Chapter 1. [B]

1.4K 23 0
                                    

Fazwan POV

Mood gue ikut hancur setelah kejadian di restoran waktu itu. Nisrina sendiri kembali ke mode cuek. Bahkan enggan membalas pesan chat dari gue. Alasan ini itu, padahal gue tahu dia nggak sesibuk itu. Kalaupun lagi sibuk, dia harusnya bisa nyempetin balas kalau memang gue penting buat dia. Gue termasuk orang yang pesimis tentang hubungan ini. Apalagi gue nggak sepenting Ammar di hati Nisrina. Seberusaha apapun gue buat menggantikan Ammar, itu tetap sulit. Bagi Nisrina cinta matinya hanya untuk Ammar. Sementara gue cuma iklan di hidup dia. Nggak terlalu penting. Atau mungkin cuma pemain pengganti, bukan superhero-nya.

Sambil nunggu pesan chat masuk, gue buka nasi bungkus yang gue beli di depan sekolah. Langganan kalau nyokap nggak bisa bawain gue bekal.

"Eh, makan ya Pak?" sapa seorang guru yang baru saja masuk seruangan sama gue. Gue balas senyum, demi sopan santun. "Udah nggak ada jadwal ngajar lagi?"

Sudah tiga tahun ini gue kerja di salah satu sekolah swasta di Jakarta. Sebagai guru olahraga, yang pasti gaji gue nggak lebih tinggi dari Nisrina. Kalau Nisrina punya gaji dua digit, gue cuman sedigit. Tapi gue bersyukur punya pekerjaan di tengah banyaknya angka pengangguran di negeri ini. Meskipun gaji gue tetep nggak seberapa sih. Itu sebabnya sambil kerja sebagai guru, gue nyambi ngelanjutin kuliah S2. Buat nambah pendapatan, gue kadang ikut dampingi Tim Volly Junior Jakarta Selatan di kejurnas pelajar.

"Habis ini masih ada jam ngajar, cuma satu jam, Bu. Saya makan dulu. Lagi laper banget," jawab gue sopan. Bu Wiwin, guru geografi yang punya meja persis di samping gue. Rupanya baru selesai ngajar. Di banding Bu Wiwin, jam ngajar gue lebih sedikit. Ini saja gue lihat Bu Wiwin sedang menyiapkan buku untuk ngambil jam di kelas lain.

"Pak... Pak... Saya tuh bingung sama Si Alfa. Makin ke sini makin susah di aturnya. Giliran pelajaran saya, dia sering banget bolos. Tau-tau ada di kantin," oceh Bu Wiwin. Bikin gue terkekeh. Alfa sendiri murid kesayangan gue, dia yang paling jago urusan olahraga. Tapi yang paling nakal juga di mata pelajaran lain. Bikin guru-guru seperti Bu Wiwin harus tepok jidat. "Saya sudah capek, Pak. Coba Pak Faz yang bicara sama Alfa."

Gue mengangguk menyanggupi. "Iya nanti saya sampaikan ke Alfa, Bu." Setelah itu Bu Wiwin meninggalkan ruang guru. Digantikan oleh kedatangan guru lain di pergantian jam. Yang pada akhirnya menyisakan gue sendirian lagi. Di saat yang sama ponsel gue berdenting. Menampilkan notifikasi pesan chat dari Nisrina. Gue langsung senyum, buru-buru membukanya.

Nisrina❤️: Capek. Banyak kerjaan.

Gue buru-buru menekan tombol telepon. Namun Nisrina tolak. Selalu kayak gini. Gue hampir nggak pernah denger suaranya kalau nggak lagi dating. Lama-lama capek juga.

Gue: Kenapa nggak diangkat?

Nisrina❤️: Lagi banyak kerjaan.

Gue: Nggak lagi males denger suaraku?

Nisrina❤️: Maybe

Gue: Mau hangout nggak nanti malem?

Nisrina❤️: Kemana?

Gue: Nggak tahu, apa kata nanti.

Nisrina❤️: Aku kayaknya lembur

Gue nggak pernah tahu itu hanya alasan atau kenyataan. Karena sangking seringnya Nisrina menolak ajakan gur. Kadang gue juga nggak pernah tahu dia cuma main-main sama hubungan ini atau nggak. Kadang Ayah benar juga, kayaknya sudah saatnya gue ambil keputusan. Meminta Nisrina dari keluarganya. Cara ini mungkin yang paling efektif untuk mendapatkan hati Nisrina meskipun gue sendiri tidak yakin.

Gue: Ya udah nanti sepulang sekolah aku bawa makanan ya ke sana.

Setelahnya nggak ada jawaban lagi. Ponsel gue nggak bunyi sampai bel pulang sekolah berdering. Kayaknya dia beneran lagi lemburan.

Mandatory Love [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang