Nisrina POV
Agak sedikit lebih malam. Setelah menidurkan Gizem. Mas Fazwan kembali menemaniku. Kali ini di pantry. Dia sempat menyeduh kopi instan sebelum bicara denganku. Sementara aku minum jus jeruk buatanku sendiri. Saling duduk di sana. Menatap satu sama lain. Kadang Mas Fazwan tersenyum dengan biar mata sedih. Seluruh kata yang aku siapkan tadi benar-benar hilang. Tertelan seluruh perasaan yang kami rasakan.
"Yang?" panggil Mas Fazwan.
Membuatku mendongak.
"Kamu beneran udah nggak sayang lagi sama aku?" tanyanya getir.
"Nggak ada yang bilang kayak gitu..."
Mas Fazwan mengangguk.
Dia kemudian menatap mataku. Dalam. Hingga aku ikut tersesat bersamanya. Dulu, mata itu pernah memberikan harapan untukku. Sekarang aku tidak menemukannya lagi.
"Misalnya aku bakal ngelakuin apapun buat kamu. Cari kerjaan yang mapan. Nggak kasar lagi, kamu bakal nerima aku?"
Aku tidak bisa menjawab. Jelas. Banyak hal yang membuatku mempertimbangkan banyak hal. Termasuk tentang pekerjaan Mas Fazwan. Kalaupun dia bisa mencari pekerjaan yang pas, emosinya terkadang tidak bisa dikendalikan. Sulit untuk menerima keadaan itu sekarang. Apalagi dengan kondisi kami sudah memiliki buah hati. Dan tuduhannya tentang aku selingkuh masih membuatku sakit hati.
"Aku udah nggak bisa apa-apa lagi kalau kamu pengennya pisah," katanya.
"Maafin aku."
"Yang harusnya minta maaf itu aku," ucap Mas Fazwan. Dia menunduk.
"Kita nggak bisa sama-sama lagi kayak dulu."
"Iya, cinta memang nggak bisa dipaksain lagi. Itu kalau udah nggak ada niat saling memperbaiki. Satu usaha nggak bakal cukup," sindir telak Mas Fazwan.
"Soal uang persalinan. Nanti aku bantu cicil."
"Ini yang bikin aku iri sama kamu, kayak gampang banget semua dibeli pakai uang."
Aku tersenyum kecut. "Makanya kerja biar banyak uang, Mas."
"Iya, biar nggak diremehin istri."
Aku menggeleng. "Nggak ada yang ngeremehin kamu." Dia kemudian diam. "Aku nggak pernah mempermasalahkan uang."
Ini juga penyakit Mas Fazwan yang tidak pernah bisa lepas. Dia menganggap ketika aku mengeluarkan uang besar, itu sama dengan meremehkannya. Padahal tidak seperti itu. Orang harusnya realistis kalau uang itu penunjang kehidupan.
Mungkin kami juga sama-sama lupa kalau masalah terbesar dari pertengkaran kami adalah soal uang dan kepercayaan.
"Beneran udah kayak cowok ga berguna," kata Mas Fazwan. "Sekarang beneran terserah kamu. Keputusan kamu. Kalau memang maunya cerai, gimana lagi."
Aku memberanikan diri menunjukkan surat gugatan cerai ke Mas Fazwan. Lamat-lamat dia membaca. Di sana juga disebutkan perihal alasan kenapa aku menggugatnya.
Mulai dari urusan ekonomi sampai sikapnya yang keras. Tinggal didaftarkan lagi ke pengadilan.
"Kalau boleh jujur, aku udah nggak tahu lagi gimana perasanku ke Mas Fazwan sekarang," kataku.
Mas Fazwan menatapku, mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arahku. "Kalau kamu inget, kita udah punya Gizem."
"Iya."
"Cium aku sekarang, Yang. Biar kamu tahu perasaan itu larinya kemana sekarang. Cium aku biar kamu nggak ragu lagi. Pastiin perasaan kamu sendiri biar kamu nggak nyesel nanti," kata Mas Fazwan. Pundaknya sudah lebih dekat ke arahku. Membuatku bisa merasakan napasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mandatory Love [Lengkap]
ChickLit21+ "Sometimes going home is not an option, but a mandatory." ~ Nisrina Chandrakanta Fazwan Ganendra ~ "Berhenti mencintaimu bukan suatu hal yang aku bayangkan." Ammar Zayn ~ "Cintaku mungkin salah, tapi rasanya tidak akan semudah itu meninggalkan s...