13. SEPASANG

266 40 15
                                    

SELAMAT MEMBACA! ❤️

-------------------

Sorenya, Bian berniat untuk berkumpul bersama keenam sahabatnya. Sebenarnya, suhu tubuh Bian terbilang masih tinggi. Namun, Bian tetap ingin berkumpul bersama sahabatnya.

"Adek, mau kemana?" Tanya Mama yang tengah berkumpul bersama Papa dan Vanya.

"Main ke rumahnya Renjana. Nggak sampe malem banget kok."

"Duduk sini sebentar!" Titah Papa sambil menepuk kursi disampingnya.

Bian menurut, lalu duduk tepat disamping Papa.

"Jelasin sama Papa! Apa maksud dari pertengkaran kalian kemarin pagi?" Tanya Papa. Bian dan Vanya hanya saling adu pandang.

"Adek yang salah, Pa. Adek nyalain musik kenceng banget sampe Kakak keganggu." Aku Bian.

"Kakak juga. Kakak nendang pintu kamar Adek." Vanya mengakui kesalahannya.

"Untuk masalah itu, Papa rasa masih batas wajar. Tapi, Mama kasih tahu Papa tentang apa yang terjadi. Apa maksud Kakak mau hidup jadi anak tunggal? Dan apa maksud Adek muak kalo Adek punya Kakak?"

Pertanyaan mematikan. Vanya dan Bian hanya bisa tertunduk. Entah harus menjawab apa. Mereka mengakui, jika pertengkaran mereka pagi itu sudah melewati batas wajar. Bagaimana pun juga, mereka sudah bersama. Bahkan, sebelum dilahirkan kedunia.

"Nggak ada yang mau jawab Papa?" Tanya Papa dengan nada tegas.

"Kakak kelepasan, Pa. Kakak emosi. Kakak juga nyesel bilang gitu ke Bian." Aku Vanya sambil menatap Bian.

"Adek juga sebenernya lagi, stress, Pa. Adek juga akhirnya kepancing. Maafin aku ya, Kak!"

Bian pun membalas tatapan Vanya. Entah apa yang ada dalam pemikiran mereka, bukannya menahan tangis, mereka malah menahan tawa.

"Mama udah pusing banget sama kalian tuh! Mama tuh sedih liat kalian kayak gitu kemarin!" Kata Mama.

"Kakak nggak maksud gitu, Ma!"

"Adek juga."

"Ya udah, kalian saling minta maaf!" Titah Papa.

"Aku minta maaf kalo aku nyebelin. Tapi, itu karena kamu nyebelin duluan!" Kata Vanya sambil mengulurkan tangannya pada Bian.

"Kamu ikhlas minta maaf nggak sih, Kak?" Tanya Bian.

"Gue udah nurunin gengsi, dan lo masih nanya? Dimana kepekaan lo, Biantara Kivandra? Ini tangan gue pegel!"

Bian meraih tangan Vanya, lalu menariknya kedalam pelukannya. "Ya udah. Aku juga minta maaf kalo suka ngambilin ciki di kulkas." Kata Bian tanpa dosa.

"JADI SELAMA INI LO YANG—"

"Bian berangkat ya! Nggak bakal terlalu malam, kok! Dadaaah, Vanya!" Bian melepaskan pelukannya pada Vanya, lalu Bian langsung berlari begitu saja.

"BIAN!! LO BENER-BENER KURANG AJ—"

"Kakak ..."

"Pa, liat kan kelakuannya? Gimana Kakak nggak emosi terus sama dia." Kata Vanya gemas. Papa dan Mama pun hanya terkekeh.

LENGKARA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang