Nisrina POV
Mobil yang aku tumpangi berhenti di depan sebuah restoran yang cukup aku kenal. Sering aku datangi setiap hari ketika masih pacaran dulu. Kalau bukan acara kantor aku enggan datang ke tempat ini. Otomatis mengingat kembali kenangan yang berusaha aku hancurkan. Begitu Mas Fazwan menghentikan mobil, memarkir mobilnya rapi, aku melongokkan pandangan dari sela-sela cendela. Memastikan dulu orang yang aku hindari sebelum turun dari mobil. Membuat Mas Fazwan malah bertanya kepadaku. Mungkin dia menyadari kalau aku sedikit aneh. Dan itu memang benar. Aku rela dianggap aneh sekarang.
"Nyari temen?" tanya Mas Fazwan. "Belum datang ya mereka?"
"Nggak kelihatan," jawabku panik. "Mungkin di dalem."
Bersama Mas Fazwan aku masuk ke dalam restoran. Menggandeng erat tangan Mas Fazwan untuk menenangkan diri. Setiap sudut tempat ini menjadi hal yang membuat ingatanku tentangnya kembali membuncah. Menerkam habis-habisan keberanianku hingga tidak tersisa lagi. Hingga keringat dingin mulai memenuhi leherku.
Aku mulai menyapa teman-temanku begitu terlihat. Melepaskan rangkulan dari Mas Fazwan. Sapaan dan lambaian mereka membuatku melangkah semakin mendekat. Agaknya melupakan semua kecemasanku. Mas Fazwan sendiri bahkan tertinggal beberapa langkah di belakang.
"Hai," sapaku ke teman-teman yang lain. Ikut menyalami. "Bawa suami ya?" tanyanya.
Aku mengangguk. Menoleh ke arah Mas Fazwan yang berbincang dengan cowok-cowok kantor. Melihatnya cukup lega, aku kira Mas Fazwan bakal kesulitan komunikasi, ternyata salah. Dia malah yang kelihatan paling akrab dengan anak-anak kantor. Dibandingkan denganku. Mungkin karena background sebagai guru.
Selang tidak lama, Mas Fazwan merangkul bahuku. "Makan dulu yuk, Mas laper. Acaranya kan masih panjang. Kata yang lain boleh kok ambil makan dulu."
Aku mengangguk. Membawa Mas Fazwan ke area prasmanan. Restoran ini memang dibooking untuk acara ulang tahun kantor.
"Hai, Nis," suara panggilan itu membuatku sontak menoleh. Seorang wanita yang cukup aku kenal berdiri dengan senyum mengembang, diikuti oleh sosok laki-laki berambut ikal berdiri tepat di belakangnya. "Sama suami?"
"Hai, salam kenal. Fazwan suaminya Nisrina." Mas Fazwan mengulurkan tangan untuk berkenalan.
"Bianca, satu kantor sama Nisrina. Tapi beda divisi." Senyumnya terlihat sangat lebar. Menjabat tangan Mas Fazwan. Aku awalnya cukup dekat dengan Bianca. Dia divisi marketing, sementara aku di kreatif. Perbincangan kami awalnya cukup dekat sampai semua kejadian tidak terduga muncul dan membuatku harus merelakan orang yang paling aku sayangi, sahabat sekaligus kekasihku.
Ya, satu bencana yang tidak bisa aku hindari saat itu. Ammar, pacarku, ternyata memiliki hubungan yang spesial dengan Bia. Aku mungkin tidak mempercayai satu kebetulan ini. Yang terjadi ketika pertama menerima undangan pernikahan Bia, tertulis Ammar Zayn di sana.
"Hai Nis, kok nggak ambil makan juga?" tanya Ammar mengalihkan perhatian Mas Fazwan yang saat itu hanya fokus ke Bia. Berubah menjadi fokus ke Ammar. "Kamu agak kurusan sekarang loh."
Bukan hanya Mas Fazwan yang curiga. Rupanya Bia juga sama. Aku tidak yakin Bia tahu tentang hubunganku dengan Ammar beberapa tahun lalu. Ammar cukup waras untuk tidak menceritakan tentang masa lalunya kepada Bia. Yap, seperti sekarang, mata Mas Fazwan tidak berhenti untuk mengawasiku.
Aku hanya mengabaikan semua perhatian Ammar. Beralih ke Mas Fazwan yang sudah siap untuk makan. Berjalan mencari tempat duduk. Menjauh dari Bia dan juga Ammar. Aku tidak mau membuat masalah lagi dengan mereka.
Begitu selesai makan, aku bergabung dengan yang lain. Mas Fazwan izin untuk menerima telepon dari orang tuanya. Aku izinkan daripada aku dicap sebagai menantu kurang ajar. Di sana aku tidak sengaja melihat Ammar berdiri memandangiku. Membuatku risih dipandangi seperti itu. Bibirnya menyeringai begitu kepadatan memperhatikanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mandatory Love [Lengkap]
ChickLit21+ "Sometimes going home is not an option, but a mandatory." ~ Nisrina Chandrakanta Fazwan Ganendra ~ "Berhenti mencintaimu bukan suatu hal yang aku bayangkan." Ammar Zayn ~ "Cintaku mungkin salah, tapi rasanya tidak akan semudah itu meninggalkan s...