Berita soal air danau membeku kemarin malam tersebar di seluruh kampus. Mereka menyangka bahwa air danau membeku itu karena makhluk halus. Hal itu dikuatkan dengan bau kemenyan yang berasal dari lisong terbakar, yang juga diyakini sebagai penanda keberadaan makhluk halus.
"Mereka tidak salah, kan?" Aku berkata. "Itu memang ulahku."
"Hm, aku hanya berharap mereka tidak menyimpulkan kalau itu ulah hantu secara langsung. Mereka bisa bilang kalau itu fenomena alam yang aneh. Lagi pula, rasanya lucu kalau institusi pendidikan blak-blakan mengatakan itu disebabkan hantu."
"Benar juga," balasku.
"Tapi, kuulangi, banyak orang di kampus ini sudah biasa dengan kejadian supernatural dan keberadaan mitos-mitos. Akulah salah satu kejadian dan mitosnya," kata Tarek. Kami sedang berada di selasar fakultas Teknik Sipil. Kami mengamati banyak mahasiswa yang berjalan ke kelas, mengerjakan tugas, dan mengobrol dari sisi pinggir selasar.
"Kamu bilang, pelajaran hari ini adalah mengamati orang. Mengapa kita perlu mengamati orang?"
"Untuk memperhatikan apakah kita bisa membaca orang yang dapat menyadari keberadaan kita."
Aku menghela napas. "Aku lemah dalam 'memperhatikan'."
"Anggap saja ini terapi kecil-kecilan di kehidupan setelah kematianmu."
Aku hanya mengangguk kecil. "Oke."
"Menyadari keberadaan kita tidak selalu berarti mereka melihat kita secara harfiah. Manusia hidup punya pancaindra, bukan? Mungkin mereka bisa tahu keberadaan kita dari hanya mendengar atau hanya merasakan melalui kulit mereka."
"Jadi, ada yang bisa mendengar kita berbicara saat ini?"
"Kalau mereka dapat mendengar."
"Ada yang bisa menabrak kita juga?"
"Bisa jadi."
"Jadi, kalau tidak keseluruhan pancaindra, bisa dengan salah satunya, kan?"
"Bisa salah dua, salah tiga, atau salah empat."
"Apakah manusia hidup dikatakan paranormal, medium, atau indigo kalau bisa mengetahui keberadaan kita dengan kelima indranya?"
"Hm, sepertinya, kita akan berinteraksi dengan yang disebut indigo atau paranormal. Medium malah bisa memanggil ruh yang sudah menyebrang. Atau paranormal juga bisa memanggil?" Tarek terhenti, ia mengangkat bahu. "Maaf, aku tidak sepenuhnya memahami istilah, klasifikasi, dan definisi-definisi yang begitu."
"Oh, tidak apa-apa." Aku dan Tarek berhenti berbicara. Setelah hampir lima menit aku berdiri memperhatikan, mataku mulai terkatup. Aku berlatih mengendalikan cryokinesis-ku mulai pagi-pagi tadi, jadi aku merasa lelah. Aku pun merasa ada sisa ADHD-ku yang masih terbawa padaku hingga aku menjadi hantu. Aku tertidur sambil berdiri. Namun, belum sampai lima menit juga aku tertidur, aku merasakan ada yang aneh sehingga aku terbangun. Di salah satu ujung selasar, di sebuah coworking space, ada yang melihat ke arahku dan Tarek. Seorang mahasiswa, kuduga dari Teknik Lingkungan dari stiker di laptopnya, memperhatikan tempat Tarek dan aku berada dengan seksama. Mahasiswa itu bahkan memicingkan matanya dari balik laptop terbukanya dan mejanya. "Tarek, Tarek," panggilku, "ada yang bisa melihat kita."
"Oh ya? Di mana?"
Aku menunjuk ke coworking space. Tarek melihat arahku menunjuk. "Mahasiswa gundul itu? Yah, kalau dia tidak melakukan pergerakan apa pun ke kita, tidak apa-apa."
"Apakah dia bisa mendengar kita?"
"Aku tidak tahu. Dia cukup jauh dari kita. Masih wajar kalau dia tidak dapat mendengar kita. Hei, kau bisa mengetahui kalau dia dapat melihat kita dari sini."
"Kita memang dapat merasakan kalau ada yang melihat kita."
"Wow," Tarek tampak kagum. Mahasiswa Teknik Lingkungan itu mulai bangkit dari tempatnya dan membereskan laptopnya.
"Dia mau pergi. Apa yang harus kita lakukan?"
"Hm, sebaiknya kita pergi juga. Pelajaran hari ini selesai," kata Tarek. "Kasihan juga kalau dia kelihatan—apalagi dibilang—aneh oleh orang-orang karena dapat melihat kita. Kita pun tidak punya urusan apa-apa lagi di sini."
Aku dan Tarek meninggalkan tempat kami berdiri di selasar. "Mungkin tidak hanya manusia hidup yang punya sensitivitas terhadap kita. Kita, sebagai hantu, juga perlu kesadaran mengenai siapa manusia hidup yang dapat mengetahui kita," ujar Tarek kepadaku sambil berjalan keluar area Teknik Sipil. "Kesadaranmu lebih tinggi daripadaku ternyata."
Aku mengangkat bahu. "Aku hanya mencoba lebih intuitif."
Baru saja aku mengatakan itu, seorang mahasiswa lainnya, kali ini berkacamata, menabrakku. "Maaf, maaf!" Mahasiswa itu berlalu begitu saja, mungkin dia buru-buru. Tarek dan aku mengamati mahasiswa yang menabrakku tadi dari belakangnya. Aku bertanya lagi, "Apa dia bisa melihatku?"
"Aku tidak tahu," jawab Tarek. "Tapi, itu, dia sensitif di indra kulit, pada sentuhan hantu. Dia bisa jadi indigo atau paranormal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Menjadi Hantu
HorrorBagaimana jika suatu hari, kau menemukan dirimu sudah bukan manusia lagi? Bagaimana kalau ketika kau bangun, kau ternyata sudah mati? Bagaimana bila saat kau sudah mati, kau malah menjadi hantu? Maukah kau belajar bagaimana caranya menjadi hantu? * ...