Babak II (6)

89 11 0
                                    

Pada hari Selasa, Nelly pulang cepat karena ada kegiatan inventarisasi di siang hari yang dilakukan penanggung jawab inventorinya (hasil delegasi tugas oleh Nelly). Nelly sampai di kampus pukul 4 sore. Nelly bertemu dengan Tarek dulu, baru nanti bertemu denganku di pojok kampus seperti biasa. Saat Nelly bertemu dengan Tarek, aku menemani Hari berlatih pyrokinesis di pinggir danau.

"Aksa, aku membuat bola api." Dengan tangannya, Hari memperagakan gerakan rotasi berputar yang membentuk bola. Lidah api terlihat menjilat-jilat dalam bola yang diperagakan tangan Hari meskipun tidak terlalu besar.

"Wow, hebat! Tapi, hati-hati, Hari. Nanti membakar sekitar." Aku memuji sekaligus mengimbau Hari.

"Baik." Hari menghentikan pergerakan tangannya dan bola api itu hilang dengan cepat. Hari duduk di sebelahku di pinggir danau. Dataran di pinggir danau berbatu kerikil. Hari mengambil sebutir kerikil dengan tangannya.

"Jadi, kamu dan Nelly akan melakukan pemanggilan jin?" Hari membuka pembicaraan.

"Ya," kataku sambil mengangguk.

"Apa yang akan kautanya?"

"Ke jin qarin? Beberapa hal tentang diriku dan penyebab aku mati."

"Hmmm." Hari manggut-manggut dan melihat ke danau yang ada di depannya. Hari melempar kerikil di tangannya tadi ke danau. Pluk! Bunyi kerikil masuk ke air terdengar. Tidak ada manusia hidup di sekitar kami yang melihatnya.

"Jauh juga lemparanmu," ujarku.

"Kalau kuingat, dulu aku suka main bisbol."

"Oh, begitu."

Kami terdiam, melihat pemandangan danau yang biru-kelabu. Air danau tampak beriak dan berpendar di pandangan mata kami. Angin sempat berhembus selama beberapa menit untuk mengisi kekosongan.

"Bagaimana menurutmu soal hubungan Nelly dan Tarek?" Ternyata, Hari mengganti topik percakapan.

"Ah? Ya, aneh, sih. Tapi, aku tidak bisa melarang terjadinya orang dan hantu untuk jatuh suka. Kenapa?"

"Aku juga berpikir kalau itu aneh. Tapi, Tarek memang tampan, bahkan setelah menjadi hantu. Sepertinya wajar kalau sampai ada indigo yang suka. Terlebih Nelly, seorang medium yang bisa melihat hantu."

"Ya," tanggapku mengiakan.

"Tapi, Aksa, kamu pernah merasa suka pada Tarek juga?"

"Hmmm." Giliranku berpikir. Apa sebenarnya yang bisa ditolak dari Tarek dengan janggut kecil kasar, kumis tipis, dan rambut hitam dikucir kuda? "Bisa dibilang, aku pun mengagumi Tarek," akuku. "Tarek pernah cerita kalau dia punya pacar saat masih hidup, sebelum dia meninggal. Pacarnya ditinggal mati. Ada kemungkinan kalau Tarek banyak dipuja wanita waktu dia masih hidup, apalagi dia mahasiswa berprestasi dulu."

"Iya, ya."

Kami terdiam lagi dalam kecanggungan. Sesungguhnya, aku senang mengobrol dengan Hari. Hari baik. Tapi, beginilah kalau dua orang atau hantu introver di satu tempat. Lucu juga ketika aku menyadari bahwa hal tersebut masih berlaku setelah kami menjadi hantu.

***

Pukul setengah 6 sore lewat. Aku dan Nelly bertemu di pohon beech untuk melakukan pemanggilan jin. Hari sudah kembali ke kamar Tarek di asrama, jadi sekarang hanya ada aku dan Nelly. Tentu saja Tarek dan Hari sudah tahu mengenai pemanggilan jin yang Nelly dan aku akan lakukan.

"Kamu akan pulang terlambat?" Aku menanyakan perihal Nelly yang akan berada di kampus lebih lama kepada Nelly.

"Jangan khawatir. Aku tinggal sendirian di kosku, jadi tidak ada yang menungguku pulang ke rumah," kata Nelly. Ini menyiratkan kalau Nelly dan ayahnya tinggal terpisah saat ini, mungkin pengaruh Nelly yang sudah bekerja dan mencari uang sendiri. "Biasanya, kalau aku sedang mau menongkrong sendirian di suatu tempat, aku akan pulang ke kos lebih larut."

"Apa bapak kepala asrama tahu kamu kemari?"

"Ayahku tahu aku kemari kalau aku mau bertemu dengannya saja dan memberitahukannya sebelumnya. Aku tidak memberi tahu apa-apa ke ayahku soal ini."

"Jadi, bapak kepala asrama tidak tahu kamu di sini untuk melakukan ini?"

"Tidak. Jadi, tenang saja. Aku tidak mengabari ayahku kalau aku ke asrama kampus hanya untuk bertemu Tarek atau kamu—atau Hari juga, sekarang. Ini rahasiaku, tentu kamu tahu."

Oh, iya. Aku hampir lupa kalau bapak kepala asrama tidak mengetahui kemampuan Nelly, putri semata wayangnya ini. Aku pun mengangguk.

Nelly duduk di tanah dekat pohon beech. Dia membuka tas tangannya dan mengeluarkan barang-barang dari dalamnya. Dari banyaknya barang yang dikeluarkan Nelly, aku tidak menyangka kalau tas tangan Nelly sebesar itu. Aku pun memperhatikan Nelly mengeluarkan sebungkus plastik kukis butir coklat, sepotong kue lapis dikemas plastik, sebuah bakpia bolu dikemas plastik, sestoples kecil kue macaron, setabung keripik kentang, roti kopi dalam bungkus kertas, dan grontol jagung dalam bungkus daun pisang. Aku hitung ada tujuh jenis penganan yang dikeluarkan Nelly, yang Nelly buka semua kemasannya. Kemudian, Nelly mengeluarkan sekaleng kopi hitam yang dia tuang ke gelas plastik kecil, yang biasa dipakai di pesta-pesta, yang dia bawa. Terakhir, ini yang paling mengejutkan, Nelly mengeluarkan sesuatu yang terbuat dari batok kelapa di puncaknya dan batang-batang kayu yang membentuk rangka, dengan kain putih yang menyelubungi badan rangka itu seolah-olah kain putih itu pakaiannya dan kunci dengan ujung berlubang yang diikatkan tali di lubangnya tergantung di rangka seolah-olah kunci bertali itu kalungnya.

Aku menyadari apa yang akan terjadi. Aku pernah mengetahui hal ini saat aku masih hidup. Namun, entah mengapa, Nelly mempersiapkan semua ini bertentangan dengan apa yang aku ketahui. Penganan-penganan yang Nelly siapkan tidak seluruhnya jajanan pasar tradisional berupa kue basah, ada yang modern dan kering. Nelly akan melakukannya sendirian, tidak ditemani manusia hidup lain. Nelly juga melakukannya sebelum pukul 9 malam. Selain itu, aku tidak melihat adanya bunga-bunga, dupa, atau minyak wangi. (Aku ingin menduga jika Nelly telah menyemprotkan minyak wangi ke badannya sendiri, tetapi aku tidak bisa memastikan.) Aku mencoba mengonfirmasi ke Nelly.

"Nelly, itu ...."

"Ya, ini boneka jailangkung."

Cara Menjadi HantuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang