Babak IV (4)

12 4 0
                                    

(Sedikit peringatan eksplisit! Ini bab yang agak panjang.)


Tahun 2010 ...

Siapa yang tidak ingin menjadi seperti Tarek Santosamaro? Mahasiswa berprestasi di jurusan Teknik Mesin yang dikenal dan digilai banyak orang, terutama wanita. Yah, sayangnya, Tarek pun sudah memiliki seorang pacar yang cantik pada waktu itu. Pacarnya bernama Maimunah Kawana, seorang mahasiswi Teknik Planologi keturunan Jepang yang biasa dipanggil "Una".

Ya, waktu itu, Tarek masih manusia hidup.

Suatu ketika, Tarek dan Una sedang berjalan bersama ke tempat parkir motor. Mereka merencanakan kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama. Hari itu merupakan hari kuliah biasa pada weekdays.

"Jadi, biar kita bisa ketemuan dan barengan setelah kuliah, kau mau kita kumpul berdua kapan?" Una bertanya kepada Tarek.

"Yang pasti, jangan besok, Una."

"Mengapa jangan besok?"

"Karena besok aku tidak bisa."

"Kau tidak bisa?"

"Aku ... mau ke klinik besok."

"Kau sakit?"

"Bisa dibilang begitu. Lebih tepatnya, aku mau konseling kesehatan mental."

"Oh, begitu," Una menanggapi. "Ya, tidak apa-apa, Tarek. Semoga semua masalah yang kaualami bisa selesai. Tapi, besok-besoknya lagi bisa, kan?"

"Kita di hari libur saja, Una. Pasti semua tugas kuliah kita sudah selesai dan indekosmu tidak terlalu ramai lagi."

"Benar juga. Oke. Sabtu?"

"Hmmm, gimana kalau Minggu saja?" tawar Tarek.

"Kalau Minggu, kosku malah ramai, lho," ujar Una seraya menunjukkan puppy eyes-nya.

"Hahaha. Oke, boleh Sabtu. Tapi siang hari, ya?"

"Oke, gak apa-apa."

Setelah saling berkompromi, di tempat parkir yang sunyi, mereka saling mencuri cium pada bibir mereka. Pasangan itu memang sering mencuri-curi kesempatan untuk berciuman. Setelah itu, mereka menaiki motor milik Tarek untuk pergi keluar kampus.

***

Keesokan sorenya, Tarek sudah membuat janji untuk bertemu seorang psikiater di Klinik Bumi Sehat. Ketika namanya dipanggil, seorang perawat mengarahkan Tarek ke ruang psikiater tersebut. Tarek pun masuk ke dalam ruangannya.

"Permisi," ucap Tarek.

"Oh, silakan, silakan masuk dan duduk," kata dr. Lorenz terdengar ramah.

Tarek tersenyum kecil lalu duduk di kursi di hadapan dr. Lorenz.

"Aku baru pertama kali melihatmu saat ini," ujar dr. Lorenz memulai percakapan. "Adakah keluhan darimu?"

"Ya, Dokter, ini kali pertama saya kemari," balas Tarek. "Soal keluhan, ya, saya punya pula."

"Kamu datang ke tempat yang tepat," kata dr. Lorenz lembut. "Jadi, apa keluhanmu?"

Tarek menghela napas berat, "Saya ... saya merasa tidak kuat."

"Merasa tidak kuat akan apa?" Dokter Lorenz mempersiapkan pena dan kertas untuk mencatat.

"Tidak kuat dengan kehidupan saya," Tarek menjawab. "Sedari dulu, saya dikenal dengan banyak kelebihan. Saya pintar, saya kaya, saya baik, saya tampan, dan sebagainya."

"Saudara yakin? Dengan kelebihan-kelebihan tersebut, Saudara menjadi tidak kuat dengan kehidupan?"

"Ya, dan itu membuat saya takut," kata Tarek. "Bagaimana jika itu semua membuat saya menjadi besar kepala atau berbuat semena-mena tanpa rasa malu. Terkena megalomania, misalnya. Sesungguhnya, saya kemari untuk pencegahan sebelum saya "sakit" betulan."

Cara Menjadi HantuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang