagaimana bila saat kau sudah mati, kau malah menjadi hantu? Maukah kau belajar bagaimana caranya menjadi hantu? * ...