‼️ Content Warning ‼️
Kembali ke masa kini, setelah Nelly dan Dania kemarin bercerita mengenai bagian asal-usul Laila Hasanuddin yang bekerja sama dengan dr. Lorenz Margini, Tarek mengajakku untuk bertemu dengannya di perpustakaan kampus. Tarek sudah mengajakku sejak kemarin sesudah Nelly pulang dari pohon beech di kampus, tempat pertemuan biasa kami. Dania mengetahui tentang ajakan itu dan Dania tidak mempermasalahkan apa pun denganku sebelum dia berangkat kuliah pada pagi tadi.
"Aku sudah bilang ke Hari kalau aku mau pergi ke perpustakaan untuk bertemu denganmu. Ada hal yang ingin kubicarakan empat mata denganmu." Tarek menjelaskan mengapa Hari tidak ikut pergi dengannya ke perpustakaan.
Aku manggut-manggut. "Mengapa di perpustakaan? Mengapa tidak di kamarku saja?"
"Karena kamarmu juga merupakan kamar Dania. Dan aku ingin berbicara denganmu yang hantu juga, terutama karena Dania-lah yang sudah bercerita soal ... kenyataan mengenai Laila kemarin. Aku ingin tahu pandanganmu tentang itu."
Itu adalah Laila, teman karib Tarek dahulu. Aku menyadari kalau Tarek pasti merasa dikhianati oleh Laila. Belum lagi bila teringat Fijar yang tidak tahu-menahu soal Laila, istri Fijar. Tarek telah dikhianati banyak, telah kehilangan banyak, dan aku merasa kasihan pada Tarek. Namun, Laila pun tidak bisa melakukan apa-apa karena terjebak. Aku mencoba memasukkannya ke akalku soal latar belakang Laila melakukan itu.
"Jadi, sebelumnya, rupanya ada korban sebelum dirimu, Tarek, yang disebut sebagai korban ke-0. Aku sendiri tidak menyangkanya sebelumnya kalau ada korban sebelum dirimu. Apalagi itu adalah korban pesugihan, dan Laila ternyata terlibat."
"Ya, kau benar, Aksa," timpal Tarek.
"Laila terjebak karena ia tidak sengaja melukai seseorang secara fatal dan menjadi saksi penghilangan nyawa yang dilakukan dr. Lorenz," tambahku. "Oleh karena itu, mereka jadi harus bekerja sama dalam melakukan pesugihan. Tentu yang memulai dan melaksanakan pesugihan adalah dr. Lorenz, Laila hanya membantu. Itu pun Laila membantu karena terpaksa, tidak bisa karena keinginannya sendiri."
"Aku tahu. Aku hanya tidak ... sulit percaya semua itu. Belum lagi soal kalau Laila mendapatkan bagian juga dari pesugihan."
"Itu benar-benar mengguncang moral, ya? Laila sendiri saat ini sedang bekerja di Klinik Bumi Sehat, tempat yang sama dengan dr. Lorenz bekerja. Kalau di film-film, pemimpin dan anak buah perlu bekerja berdekatan untuk mengontrol keberjalanan hal keji terselubung mereka, terlebih kalau mereka mudah menyembunyikannya," ujarku.
Tarek menekan pelipis kanannya. "Aku ingat sekarang. Aku juga pernah ke Klinik Bumi Sehat," kata Tarek. "Dan kalau tidak salah, aku juga pernah bertemu dr. Lorenz di Klinik Bumi Sehat saat aku masih hidup."
"Oh ya?" Aku jadi mencoba mengingat-ingat detail masa hidupku yang pergi ke klinik itu. "Hmmm. Aku belum ingat apa-apa. Mungkin nanti aku bakal ingat kalau semuanya terungkap, sepertinya pelan-pelan, tapi pasti. Nah, aku jadi penasaran. Mengapa, beberapa saat setelah kamu meninggal, ada suara-suara aneh yang terdengar dari kamar asramamu?"
"Mungkin karena akulah korban pertama yang sebenarnya jika tidak menghitung korban ke-0. Sebagai korban pertama yang akhirnya bangkit dan terbentuk menjadi hantu, ada beberapa bagian dalam kehidupanku selama masih hidup, termasuk kamar asramaku, yang ikut diaktifkan untuk membangkitkanku jadi hantu," jawab Tarek mengutarakan pendapatnya. "Entahlah, aku tidak yakin juga. Ada banyak hal rumit yang menyangkut dunia gaib dan supernatural, yang aku sendiri tidak pahami, padahal aku saat ini adalah makhluk gaib dan supernatural."
Aku mencoba menepuk pundak Tarek. Tarek menoleh kepadaku saat aku menepuk pundaknya. "Hei, Tarek, yang perlu kamu ingat, kamu bukan satu-satunya korban, kamu tidak sendirian. Ada korban-korban selanjutnya setelahmu, termasuk aku, Hari, dan entah siapa lagi yang belum bangkit menjadi hantu. Aku pasti akan membantu. Kita semua akan memecahkan kasus ini bersama."
Tarek mengangguk dan aku melepas tanganku dari pundak Tarek. Tarek berkata kepadaku, "Kautahu, sebagai hantu, kau sangat bersimpati, mendekati berempati. Aku harap, kau juga begitu saat kau masih hidup."
"Tapi aku tidak nasionalis, apalagi patriotis."
Bingung, dahi Tarek mengernyit. "Apa hubungannya simpati, empati, nasionalisme, dan patriotisme?"
"Yah, untuk mencintai bangsa dan negara kita serta menumbuhkan rasa semangat untuk rela berkorban kepada bangsa dan negara, kita butuh simpati dan empati terhadap negara dan bangsa kita."
"Kau tidak salah, Aksa," kata Tarek. "Tapi, itu tiba-tiba sekali, dari kasus kita yang menjadi hantu sampai ke rasa cinta ke tanah air."
"Maafkan aku. Itu cuma lonjakan pikiran ADHD-ku," ucapku lirih. Aku menepisnya. "Lupakan saja."
Tarek tersenyum dan mengangkat kedua alis. "Tidak salah aku berbicara denganmu sekarang. Kau bisa menghiburku. Kau jadi terlihat hidup bagiku," ujar Tarek. Aku tidak yakin apakah Tarek berupaya memujiku atau tidak. Tarek melanjutkan, "Seandainya saja kita sudah bertemu dan saling mengenal saat kita masih hidup, apa yang akan terjadi? Apa yang akan kita lakukan?" Tarek memandangku. "Apa yang akan kaulakukan?"
"Aku pasti akan menjadi salah satu penggemar terberatmu." Aku mengedikkan bahu. "Tampan, berprestasi, itulah kamu, Tarek."
Tarek tertawa singkat. "Kau ini memang lucu, Aksa, dan sangat imut. Yah, benar, aku tidak salah." Tarek menghadapkan dirinya padaku dan mengikis jarak di antara kami berdua. "Aksa, aku mencintaimu."
Aku mengamati Tarek yang mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dalam sekejap. Tarek mulai mengulum dan mencium bibirku. Entah bagaimana, suara kecupan pun terdengar. Aku merasakan tangan Tarek melakukan gerakan di badan bagian belakangku. Aku menahan diri agar aku bisa menerima Tarek secara lebih menyeluruh.
Aku berhenti sejenak. "Tarek, tunggu sebentar."
"Oke, tapi tenang saja, Aksa."
"Kamu yakin?"
"Aku sudah lama ingin melakukan ini."
Tarek mengecup bibirku lagi dan sudah mulai menggerayangi badanku, terutama bagian dada dan bokong. Kami terduduk di lantai. Tarek makin brutal menciumiku. Akhirnya, kami melepaskan diri dari pakaian kami. Aku dibuat berbaring di lantai. Tangan Tarek berlama-lama di dadaku kemudian mulai membelai lembut seluruh badanku. Makin lama durasi kami bersama, Tarek jadi makin tahu apa yang harus dilakukan pada tiap sudut dan sisi di badanku. Mataku membuka lebar.
Sambil mengamatiku yang terus terlena, Tarek berkata, "Kau menghantuiku, Aksa."
Setelah mengesah panjang, aku membalas, "Aku memang hantu. Kamu juga hantu. Kita saling menghantui. Aku sudah dihantui dirimu sejak pertama kali kita bertemu."
"Aku pun merasakan begitu. Belum pernah aku mendamba sebesar ini, bahkan saat aku masih hidup," kata Tarek. "Terlebih saat aku tahu perasaanmu memang tulus kepadaku."
Tarek memosisikan diri di atasku dan menggenggam kedua tanganku yang terbaring di lantai. Kami bersiap untuk saling mengisi kembali. Semoga saja tidak banyak yang bisa melihat dua hantu bercinta di lantai perpustakaan di antara rak-rak buku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Menjadi Hantu
HorrorBagaimana jika suatu hari, kau menemukan dirimu sudah bukan manusia lagi? Bagaimana kalau ketika kau bangun, kau ternyata sudah mati? Bagaimana bila saat kau sudah mati, kau malah menjadi hantu? Maukah kau belajar bagaimana caranya menjadi hantu? * ...