27. HATI YANG HAMPIR MATI

251 32 11
                                    

SELAMAT MEMBACA ❤️
------------------------

Selama apapun sebuah hubungan dijalani, nyatanya takkan mampu mengisi kekosongan hati ketika tak pernah ada cinta yang mengisi. Sudah lama sekali Jaya memendam semuanya. Pada kenyataannya, kehadiran Kalani tetap tidak mampu membuat badai dalam jiwanya reda. Cahaya dalam hatinya tetap redup. Ruang dalam jiwanya tetap kosong. Jaya hanya butuh sebuah ketenangan, tanpa harus dikejar perlakuan menyebalkan bernama perjodohan.

"Eyang, Jaya mau bicara." Kata Jaya pada Eyangnya yang tengah duduk, sambil meminum teh.

"Bicara apa?" Tanya Eyang Jaya dengan datar.

Jaya menghela napas berat. "Jaya bakal mutusin hubungan Jaya sama Kalani."

Perkataan Jaya sontak membuat Eyangnya terkejut. Namun, Eyangnya berusaha terlihat tenang. Tetapi, Jaya bisa melihat gurat-gurat kemarahan pada wajah Eyangnya.

"Bicara apa kamu ini? Udah berani bantah sekarang?"

"Eyang, Jaya-"

"Diam, Jayaraga! Eyang tahu yang terbaik buat kamu!" Bentak Eyangnya. Membuat orang tua Jaya yang baru saja datang, langsung menghampiri.

"Ada apa, Bu? Kenapa marah-marah?" Tanya Papa Jaya sambil mengelus pundak Eyang Jaya.

"Anak kamu harus di didik lagi! Dia udah mulai berani bantah perintah Ibu!" Adu Eyangnya Jaya.

Mama Jaya mengelus pundak Jaya. "Jaya, udah, Nak. Nurut aja, ya? Ini demi kebaikan kamu juga!"

Jaya terkekeh. "Kebaikan? Kebaikan seperti apa yang Mama, Papa, sama Eyang maksud? Apa selama ini Jaya terlihat sangat baik-baik saja?" Tanya Jaya sambil menatap tajam ke arah Eyangnya.

"Jaya! Kamu-"

"Apa selama ini Jaya terlihat bahagia?" Jaya memotong ucapan Papanya.

"Selama ini, Jaya terima semuanya karena Jaya sangat menghargai dan menghormati Eyang. Tapi, semakin kesini, Eyang semakin kelewatan!" Jaya meluapkan isi hatinya. Mama, Papa, dan Eyang Jaya pun sedikit terkejut melihat perubahan Jaya.

"Jaya nggak pernah lagi ngerasain apa itu bahagia tentang cinta. Jaya cuma bisa nerima tekanan dari perasaan bernama cinta. Jaya masih kuliah. Perjalanan Jaya masih panjang. Masih banyak hal yang pengen Jaya kejar selain cinta. Nggak seharusnya Eyang terobsesi dengan mencarikan perempuan yang pantas untuk Jaya. Jaya bisa memilih. Jaya punya hak untuk itu. Tapi, Eyang merampas segala yang Jaya punya!"

Untuk pertama kalinya, Jaya meneteskan air mata di depan keluarganya.

"Jaya capek, Eyang. Jaya juga punya keinginan. Jaya punya hak atas kehidupan Jaya sendiri. Jaya nggak apa-apa jika beberapa hal dalam kehidupan Jaya, Eyang turut andil di dalamnya. Malah, Jaya akan sangat berterimakasih karena Eyang segitu sayang dan pedulinya sama Jaya." Sambungnya. Air mata Jaya sudah terjun bebas tanpa hambatan. Mama, Papa, dan Eyangnya pun hanya bisa diam mendengarkan.

"Tapi, untuk urusan hati, Jaya mohon jangan ada yang ikut campur di dalamnya. Jaya juga punya perasaan. Hati Jaya udah hampir mati. Bahkan, selama setahun ini, Kalani sama sekali nggak bisa bikin Jaya bahagia. Harus dari arah mana lagi Jaya bisa merasakan kebahagiaan?" Suara Jaya kian melemah. Kini, yang terdengar hanyalah sebuah isakan.

"Antar Ibu ke kamar." Perintah Eyang Jaya. Papa Jaya pun langsung mengantar Eyang Jaya ke kamarnya tanpa mengatakan apapun.

"Sayang, kamu-"

"Mama mau marahin Jaya karena ngelawan Eyang? Nanti aja, Ma! Jaya capek." Kata Jaya.

Namun, tanpa diduga, Mama Jaya memeluknya. "Nggak, Sayang. Maaf. Karena keinginan Eyang, kamu merasa kehilangan segalanya."

"Jaya capek, Ma."

"Mama tahu, Nak."

Hati Jaya tengah kalut. Disatu sisi, Jaya juga merasa bersalah karena sudah bersikap seperti itu pada Eyangnya. Tapi, disisi lain, Jaya juga merasa lega. Karena, ada saatnya dia juga ingin perasaannya di dengar, dan di pahami. Dan pada akhirnya, Jaya bisa melakukannya. Saat tengah menangis dalam pelukan sang Mama, ponsel Jaya berdering menandakan ada panggilan masuk. Alis Jaya berkerut, karena melihat nama Bu Yanti disana. Jaya pun langsung mengangkatnya.

"Assalamu'alaikum. Ada apa, Bu?"

"Wa'alaikumussalam. Nak Jaya, ini Kalani demamnya tinggi banget. Ibu kaget tadi pas pulang dari pasar, Kalani udah menggigil. Ini Ibu mau bawa ke klinik dulu." Kata Bu Yanti di balik telepon.

"Langsung bawa ke rumah sakit aja, Bu! Nanti Jaya langsung kesana!" Kata Jaya jelas panik, dan langsung menutup telponnya.

"Kenapa, Nak?" Tanya Mama yang ikut panik melihat Jaya panik.

"Kalani panas tinggi katanya. Sekarang, udah diperjalanan ke rumah sakit sama Bu Yanti. Jaya langsung jalan ya, Ma!" Jaya pun mencium tangan Mamanya, lalu langsung menuju ke rumah sakit.

------------------------

"Kakak lu kenapa, sih? Udah dua hari gue di jutekin." Tanya Pandu yang baru saja datang.

"Lagi kumat itu anaknya uring-uringan nggak jelas. Nggak tahu juga gue. Lagian kenapa nanya gue, nyet? Lu cowoknya! Apain kek, rayu-rayu kek. Amatiran amat." Balas Bian ngasal.

Pandu tersenyum tipis. "Jadi, boleh gue rayu-rayu, nih?"

Bian seketika langsung meninju lengan Pandu. "Kotor banget najis otak lo! Gue tonjok aja biarin. Nggak peduli lo sahabat gue! Lo bakal habis di tangan gue!" Tegas Bian.

"Sakit, bego! Gue bercanda! Boro-boro di rayu. Lo tahu sendiri kan si Vanya segalak apa." Kata Pandu sambil mengusap lengannya yang di tonjok Bian.

"Sialan lo ngatain kakak gue! Tapi, emang iya, sih." Balas Bian sambil terkekeh.

"Baru berdua doang? Yang lain kemana? Sorry, gue telat." Kata Jaya yang baru saja datang.

"Nanti si Nayaka sama si Renja barengan. Si Janu nganterin dulu ceweknya. Ntar katanya nyusul. Si Catur lagi demam. Jadi nggak bisa ikut kumpul. Lagian, kagak bisa diem banget bocahnya. Giliran demam, langsung kayak manusia nggak berdaya." Jelas Bian.

"Lo darimana emang?" Tanya Pandu.

"Rumah sakit."

"Siapa yang sakit?" Tanya Pandu lagi.

Jaya melirik ke arah Bian yang tengah meminum sodanya. "Kalani."

Terlihat Bian berhenti meminum minumannya. Namun, Bian kembali bertingkah seolah tidak mendengar apa-apa.

"Dia nyariin lo, Bi."

Bian hampir saja tersedak mendengar apa yang di ucapkan Jaya.

"Jay, stop! Jangan pernah bahas tentang itu lag-"

"Kalani nyariin lo, Biantara!" Sambung Jaya cepat memotong ucapan Bian.

Pandu yang merasa hawanya menjadi dingin pun mencoba menengahi. "Udah, udah! Diem dulu lo berdua! Ngobrolnya yang santai! Jangan tegang-tegangan!"

"Gue putus sama Kalani, Bian ..."
-
-
-
bersambung ...

lagi-lagi, author ini mangkir dari janjinya. maaf telat up lagi :(

Love, Grace ❤️

LENGKARA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang