23. GUE JUGA SAKIT

332 38 10
                                    

SELAMAT MEMBACA ❤️
---------------------

Terkadang, ada beberapa kenyataan pahit yang harus ditelan oleh setiap manusia. Dengan tangisan yang sudah ia habiskan di sepanjang perjalanan, Bian sampai ke rumahnya dengan perasaan luluh lantak. Bian yang biasanya langsung memasukan mobilnya ke dalam garasi, malam itu ia biarkan begitu saja di halaman depan rumahnya. Bian tidak ingin apa-apa. Hanya butuh tidur untuk sekadar menyamarkan rasa sakit di dadanya.

"Darimana kamu? Tumben banget pulang jam segini. Udah pada bubar tongkrongannya?" Tanya Vanya sambil menenteng sebungkus ciki.

"Kak?"

"Kenapa?" Vanya menjawab.

Tanpa mengatakan apa-apa, Bian langsung menjatuhkan wajahnya dipundak Vanya yang tingginya lebih pendek darinya. Bahunya bergetar. Isakan mulai terdengar tepat ditelinga Vanya.

"Dek? Kamu kenapa? Hey?! Lihat Kakak sini!"

Vanya mencoba menarik Bian untuk menatap wajahnya. Namun, Bian malah menarik Vanya kedalam pelukannya.

"Biarin aku kayak gini sebentar aja, Kak."

Entah kenapa, rasanya dada Vanya juga sakit. Rasa sakit Bian, seolah ikut menjalar ke batin Vanya. Vanya pun membalas pelukan Bian, mengeratkan pelukannya pada Bian, lalu menangis tepat di dada Bian.

"Kamu kenapa, Dek? Kamu harus cerita sama Kakak! Kenapa hati Kakak juga ikut sesakit ini?"

Hening. Hanya terdengar suara isakan mereka berdua. Tanpa Bian dan Vanya sadari, ada Papa yang memerhatikan mereka. Papa baru saja dari dapur untuk sekadar minum air hangat. Tanpa sengaja, Papa melihat Bian yang tiba-tiba saja menangis sambil memeluk Vanya. Papa hanya bisa menghela napas berat. Papa sudah bisa menebak. Jika perasaan Bian, tengah dipatahkan oleh keegoisan. Dan yang membuat Papa merasa bersalah adalah, karena itu juga ada sangkut pautnya dengan masa lalunya.

"Maafin Papa, Bian. Seharusnya kamu nggak nanggung rasa sakit ini."

---------------------

"Lo gila, Jay? Lo mau ngehancurin persahabatan kita, apa gimana?" Catur mengusap wajahnya kasar.

"Lo pikir gue setolol itu?" Jaya membalas.

"Kalani itu cinta matinya si Bian, Jay! Gue nggak habis pikir kenapa bisa-bisanya lo nerima si Kalani?"

"Stop nyudutin Jaya, Tur!" Kata Pandu.

"Sorry." Cicit Catur.

"Gue capek, Ndu!" Kata Jaya.

"Jay, that's okay! Ini semua bukan kesalahan lo!" Kata Pandu menenangkan.

"Lo semua tahu kalau Eyang gue itu terlalu terobsesi dengan perjodohan. Padahal, status gue aja masih mahasiswa. Perjalanan gue masih panjang. Gue masih terima-terima aja kalau cewek itu bukan dari lingkungan yang kita kenal. Tapi, Kalani? Gue juga kaget dengernya! Gue juga nggak ngerti hal apa yang mendasari Eyang gue sebegitu tertariknya sama Kalani." Jelas Jaya.

"Selama ini, gue diam karena gue tahu secinta apa Bian sama Kalani. Bukankah itu hal yang menguntungkan buat gue dan Bian? Bian bisa mendapatkan Kalani, dan gue juga terbebas dari perjodohan sialan itu!" Sambung Jaya dengan napas yang memburu. Semuanya hanya diam menyimak Jaya.

LENGKARA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang