Babak IV (7)

10 4 0
                                    

Tahun 2013 ...

"Bagaimana kabarmu, Saudari Aksa?"

"Ya, aku baik," jawabku sekenanya. Tidak terhibur, tidak bersemangat, dengan wajah cemberut.

Dokter Lorenz membaca ekspresi wajahku. "Adakah sesuatu yang sangat buruk terjadi?"

Ini sudah ketiga kalinya aku, Aksa Azkatunisfa, berkonsultasi dengan dr. Lorenz di Klinik Bumi Sehat. Aku memang harus mengontrol permasalahan ADHD-ku yang cukup menyulitkanku selama proses pembelajaran di kampus. Pikiranku sering berputar-putar demi menunaikan statusku sebagai seorang mahasiswi di perguruan tinggi. Tidak seperti sekolah sebelumnya, tekanan perkuliahan memang lebih tinggi. Maka dari itu, aku sering menyalahkan diriku yang tidak becus sebagai mahasiswi karena aku punya ADHD, merasa tidak mampu, serta menyesali kehidupanku dan mengapa aku masih hidup hingga saat ini. Aku sudah tidak bisa hidup dengan benar lagi. Sampai akhirnya, aku didorong untuk pergi ke Klinik Bumi Sehat oleh teman sekamar di asramaku yang merupakan kakak tingkatku.

"Saya benci kampus ini," kataku. "Benci karena mereka tidak memahami kondisi saya, terlalu menuntut saya untuk berlaku seperti orang dewasa. Saya mungkin orang dewasa, tetapi saya sedang sakit."

"Oke, oke. Kalimat terakhir Saudari itu benar, kok," kata dr. Lorenz sambil mencatat.

"Saya benci karena saya punya masalah dengan fokus saya, karena saya punya ADHD. Bukankah orang dengan ADHD seharusnya didukung karena dia kesulitan untuk fokus belajar di kuliah?"

"Oh, Saudari mendapat dukungan dari saya," tanggap dr. Lorenz sambil tersenyum. "Akhir-akhir ini, Saudari merasa pusing?"

"Cukup sering."

"Seperti apa pusingnya? Migrain?"

"Ada di sekitar ubun-ubun saya," jawabku seraya menunjuk kepalaku. "Rencananya, saya mau ke rumah sakit yang lebih besar untuk CT scan, mencari tahu permasalahan di kepala saya. Kadang kala, kepala saya terlampau sakit."

"Oh, kapan itu?"

"Nanti Sabtu."

"Baik, baik. Apakah Saudari akan kembali lagi ke sini setelah itu?"

"Ya, saya memang merencanakan untuk bertemu Dokter lagi setelah saya diperiksa CT scan."

"Baguslah kalau kita berusaha untuk menuntaskan permasalahan saraf sampai ke akarnya. Saya apresiasi kesediaan Saudari untuk melakukannya," ucap dr. Lorenz. "Saudari rutin meminum obat?"

"Ya, Dokter. Obat sakit kepala, jika dirasa efek psikosomatis ke kepala sudah mulai berat. Selebihnya, saya meminum obat khusus ADHD sesuai anjuran."

Dokter Lorenz mengangguk selagi menyimak. "Selain teman sekamar di asrama Saudari, ada lagi teman yang tahu kondisi Saudari?"

Aku menggeleng. "Saya ... tidak memberi tahu siapa-siapa lagi."

"Lho? Mengapa? Bukankah Saudari ada acara orientasi jurusan? Pasti kakak tingkat Saudari di jurusan perlu mengetahuinya."

"Saya ... tidak bisa memberitahukannya. Saya tidak ingin dihakimi oleh teman-teman dan kakak-kakak tingkat saya yang sejurusan."

"Memiliki ADHD bukan hal yang memalukan atau mengerikan," tukas dr. Lorenz. "Saya paham bahwa Saudari merasa malu untuk memberitahukan perihal ADHD Saudari, tapi mungkin ada orang lain yang butuh mengetahui kondisi Saudari."

Aku terdiam, hanya berusaha mencerna apa yang diberitahukan dr. Lorenz.

"Jika sulit ke sesama mahasiswa, Saudari bisa bilang ke dosen. Menurut saya, Saudari bisa lebih terbuka kepada para dosen, menceritakan masalah Saudari kepada dosen," ulas dr. Lorenz. "Tidak apa-apa, tidak harus ke semua dosen. Cukup ke dosen yang bisa dipercaya oleh Saudari. Seharusnya, dosen yang lebih berpengalaman bisa mengerti, terlebih karena dosenlah yang mengajar."

Cara Menjadi HantuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang