Babak IV (8)

12 4 0
                                    

Aku menyadari sekarang bahwa dahulu, Laila ternyata pernah melihat dan memegang kartu tanda mahasiswaku.

Laila pernah mengutak-atik morfin yang untuk diberikan untukku. Laila sendiri orang yang meracik obat morfinnya. Sekilas terdengar aneh di awal, tetapi itu bisa masuk akal jika Laila memang punya akses untuk masuk lab dan membuat obat.

Jadi, Laila membuat satu botol morfin yang dapat mematikan jika isi dosis morfin dalam botol kecilnya tepat habis.

Dari kedua botol, aku pasti akan memilih satu botol morfin yang tanggal kedaluwarsanya lebih awal untuk aku konsumsi terlebih dahulu. Satu botol lagi yang belakangan itulah yang berisi morfin modifikasi Laila. Makanya, secara pas, setelah aku habis memakai botol morfin yang kedua, aku menjadi sekarat.

Prosesku meninggal karena overdosis morfin itu terjadi dalam beberapa minggu.

Dania sedang di kamar bersamaku dan mencoba saling mengecek hubungan antara ingatanku dan informasi dari Laila sepulang kuliahnya.

"Berarti, itu memang benar, yang meresepkan morfin memang dari rumah sakit lain yang lebih besar itu, bukan dari Klinik Bumi Sehat," kata Dania.

"Iya. Hanya saja, Klinik Bumi Sehat menyediakan morfinnya," tambahku. "Termasuk morfin modifikasi Laila yang diberikan kepadaku."

"Aku hampir tidak menyangka kalau kamu dan Laila ternyata pernah bertemu. Laila pernah melihatmu saat kamu masih hidup, Aksa," simpul Dania. "Apakah kau ... heran atau kaget dengan semua itu?"

"Ya, cukup mengejutkan. Apoteker yang pernah melayaniku langsung adalah Laila."

Di buku catatannya, Dania terus menulis. "Kasusmu sudah jelas. Kasus Tarek juga sudah jelas. Tinggal kasusnya Hari."

"Kita memang harus menunggu Hari mendapatkan ingatannya kembali agar bisa memperkuat penyelidikan kita," timpalku.

"Tepat sekali." Dania serta-merta berhenti menulis. Keningnya berkerut dan ujung pulpen alat tulisnya ditekan-tekan ke dagunya. Kelihatannya, Dania berusaha memikirkan sesuatu yang serius. "Ada tugas kuliah yang harus aku kerjakan setelah ini," ingat Dania.

"Kalau begitu, kerjakanlah, Dania. Nanti kita bisa lanjutkan penyelidikan lagi," tuturku seraya tersenyum. Itu mengingatkanku pada saat aku masih menjadi mahasiswa.

"Soal ingatan Hari, aku juga punya ide," kata Dania. "Hari meninggal karena dia punya alergi kacang, bukan? Reaksi anafilaksis?"

"Iya, benar." Aku bisa mengerti ke mana arahnya Dania. "Dania, apakah mungkin—"

"Aku akan coba memicu ingatan Hari," potong Dania.

***

Kembali ke pohon beech, di Sabtu malam, malam minggu. Aku, Tarek, Nelly, Hari, dan Dania berkumpul seperti biasa. Di tengah-tengah kami yang duduk melingkar, Dania tengah berdiri. Di tangan Dania, ada sesuatu yang ia pegang.

"Hari," Dania menunjukkan bungkus kertas berisi roti bakar selai kacang, "kamu tahu apa ini?"

"Itu ...," Hari menerka, "itu pasti roti selai kacang."

"Ya, benar, Hari," kata Dania. "Perlu kalian ketahui—kalau aku belum bilang atau kalian lupa—di dekat Klinik Bumi, terdapat banyak penjual makanan. Aku dan Nelly sudah pernah melihat langsung."

Ya." Nelly mengangguk membenarkan.

"Untuk yang waktu itu, kami tidak melihat penjual roti bakar karena mungkin sudah tidak ada lagi," lanjut Dania. "Tapi, tidak bisa dimungkiri bahwa ada penjual roti bakar yang pernah berjualan di dekat Klinik Bumi Sehat. Hari, sesuai dugaan, kamu pasti pernah membeli roti bakar di sekitar Klinik Bumi Sehat."

"Lalu, untuk apa aku membeli roti bakar di sekitar Klinik Bumi Sehat?" tanya Hari. "Apakah aku hanya iseng? Apakah aku memang pernah ke Klinik Bumi Sehat?"

"Seharusnya, tiap mahasiswa kampus pernah ke Klinik Bumi Sehat, bukan begitu?" Tarek mengutarakan pendapat. "Kalau bukan untuk tes kesehatan, ya, sekadar lewat di depannya saja."

"Aku bisa beri tahukan langsung mengapa kau pernah ada di sekitar Klinik Bumi Sehat berdasarkan keterangan Laila, Hari," kata Dania. "Tapi, kita memang butuh cerita dari sudut pandangmu juga. Oh, seperti kata Tarek, kamu pernah melakukan tes kesehatan di Klinik Bumi Sehat. Pada kenyataannya, kau ke Klinik Bumi Sehat lebih dari sekali."

"Oh? Begitu?"

"Ya, Hari. Kamu ini mahasiswa Teknik Fisika, bukan?"

"Ya, aku mahasiswa Teknik Fisika."

"Di Klinik Bumi Sehat ada X-ray, benar?"

"X-ray ...." Hari bingung, tetapi ia langsung paham maksudnya. Langsung ingat, lebih tepatnya. "Aku mengerti! Aku ingat sekarang!"

"Ya. Dulu, waktu kamu masih merupakan mahasiswa yang hidup, kamu pasti pernah mengerjakan tugas kuliah. Ada tugas kuliahmu yang kamu kerjakan di Klinik Bumi Sehat," terang Dania.

"Aku mengerti sekarang. Aku ingat. Aku bisa menceritakannya!" Hari berseru dengan semringah.

Hari sudah ingat.

Maka, Dania akhirnya duduk. Kami semua akhirnya bisa mendengarkan cerita Hari ketika dia masih hidup.

Cara Menjadi HantuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang