Babak II (2)

154 14 0
                                    

"Yang Tarek bilang ada benarnya. Kamu butuh waktu untuk mendapatkan banyak pengetahuan untuk bertanya ke jin. Bagaimana kamu bisa berkomunikasi kalau kamu tidak tahu apa yang mau kamu tanyakan?" kata Nelly. "Para jin itu juga sangat pintar. Kamu tidak akan mau direndahkan oleh mereka."

Aku dan Nelly sudah bertemu lagi di minggu depannya di dekat pohon beech yang sama. Nelly memakai dalih pergi ke psikolog sebagai izin terlambat kembali ke kantor. Aku sudah menceritakan percakapanku dengan Tarek minggu lalu dan itulah tanggapan Nelly. Aku serta-merta menyetujuinya.

Aku jadi teringat dalih Nelly terlambat kembali ke kantor. "Nelly, apakah kamu pernah punya masalah sehingga kamu harus pergi ke psikolog? Atau memang hanya dalih?"

"Oh, aku dulu pernah punya masalah mental dan sosial yang mengakibatkan aku perlu pergi ke psikolog. Sekarang sudah tidak sebegitu parah lagi," jawab Nelly. "Tidak apa-apa kalau pergi ke psikolog di saat kamu merasa semua sudah baik-baik saja. Pergi ke psikolog sangat membantu untuk memeriksa keadaanmu saat ini."

"Begitu, ya. Aku tidak tahu kalau Tarek pernah cerita ini kepadamu, tapi, dulu, saat aku masih hidup, aku pernah terdiagnosis ADHD. Jadi, saat aku masih hidup, aku sering ke psikiater atau psikolog."

"Ah, aku minta maaf," ujar Nelly. "Tarek belum pernah memberitahuku. Aku minta maaf lagi." Nelly mencoba menyentuh pundakku. "Sekarang, kamu tidak sendirian dan kamu aman bersama kami, aku dan Tarek."

Aku mengangguk. Aku merasakan pundakku ditepuk Nelly. Rasanya tidak ada yang aneh. Akhirnya, aku menceritakan permasalahanku dengan ADHD, depresi, dan obat-obatan kepada Nelly. Nelly mendengarkanku dengan sungguh-sungguh walaupun aku menceritakannya secara panjang lebar.

"Jadi, kamu pikir, kamu menjadi hantu karena itu, Aksa? Itu yang kamu pikirkan sebagai "urusan yang belum selesai" milikmu?"

"Iya."

Nelly tersenyum lemah. Dengan lirih, Nelly berkata, "Aku turut menyesal. Tapi, sungguh, itu bukan salahmu sepenuhnya. Tidak ada yang mau itu. Ada beberapa faktor yang bisa membuat arwah terperangkap di sini, belum tepat kalau hanya itu. Tentu saja aku akan membantumu nanti."

Aku merasa terenyuh. Selama ini, aku sudah banyak dibantu oleh Tarek, sekarang oleh Nelly. Aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi selain berterima kasih. "Terima kasih."

"Sama-sama." Nelly melihat jam tangannya. "Waktunya tepat sekali. Aku akan ke kantor lagi. Mau mengobrol minggu depan lagi?"

Aku menggeleng. "Sepertinya, tidak dulu. Aku akan mencerna dan merencanakan apa yang akan aku lakukan selanjutnya."

"Oke. Lusa aku akan bertemu dengan Tarek. Kalau begitu, kalau kamu berubah pikiran, aku bisa ditemui lusa di kamar Tarek. Waktunya sama seperti biasa."

Aku dan Nelly berdiri. Aku memutuskan untuk mengantar Nelly di sampingnya. Kami jadi lanjut mengobrolkan hal-hal lain sampai Nelly keluar gerbang kampus. Aku dan Nelly saling melambaikan tangan saat berpisah. Untung saja tidak ada orang hidup lain di dekat gerbang kampus yang melihat Nelly melambaikan tangan kepadaku.

***

Nelly tidak ke kampus lagi akhir-akhir ini karena sedang mendekati akhir tahun. Kesibukan pekerjaan menjelang akhir tahun begitu meningkat. Ini berarti tahun sudah mau berganti dari 2017 ke 2018.

Aku sedang membaca buku yang aku pinjam/curi dari perpustakaan saat pintu kamarku diketuk. Tidak seperti biasanya, aku mendengar pintu kamarku diketuk. Aku menembuskan kepalaku ke pintu kamarku. Ya, sudah kuduga, itu adalah Tarek yang kulihat.

"Halo," sapa Tarek. "Aku ingat kau pernah memberi tahu di mana kamarmu, jadi aku memutuskan untuk kemari. Aku tersadar kalau aku belum pernah ke kamarmu. Boleh aku masuk?"

"Ke kamarku?" Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Lorong asrama masih sepi karena para mahasiswa sedang kuliah. "Silakan."

Aku membiarkan Tarek menembus pintu kamarku di belakangku. Tarek melihat isi kamarku. "Kau tahan, ya, tidur di kasur tanpa seprai?"

"Iya," balasku. Tarek duduk di salah satu kasur.

"Tidak terasa, ya, sebentar lagi mau tahun baru. Aku sebenarnya sudah tahu kalau Nelly akan sibuk menjelang akhir tahun, Nelly sendiri yang memberitahuku. Waktu itu adalah kali terakhir Nelly datang," kata Tarek. "Itu beberapa hari setelah Nelly mengobrol denganmu, kan?"

"Ya, benar." Aku duduk di seberang Tarek, di kasur satu lagi.

"Apa yang kalian bicarakan waktu itu?"

"Nelly tidak memberitahumu?"

"Tidak." Tarek menggeleng.

"Hanya masalah pribadi," jawabku. "Masalah pribadiku."

"Apakah itu terkait pemanggilan jin?"

"Mungkin saja," jawabku lagi. "Mungkin jin qarin-ku tahu masalahku yang aku sendiri tidak tahu sehingga aku menjadi hantu seperti ini."

"Oh," tanggap Tarek.

"Aku sempat bertemu dengan Nelly, kok, setelah dia bersamamu. Aku menyapanya dan mengantarnya pulang ke gerbang kampus dari asramamu," kataku. "Dia banyak bercerita kepadaku tentang pekerjaannya waktu aku mengantarnya."

Tarek mengangguk-angguk. "Kau teman yang baik."

"Terima kasih."

Tarek seketika tampak gelisah. Aku mencoba menerka dari gelagat Tarek. "Karena Nelly sedang tidak ada, apakah kamu mau melakukan itu bersamaku?"

Tarek terkekeh canggung. "Aku baru saja bilang kalau kau teman yang baik."

"Kamu yang biasanya mau, kan?"

Tarek mengangkat bahu. "Ini masih siang, Aksa."

"Jadi, kalau bersamaku, kamu maunya malam?"

"Yah, hantu biasanya keluar di malam hari."

Mau tidak mau, aku tertawa.

Tarek berdiri dari kasur. Itu tandanya Tarek mau beranjak pergi. Aku mengantar Tarek keluar. Aku dan Tarek pergi ke luar kamarku, di lorong asrama.

"Jadi, sampai bertemu nanti malam," kata Tarek, "di kamarmu."

"Hah?"

"Kita belum pernah melakukannya di kamarmu. Boleh kita di kamarmu?"

Aku mengedikkan bahu. "Oke, baiklah. Boleh."

Begitulah. Saat Tarek kembali pergi ke kamarku pada malam harinya, malam itu menjadi salah satu malam yang menyenangkan di kamarku.

Cara Menjadi HantuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang