Babak I (4)

456 33 41
                                    

Karena tidak ada manusia hidup yang menempati kamar asramaku, aku memutuskan untuk tinggal di situ. (Aku tidak akan mengganggu siapa-siapa.) Aku hanya akan bertemu Tarek di kamarnya atau di titik tertentu di kampus.

Aku dan Tarek sedang duduk di cabang pohon cemara di suatu siang. Beginilah kami beristirahat dan bersantai-santai. Kami mengamati beberapa orang berlalu-lalang di jalanan kampus.

"Apa kamu pernah merasa kesepian menjadi hantu di kampus ini, Tarek?" Aku bertanya memulai percakapan.

"Tidak selalu. Seperti yang pernah kubilang, akan ada manusia yang merasakan kehadiran kita karena mereka cukup sensitif."

"Dan apa kamu kenal siapa?"

"Aku dapat membaca perilaku orang yang merasakan kehadiran hantu-hantu seperti kita," jawab Tarek, "tapi, aku tidak pernah memulai interaksi secara langsung. Aku lebih suka menunggu mereka yang menginisiasi. Oke, mari kita mulai lagi pelajaran memanipulasi suhunya."

Tarek memintaku menyerap panas dari sinar matahari. "Ingat pelajaran tentang gelombang! Kalor diserap sebagai gelombang. Arahkan semua ke arahmu, ke dalam dirimu."

"Apa kita bisa berfotosintesis kalau begini?"

"Silakan coba. Tapi, kita ini hantu, kita tidak butuh makanan. Kita tidak punya sistem organ di tubuh kita, alih-alih kloroplas. Kalaupun punya "organ", itu bukan secara biologis, melainkan fisis."

"Fisika," aku menggerutu. Aku paham mengapa temperatur lingkungan bisa tidak teratur kalau ada kedatangan hantu. Ada yang menjadi lebih dingin, ada juga yang bisa menjadi panas.

"Duh, hari ini terik sekali," seorang mahasiswi yang berjalan di trotoar bersama seorang temannya mengeluh.

"Brrr! Kok aku jadi menggigil?" Temannya menimpali.

"I-iya. Mungkin kita sudah cukup banyak berkeringat."

Aku dan Tarek mendengar percakapan dua mahasiswi tersebut. Mereka berada 5 meter di depan kami. "Wow, kau berhasil memanipulasi suhu dalam radius 5 meter. Kamu belajar cepat."

"Ini lebih mudah daripada mengalirkan panas ke arah lain."

"Itu karena selisih entalpi untuk dirimu positif, dari suhu rendah ke suhu tinggi. Kauingat, endotermik dan eksotermik?"

"Suhu lingkungan turun, tapi suhuku naik. Endotermik."

"Tepat sekali!"

"Wohooo!" Aku berseru.

"Bagaimana rasanya dapat menyerap panas?"

"Aku merasa ... berapi-api!"

"Ya, itu karena kau bertambah panas. Sekarang, lepaskan panas itu pelan-pelan. Kalau terlalu cepat, kau malah membuat api yang sesungguhnya."

"Oke." Aku tahu karena saat pelajaran mengarahkan panas yang sebelumnya, aku diminta untuk mengarahkan panas matahari untuk menghanguskan daun kering; aku sempat membuat ledakan kecil karena mengarahkan terlalu cepat dan keras. Setelah temperatur lingkungan kembali menghangat, Tarek mendekat dan menepuk pundakku. "Bagus. Siang ini, kita sudahi dulu. Lagi pula, secara alami, hantu lebih suka keluar di malam hari, bukan?" katanya lalu mengakhiri dengan kekehan. "Kita uji lagi kemampuanmu malam nanti. Malam hari, dengan panas yang lebih sedikit daripada di siang hari. Temui aku di danau kampus pukul 7 malam, bagaimana?"

"Ya, bisa."

"Jangan lupa."

***

Aku berlatih sendiri di dalam kamarku untuk mengukur seberapa banyak panas yang bisa kuserap dan menimbang-nimbang jika panas yang kuserap segini, berapa kira-kira suhu lingkungannya? Karena lama berlatih sendiri, aku merasa lelah dengan energi yang kukeluarkan-kumasukkan. Sepertinya, pandanganku sempat menggelap, itu artinya aku tertidur, aku ketiduran sebagai hantu. Begitu aku sadar, matahari sudah terbenam. Aku tersentak, keluar kamar. Aku melihat jam asrama sudah menunjukkan pukul 18.50. 10 menit lagi! Sementara danau kampus agak jauh dari gedung asramaku.

Cara Menjadi HantuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang