Chapter 2. [A]

698 16 5
                                    

Nisrina POV

"Saya terima nikah dan kawinnya Nisrina Chandrakanta binti Wijaya Chandrakanta dengan maskawin yang tersebut, tunai."

Sejak hari itu, ijab qobul telah diucapkan lantang. Statusku otomatis berubah, dari cewek gagal move on menjadi istri orang. Mengambil keputusan paling besar dalam hidup dan tentu saja mengorbankan masa depan yang tidak jelas mau pergi kemana, bersama orang yang baru aku kenal selama beberapa bulan, tanpa pacaran meskipun dia selalu bilang kalau aku adalah pacarnya ke semua orang.

Tidak ada banyak hal yang berubah. Hari-hariku berjalan seperti biasa. Lebih bebas tentu saja, Mas Fazwan tidak banyak melarangku melakukan berbagai hal, beda dengan Mama yang setiap hari ada saja daftar larangan. Waktu aku tanya ke Mas Fazwan kenapa dia tidak banyak melarangku, dia bilang aku sudah dewasa pasti punya tanggung jawab sendiri. Kami juga memutuskan untuk tinggal di apartemen. Meskipun masih sewa, setidaknya kami memilih untuk lebih mandiri.

Setiap pagi aktivitas-ku yang semula bangun agak siang, sekarang menjadi lebih pagi untuk menyiapkan sarapan buat Mas Fazwan. Memastikan dia tidak kelaparan di sekolah nanti. Itu sudah seperti satu kewajiban menjaga hubungan ini tetap baik-baik saja meskipun hanya berlandaskan komitmen.

Kewajiban ini awalnya membuatku sedikit keteteran. Capek rasanya. Aku masih belum terbiasa dengan semua perubahan ini. Mungkin di rumah karena tidak pernah melakukannya. Mungkin saja agak sedikit kaget. Waktu aku mengeluhkan ini ke Mas Fazwan, dia menawariku buat menyewa assisten rumah tangga. Aku menolaknya. Lagian tempat sekecil ini mana cocok ditambah assisten rumah tangga.

Beruntung Mas Fazwan menawarkan opsi lain. Yaitu siapapun yang memiliki waktu senggang harus bantu-bantu ngurus rumah.

Entah disengaja atau tidak, yang lebih sering memiliki waktu senggang malah Mas Fazwan sendiri. Mulai dari beres-beres rumah, cuci baju sampai cuci piring, semua dikerjakannya, kecuali memasak tentunya. Dia tidak jago berurusan dengan kompor. Aku juga tidak mau ambil resiko biar tempat ini tidak meledak.

"Kalau mau minta bantuan apapun bilang ya ke aku. Nggak usah sungkan lagi. Lagian kita udah jadi suami istri. Udah jadi kewajiban saling bantu satu sama lain."

Begitulah awal perkataan Mas Fazwan awal menikah lalu. Tidak mudah untukku tapi perlahan aku bisa membuka diri untuknya. Termasuk mengeluhkan tentang pekerjaanku di kantor. Yang cukup menyebalkan.

Malam ini sepulang kantor, seperti biasa Mas Fazwan menjemputku. Rutinitas barunya begitu menjadi suamiku. "Habis ini ke toko bunga ya?" ajaknya, begitu aku duduk di jok penumpang sebelahnya. "Mau beli kaktus." Aku jelas menyipit. Buat apa kaktus? Namun sebelum aku menjawabnya, Mas Fazwan lebih dulu mengatakan, "Buat hiasan unit. Biar lebih enak aja dilihatnya. Paling nggak ada tanaman meskipun cuman kaktus. Nanti aku taruh di balkon kok. Bukan di dalam." Seolah tahu apa yang aku pikirkan.

Aku hanya diam saja. Terserah Mas Fazwan saja. Lagian aku tidak ikut merawatnya. Bagaimana sukanya dia saja. Lagian tanaman kaktus pasti kecil-kecil. Kecuali kalau Mas Fazwan cabut kaktusnya langsung dari gurun pasir. Ceritanya pasti beda banget.

Sampai di toko bunga, aku ikut turun. Melihat-lihat beberapa bunga yang sempat dipegang Mas Fazwan. Cantik-cantik. Dia juga sempat tanya ini itu, soal bunga yang paling cocok buat di tanam di unit apartemen kecil. Sepertinya dia juga ingin merawat bunga lain. Beruntung orang toko bunga mengatakan akan merepotkan merawat bunga di unit apartemen kecil meskipun kalau mau bisa saja.

Aku tidak banyak tanya ini itu. Tunggu keputusan Mas Fazwan saja. Aku tidak mungkin melarangnya ini itu kalau ingin hubungan kami berhasil. Kalau minta pendapatku boleh saja. Meskipun maunya tidak ada tanaman apapun di apartemen, termasuk kaktus.

Mandatory Love [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang