Chapter 11. (B)

181 13 13
                                    

Nisrina POV

Tidak ada yang berubah dengan hubunganku, tetap tinggal di atap berbeda. Aku belum bisa menceritakan tentang kehamilanku. Sejak sepulang kerja aku terus menghabiskan waktu di balkon. Mengamati tanaman kaktus kami yang masih terawat, masih segar seperti awal kami membelinya. Tidak ada yang berubah kecuali kondisi pernikahan kami. Aku tidak tahu kenyataan ini bisa berubah atau tidak. Dan sepertinya aku sudah mulai menyerah. Beberapa menit yang lalu aku mendapatkan pesan chat dari Mas Fazwan kalau dia sudah menerima undangan mediasi perceraian kami. Dia mengingatkanku untuk tidak lupa datang ke persidangan. Bodohnya aku mengiyakan akan datang sesuai permintaannya.

Jadi untuk sekarang, aku memilih merahasiakannya sampai pernikahan kami benar-benar selesai. Sisanya kita akan melanjutkan hidup masing-masing.

Tidak sengaja aku tertidur di balkon. Sampai aku rasakan udara dingin mulai membuat tubuhku kedinginan. Pukul setengah satu malam. Dua jam aku tertidur dalam posisi terduduk sambil memegang perut seperti itu. Dengan langkah gontai aku meninggalkan balkon menuju pantry. Perutku benar-benar perih karena sepulang kerja tadi belum terisi makanan sedikitpun. Membuka kulkas dan mengamati isinya. Dulu waktu ada Mas Fazwan, kulkas tidak pernah kosong. Sekarang yang ini benar-benar kosong. Hanya ada satu potong roti tawar dan juga sisa-sisa selai kacang. Membuatku mendengus. Seharusnya aku mulai mengurus diriku sendiri mulai saat ini. Tidak bergantung orang lain.

"Jam segini ada nggak ya ojol yang mau nganter makan ke rumah?" tanyaku menelpon Enzy. Keluar malam bukan sesuatu yang aku pikirkan untuk saat ini.

Dengan suara berat Enzy menjawab, "Ga usah ngayal deh. Jam berapa ini bodoh? Tidur lah orang-orang."

Aku kembali melihat jam dinding. Jam terus berputar semakin dini hari. Sepertinya aku memang harus turun gunung sendiri mencari makanan di minimarket bawah. Setidaknya mengganjal perut dengan mie instan.

"Laper banget gue, tadi ketiduran. Pas buka kulkas, eh nggak ada apa-apa. Udah makan sih roti. Tapi beneran nggak kenyang. Cuman roti selembar. Sisa-sisa lagi," omel gue. Menyambar kardingan buat siap-siap keluar.

"Lo beneran milih keluar buat cari makan?!" tanya Enzy setengah tidak percaya.

"Oke kok, aman. Ada satpam di bawah," jawab gue kekeh sama pilihan gue. "Biasanya sih jam segini minimarket masih buka sih. Rame kok di bawah."

"Tapi jam segini banyak cowok kurang ajar."

Aku mendengus. "Tapi gue laper. Beneran laper."

Enzy berdecak. "Ya udah, jangan matiin telepon."

"Lo khawatir banget sih," godaku.

"Ya iyalah, namanya juga lo jomblo banget."

Aku turun ke lantai bawah. Pergi ke minimarket apartemen. Waktu itu lobi masih ramai. Beberapa orang kedapatan masih ngobrol sana sini. Beruntung rasanya ketika melihat minimarket masih buka di jam segini. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung melangkahkan kaki cepat ke sana.

Langsung menuju rak mie instan. Mengambil dua cup ramen yang sering aku beli. Setelah membayar, aku langsung menyeduh. Duduk di kursi depan minimarket. Sambil memperhatikan orang-orang yang masih sibuk ngobrol di jam segini. Kebanyakan cowoknya.

Sesaat aku terpaku ketika tidak sengaja melihat Mas Fazwan berjalan ke arah minimarket. Ikut memperhatikanku, sempat berhenti sebentar sebelum kembali melangkahkan kaki masuk minimarket. Dia tampak terkejut bertemu denganku di sini.

Kedua mata elang itu sempat membuatku terlena. Begitu hangat dan juga menyeramkan. Aku berusaha secepat mungkin menghabiskan mie instan di hadapanku. Meninggalkan tempat ini secepat mungkin untuk menghindari Mas Fazwan. Aku hanya tidak mau keceplosan mengatakan aku hamil di hadapannya dan membatalkan perceraian kami. Meskipun di hati kecilku, aku merindukan Mas Fazwan. Keadaan memaksa kami seperti ini, harus bagaimana lagi.

Mandatory Love [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang