Fazwan POV
Ulang tahun Nisrina kurang dari seminggu lagi. Gue bertumpu dagu. Memandang kalender meja. Sekaligus kebingungan sendiri apa yang harus gue berikan sebagai hadiah. Pasalnya, Nisrina bisa beli apapun yang dia mau. Cincin aja dia beli mudah. Gue bener-bener nggak ada apa-apanya sebagai cowok. Waktu gue nggak sengaja browsing harga trip ke Jepang, gue rasa tabungan gue masih belum cukup. Apalagi biaya makan di sana masih jauh lebih mahal dibandingkan Jakarta. Bikin gue mikir keras sekarang.
Gue emang nggak punya rencana. Kebiasaan dari kecil yang emang nggak pernah ngerayain hari penting semacam ini, berpengaruh banyak. Gue jadi nggak kreatif sama sekali dengan yang namanya kado mengkado. Bahkan gue udah ngabsenin satu-satu barang yang Nisrina suka. Sayangnya waktu gue inget-inget, dia udah punya semuanya. Bahkan dari brand yang cukup terkenal. Gue nggak mampu ngimbangi dia. Jujur.
Bunyi decit pintu, membuyarkan lamunan gue. Ganti memperhatikan Nana yang baru masuk membawa tumpukan dokumen. Bikin gue ikut penasaran. Dia lalu menyodorkan satu map merah buat gue. Waktu gue buka ternyata daftar atlet yang lolos seleksi pelatihan nasional. "Gue kok nggak dikabarin ini?" tanya gue ke Nana. Nana adalah ahli gizi di tim kami. Anak-anak lain manggil dia 'Dokter Nana'. Sementara gue lebih memilih panggil dia pake nama aja, lebih simpel.
"Baru keluar juga namanya," jawab Nana. "Habis ini gue ada presentasi masalah gizi. Ikut nggak? Barang kali lo mau jadi moderator gue," kekeh Nana. Gue cuman senyum sebagai balasan. Gue sendiri harusnya sudah menyiapkan bahan presentasi soal latihan atletik dan juga gym yang bakal gue terapkan di pelatihan. Ngikut Nana sama dengan menghabiskan waktu buat nyiapin segalanya.
"Na?" panggil gue.
Nana menoleh. "Iya, kenapa? Lo juga mau gue buatin jadwal diet? Lemak perut lo udah mulai kelihatan tuh." Gue cuman bisa terkekeh. "Nanti ya nunggu udah buat jadwal yang lain."
"Lo udah punya cowok ga?"
Nana menatap gue cukup tajam. "Lo nggak lagi coba flirting gue kan? Inget istri di rumah."
Gue menyeringai. "Nggak lah, cuman mau tanya doang. Nggak ada hubungannya gue pengen cari cewek lagi," jawab gue.
"Ya terus?"
"Istri gue minggu depan ulang tahun. Gue bingung aja mau ngado apa."
"Yang dia nggak punya mungkin, lo nggak lagi minta gue buat bantu nyari kado kan?" tanya Nana. "Bentar gue ke tempat coach dulu."
Nana ninggalin gue sendiri. Sendirian lagi sambil ngelihatin resume atlet-atlet yang dipilih buat ngewakili kejuaraan Asia. Nggak lama Nana kembali. Membawa satu papper cup kopi, masih panas kalau dilihat dari uap-nya.
"Thank you," ucap Nana. Menyodorkan kopi buat gue.
Gue balas senyum. Lupa bilang thank you waktu dia menyodorkan kopi. Sambil memperhatikannya bersandar di punggung kursi. "Lain kali kalo bawa kopi jangan terlalu manis."
Nana mengerutkan keningnya. "Gue bukan istri lo."
Gue terkekeh. Menyesap kopi pemberian Nana.
"Ultahnya istri lo?"
"Minggu depan dan gue lagi bingung banget mau ngado apa," jawab gue.
Kerutan di dahi Nana terlihat sangat dalam. "Lo nggak ngerti apa-apa soal istri lo?"
Gantian gue yang mengerutkan dahi tidak terima. Enak aja gue dibilang nggak tahu apa-apa soal Nisrina. "Ngerti apa?"
"Ya apa aja yang bikin istri lo happy lah."
Mendengar itu gue jadi inget tentang Nisrina yang pengen liburan ke Jepang. Sayangnya uang gue masih belum cukup. Sebenarnya cuman itu doang yang gue pikirkan. Nana benar soal hal yang bikin happy, Jepang salah satunya. "Tiket ke Jepang ada yang murah nggak?" eluh gue. Barang kali Nana bisa nyariin gue tiket paling murah. Ya kan namanya usaha. "Dia pengen ke Jepang banget. Gue yang nggak mampu beli tiketnya."
"Jepang?" tanya Nana memastikan.
Gue berdeham, mengiyakan. "Akhir-akhir ini. Pengen banget ke Jepang. Juga bilang kalau dulu, mantannya nggak pernah absen ngajakin dia ke Jepang. Giliran gue, gue malah nggak mampu buat beli tiket liburan ke Jepang," eluh gue. Nana hanya balas menggeleng iba. "Gue tadi sempet buka-buka trip ke Jepang. Harganya udah kayak mau berangkat haji. Mending dibuat haji daripada ke Jepang." Itu malah membuat Nana tertawa cukup kencang. "Susah juga hidup, kalau nggak ada uang gini."
Nana tertawa menahan tawanya agar tidak terlalu kencang. "Ajak ke tempat yang romantis aja dulu."
Gue meletakkan kepala di atas meja. Mana mau Nisrina. Pasti alasannya selalu sibuk.
Nana menyesap kopi. Tampak berpikir keras. "Ngechill. Nonton Netflix. Ngopi bareng. Ngelakuin hal-hal romantis. Kadang bisa jadi hadiah paling istimewa kok. Kalau gue sih ya. Nggak harus yang mahal."
Gue bukan nggak mau nontin Netflix, ngopi bareng atau sekedar ngechill. Tapi itu kalau gue pikir-pikir terlalu basic buat dijadikan sebagai hadiah ulang tahun. Nggak sepadan aja.
Nana sepertinya melihat perubahan ekspresi gue yang tampak nggak antusias lagi. Malah tersenyum. Gue heran apa yang bikin dia senyum gitu, nggak ada yang lucu.
Kemudian kami kembali diam. Fokus pada pekerjaan masing-masing. Meskipun beberapa kali Nana curi-curi pandang ke arah gue.
"Ngapain lihat-lihat?" tanya gue sangsi.
Nana nggak langsung ngejawab. "Kalau dilihat-lihat lo cakep juga ya," puji Nana. Entah itu pujian atau hanya sekedar perkataan yang menyenangkanku. "Gue kira istri lo nggak bakal ngeluh tiap kali ngelihatin lo deh. Ngelihat lo aja udah kayak hadiah ulang tahun sendiri buat dia." Muka gue beneran merah karena pujian Nana. Apa bener gue secakep itu? Gue nggak merasa dan Nisrina nggak pernah bilang terus terang ke gue.
"Thank you pujiannya," jawab gue. Nana cuma menggeleng sambil tersenyum tipis. Bukan hanya Nana yang muji gue, seharusnya gue juga puji-puji dia. Dia nggak kalah cantik dibanding Nisrina. Meskipun Nana selalu menggunakan make up yang jauh lebih natural.
"Ga usah bilang istri lo kalau gue puji, nanti dikira pelakor lagi gue."
Gue diam, bingung harus menanggapi apa. Hanya memasang tampang datar sebagai jawaban.
Gue nggak ada alasan buat menjawab. Atau menanggapi. Kecuali kalau Nana adalah cewek gue, bisa jadi masalah kalau nggak ditanggapi. Gue lihat dia juga hanya menganggap ucapannya sebagai angin lalu. Nggak terlalu dipeduliin juga. Kami sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
"Habis ini mau kemana?" tanya Nana.
Gue melipat tangan di meja. "Habis jemput Nisrina di kantor, kayaknya langsung pulang aja deh," jawab gue. "Udah sama-sama capek. Biasanya Nisrina juga jarang banget pengen ke tempat lain sepulang kerja. Kenapa?"
Nana mengangguk paham. "Emang sekaku itu ya hidup kalian?"
Gue mendengus. Nggak tahu apa maksudnya. "Maksud lo kaku itu yang gimana?" Gue memasang tampang heran. "Emang lo sama cowok lo sering main ke playground sepulang kerja?"
Gue lihat Nana malah tertawa. Padahal nggak ada yang lucu. Gue kira apa yang dikatakan Nana nggak terlalu benar, hubungan gue sama Nisrina nggak sekaku itu.
"Gini ya Pak Fazwan. Sebelum ngasih hadiah ke istri atau apapun kek. Treatment apapun, lebih dulu lemesin hubungan kalian. Jangan terlalu kaku. Nanti malah gini nih. Mau ngasih hadiah bingung sendiri," sindir Nana. Bikin gue gedek. Gue sama Nisrina nggak kayak gitu ya, hubungan kami udah lebih enjoy sekarang. Kayaknya gue beneran nyesel banget curhat panjang lebar sama Nana. Selain nggak ada solusi. Tanggapannya malah menyebalkan.
****
~ Selasa, 19 Maret 2024
Maaf ya akhir-akhir ini aku jadi susah banget buat update. Karena aku harus beradaptasi sama kerjaan yang tiba-tiba banyak di kantor. Jadinya ya kalau malam gampang capek ga sempet buka hp buat nulis. Apalagi ini bulan puasa .... Draft yang udah aku siapin makin lama makin sedikit. Jadi maaf ya kalau aku jadi jarang banget update. 🥲 Aku memang harus bisa cepet-cepet nyesuaiin diri. Biar nggak kagok sendiri kayak gini.
Makasih buat kalian yang selalu nungguin story yang aku tulis... Bye-bye see you next chapter 🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Mandatory Love [Lengkap]
ChickLit21+ "Sometimes going home is not an option, but a mandatory." ~ Nisrina Chandrakanta Fazwan Ganendra ~ "Berhenti mencintaimu bukan suatu hal yang aku bayangkan." Ammar Zayn ~ "Cintaku mungkin salah, tapi rasanya tidak akan semudah itu meninggalkan s...